Indonesia dan Queens
Oleh Muh. Azizul Hakim
Di tengah hutan beton yang dihiasi spanduk raksasa dan janji-janji politik yang melayang seperti jaring laba-laba di tiang listrik, pilkada di Indonesia menjelma menjadi arena yang lebih berbahaya daripada jalanan Queens di malam hari. Spider-Man, yang biasa bergelantungan di antara gedung-gedung tinggi untuk menangkap kriminal, kali ini mungkin akan kebingungan, bukan karena musuhnya lebih kuat, tapi karena kejahatan di sini tak bisa dihadapi dengan sekadar jaring dan ketangkasan. Transaksi politik di balik layar, kampanye hitam yang mengiris nurani, serta politik uang yang merajalela telah menjadikan satu suara lebih berharga dari keringat harian buruh kecil.
Bayangkan, Peter Parker menyusuri lorong-lorong Kota Makassar, lalu menemukan kenyataan bahwa satu suara dihargai Rp500 ribu. Bagi rakyat, uang sebanyak itu adalah penyambung hidup, untuk beras, bayar listrik, atau ongkos sekolah anak. Bagaimana Spider-Man bisa menyelamatkan mereka kalau mereka sendiri dengan sukarela masuk ke dalam jaring korupsi? Tidak ada Green Goblin atau Doctor Octopus di sini. Yang ada hanyalah sistem yang telah menancapkan taringnya hingga ke akar demokrasi.
Mungkin kita bisa membayangkan Peter Parker menyelinap ke ruang-ruang pertemuan eksklusif, tempat taipan-taipan tambang dan elite politik bersulang menentukan siapa yang akan mereka jadikan pemimpin boneka berikutnya. Wajah-wajah kandidat yang tampak gagah di poster kampanye ternyata hanya topeng. Sementara di balik layar, mereka hanyalah wayang yang digerakkan oleh dalang-dalang berkepentingan. Bahkan New York pun tidak seberbahaya ini. Setidaknya, di sana musuh punya nama dan wajah. Di sini? Musuhnya tak terlihat, hanya kepentingan yang menyelinap di setiap sudut kekuasaan.
Lihatlah Sulawesi Selatan, di mana mesin politik berputar tanpa logika. Pasangan calon gubernur nomor urut 1, Moh Ramdhan Pomanto dan Azhar Arsyad, bahkan harus mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuding ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pengesahan aparatur sipil negara (ASN) dan keterlibatan relasi keluarga antara calon gubernur nomor urut 2, Andi Sudirman Sulaiman, dengan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, menjadi salah satu dalil yang diajukan. Lebih menarik lagi, pemohon mencatat adanya bantuan senilai Rp2,9 triliun yang dikucurkan oleh Menteri Pertanian dalam rentang Mei hingga Oktober 2024. Angka yang fantastis, bukan untuk pembangunan, tetapi sebagai amunisi yang diduga mendukung seorang kandidat.
Namun, itu baru permukaannya. Di balik layar, ada pola permainan lain yang lebih licik. Pemohon juga menemukan dugaan manipulasi daftar pemilih, menciptakan daftar pemilih 'siluman' di berbagai TPS di Makassar dan daerah lain di Sulsel. Dari pemalsuan tanda tangan pemilih hingga pengakuan petugas KPPS yang menandatangani sendiri seluruh daftar hadir pemilih tetap (DHPT), semua ini memperlihatkan betapa demokrasi di sini telah terjebak dalam jaring kebohongan yang rumit. Bahkan ada kasus tanda tangan yang secara kasat mata identik pada dua nama berbeda dalam DHPT, sebuah keajaiban yang mungkin bahkan Peter Parker butuh mikroskop untuk menguraikannya.
Di tempat lain, fenomena serupa terjadi. Nama besar dan popularitas tidak lagi menjadi jaminan kemenangan. Ridwan Kamil yang semula dianggap unggul di Jakarta, justru menghadapi mesin politik yang mendadak lumpuh. Seolah ada tangan tak terlihat yang memutus aliran listrik ke mesinnya, membiarkannya tersendat di tengah medan penuh intrik dan pengkhianatan. Ini bukan lagi tentang visi dan misi, tapi tentang siapa yang bisa bermain lebih licin dalam bayang-bayang kekuasaan. Spider-Man pun mungkin bertanya-tanya, apakah ini strategi politik atau operasi mafia tingkat tinggi?
Di Jawa Tengah, kontestasi antara Andika Perkasa dan Ahmad Luthfi bukan sekadar ajang adu gagasan pembangunan. Di balik mereka, dua sosok berpengaruh, Jokowi dan Prabowo, berperan layaknya dewa Olympus yang mengendalikan jalannya pertarungan dari singgasana kekuasaan. Pilkada ini bukan lagi perkara membebaskan rakyat dari keterpurukan, melainkan arena pertempuran para raksasa politik, sementara rakyat tak lebih dari angka dalam perhitungan suara.
Bayangkan Peter Parker, kelelahan setelah seharian berayun di antara gedung-gedung, bersandar di sudut kota sembari membaca berita tentang Pilkada 2024. Wajah-wajah kandidat terpampang jelas di surat suara, tetapi di baliknya? Hanya bayangan kepentingan yang menyelimuti. 'Mulyono' alias Jokowi kini bergandengan dengan Prabowo, sebuah duet politik yang dulu tampak mustahil. Di Sumatera Utara, Bobby Nasution kembali memenangkan pertarungan, dinasti politik yang katanya akan dibenahi, nyatanya justru semakin kokoh jalannya.
Sementara itu, politik ideologis mati perlahan. Partai-partai besar lebih sibuk memperdagangkan kepentingan. Yang dulu mengaku idealis, kini lebih pragmatis. Yang dulu 'berani melawan,' kini memilih diam dan tunduk. Spider-Man pun pasti bingung, apakah yang dihadapi masih musuh atau justru sekumpulan aktor yang memainkan peran berbeda di depan dan di belakang layar.
New York mungkin penuh kejahatan, tapi di sana, Peter Parker tahu siapa musuhnya. Di Indonesia, dalam pilkada ini, musuhnya bukan orang, bukan organisasi, tapi sistem. Kepentingan telah merusak segalanya hingga ke akarnya. Bahkan pahlawan pun bisa kehilangan arah di sini. Dan mungkin, benar adanya, Spider-Man akan menggulung jaringnya, melepas topengnya, dan pergi meninggalkan arena ini. Karena pilkada bukan sekadar pertarungan politik biasa. Ini adalah arena yang bahkan pahlawan super pun enggan untuk disentuh.
Mungkin ia sudah siap turun ke lapangan, jaring di tangan, insting laba-laba siap digunakan. Tapi kali ini, musuhnya bukan Green Goblin, bukan Kingpin. Musuhnya adalah sistem yang telah begitu dalam merasuki demokrasi. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Spider-Man akan mengibarkan bendera putih.
REFERENSI
CNN Indonesia. 2025. Alasan Andika Perkasa Minta MK Diskualifikasi Luthfi di Pilgub Jateng. CNN Indonesia, January 2025. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250110103517-32-1185703/alasan-andika-perkasa-minta-mk-diskualifikasi-luthfi-di-pilgub-jateng.
Kartika, M. 2025. Dugaan Keterlibatan ASN dan Nepotisme dalam Pilgub Sulsel. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, January 2025. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=22107.
Putri, L. M. 2024. Pengamat Nilai Pilkada DKIDua Putaran Timbulkan Polarisasi Masyarakat. AntaraNews, December 2024. https://www.antaranews.com/berita/4509153/pengamat-nilai-pilkada-dki-dua-putaran-timbulkan-polarisasi-masyarakat.
Rahmawati, D. 2024. Golkar Bahas Posisi Ridwan Kamil Usai Tumbang di Pilkada Jakarta. DetikNews, December 2024. https://news.detik.com/berita/d-7684235/golkar-bahas-posisi-ridwan-kamil-usai-tumbang-di-pilkada-jakarta.
Komentar
Posting Komentar