Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan
Oleh Ardyansyah Saputra Basri
Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya.
Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan.
Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengurusan, akan dibuka ruang dialektis sebagai forum keputusan tertinggi bagi setiap anggota. Ini merupakan esensi demokrasi, membatasi kekuasaan pada segelintir anggota dan memberikan kekuasaan itu kepada semua anggota, tanpa terkecuali bagi yang memiliki hak dalam organisasi.
Saya akui, budaya demokrasi di organisasi yang saya geluti memegang asas kebenaran dan keadilan telah tercipta dengan baik. Pemahaman dan tindakan untuk benar-benar patuh dan taat pada hasil proses dialektika yang berupa konstitusi organisasi telah benar-benar diterapkan. Tidak ada kongkalikong terhadap konstitusi, hal ini bisa dilihat dari bagaimana konstitusi tersebut diterapkan (penindaktegasan suatu pelanggaran aturan; dan bagaimana anggota yang dijatuhi sanksi atas tindakannya menerima atau menjalankan sanksi tersebut tanpa melakukan perbuatan melawan hukum).
Namun, sekira ada hal yang kurang pada proses dialektis di setiap transisi periode kepengurusan. Mekanisme dan budaya telah tercipta, hanya penggunaan akal budi secara maksimal dan bijaksana yang belum benar-benar dilakukan. Analisis dan kedalaman berpikir yang berpijak pada keilmuan filsafat-hukum-moral belum terjalankan secara integratif. Integratif yang saya maksud disini adalah pengetahuan baik teori (theoria) maupun praktik (praxia) yang sama-sama berjalan, antar keduanya.
Hal yang kurang ini, hemat saya, sekira berakar pada pengetahuan yang hanya selesai di praxia-nya saja. Budaya demokrasi, umumnya lebih banyak tercipta dari landasan pengalaman yang didapat dari periode kepengurusan yang kita jalani atau yang oleh senior/kating telah lalui. Oleh karenanya, ada semacam gejala atau kecenderungan untuk menghindari (takut) akan hal-hal yang tidak diatur atau yang dianggap tabu secara konstitusi karena kurangnya wilayah pengetahuan theoria setiap anggota saat proses dialektis di forum keputusan tertinggi organisasi.
Untuk menjawab keraguan berpikir saya dalam mempercayai makna keadilan di organisasi, saya coba untuk mengikuti extension course secara daring dengan tema filsafat keadilan dalam beragam perspektif selama satu semester yang dilaksanakan oleh salah satu LSM di Jakarta yaitu JPIC-OFM, sebuah lembaga milik tarekat OFM di Indonesia yang fokus pada sejumlah bidang karya, yaitu animasi, advokasi, sosial karitatif, dan pastoral ekologi.
Melihat Konsep Keadilan
Ternyata gagasan mengenai keadilan (justice) menempati persoalan etika, filsafat hukum, dan politik. Dimana keadilan erat kaitannya dengan tindakan individu, hukum, dan kebijakan publik (public policies). Dan keadilan digunakan sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dibedakan dari kebenaran (rightness).
Filsuf Yunani Klasik, Aristoteles memisahkan antara keadilan universal (universal justice) atau kebajikan secara keseluruhan (virtue as a whole) dan keadilan partikulir (particular justice) yang memiliki ruang lingkup lebih sempit. Lebih lanjut, menurut Aristoteles, keadilan ketika dikaitkan dengan kebajikan yang lengkap (complete virtue), hal ini selalu berhubungan dengan pribadi lain (another person).
Pada tingkat etika individu (individual ethics), keadilan mencakup kemurahan hati (charity) dan kasih atau ar-rahim (mercy). Sedangkan pada tingkat kebijakan publik, keadilan berkaitan dengan efisiensi ekonomi (economic efficiency) dan nilai lingkungan (environmental value). Adapun dalam Institutes of Justinian (kodifikasi Hukum Romawi abad VI), keadilan diartikan sebagai kehendak yang konstan dan terus-menerus untuk memberikan kepada haknya (the constant and perpetual will to render to each his due).
Keadilan dan Klaim Individu
Keadilan berkaitan dengan bagaimana perlakuan kepada individu untuk setiap haknya (to each his due). Sehingga persoalan keadilan muncul dalam keadaan di mana orang dapat mengajukan klaim atas kebebasan, peluang, sumber daya, dll yang berpotensi saling bertentangan.
Keadilan, Kemurahan Hati, dan Kewajiban yang dapat Dilakukan
Yustinianus, seorang Kaisar Romawi menggarisbawahi definisi keadilan bahwa perlakuan yang adil adalah sesuatu yang menjadi hak setiap orang. Keadilan mengenai tuntutan dapat diajukan secara sah terhadap agen yang memberikan keadilan, baik seseorang atau pun lembaga.
Keadilan dan Ketidakberpihakan
Relasi antara keadilan dan penerapan aturan yang tidak meihak dan konsisten, dimana keadilan merupakan lawan dari kesewenang-wenangan (arbotrariness). Dalam institusi hukum, keadilan dicontohkan dalam hukum sebagai aturan yang diterapkan secara imparsial atau netral atau tidak memihak dari waktu ke waktu.
Empat Perbedaan Keadilan
Keadilan Konservatif dan Ideal
Keadilan memiliki dua wajah yang berbeda, yaitu konservatif terhadap norma dan praktik serta menuntut reformasi norma dan praktik. Di satu sisi, keadilan hadir untuk menghormati hak-hak orang di bawah hukum atau aturan moral, memenuhi harapan yang mereka peroleh sebagai hasil praktik masa lampau. Namun di sisi lain, keadilan memberi kita alasan untuk mengubah undang-undang, praktik, dan konvensi secara radikal, menciptakan hak serta harapan baru.
Menurut Hume, keadilan harus dipahami sebagai kepatuhan terhadap seperangkat aturan (justice was to understood as adherence to a set of rules). Sedangkan Hayek berpendapat bahwa keadilan adalah property dari perilaku individu, kepatuhan terhadap aturan perilaku adil (rules of just conduct).
Keadilan Korektif dan Distributif
Keadilan korektif (corrective justice) terkait relasi bilateral antara pelaku dan korban, menuntut supaya kesalahan dibatalkan dengan mengembalikan korban ke dalam posisi yang seharusnya, mengharuskan pelaku tidak mendapat manfaat dari perilakunya yang salah. Sedangkan keadilan distributif (distributive justice) bersifat multilateral, di mana sumber daya yang tersedia dibagi berdasarkan kriteria yang relevan seperti kesetaraan atau kebutuhan.
Terkait keadilan distributif, merujuk pada Aristoteles, jika ada lebih sedikit seruling yang tersedia daripada orang yang ingin memainkannya, seruling itu harus diberikan kepada pemain terbaik (if there are fewer flutes available than people who want to play them, they should be given to the best performers).
Keadilan korektif dapat berfungsi untuk mempromosikan keadilan konservatif daripada keadilan ideal. Keadilan korektif mengharuskan pelaku kesalahan itu sendiri untuk memulihkan atau memberi kompensasi kepada orang yang telah dirugikannya. Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan korektif bertujuan untuk mengembalikan kedua belah pihak ke posisi kesetaraan (corrective justice aims to restore the two parties to a position of equality). Sehingga nilai keadilan korektif harus terletak pada prinsip bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perilakunya sendiri.
Keadilan Prosedural dan Substantif
Keadilan substantif berkaitan dengan hukum materil, sedangkan keadilan prosedural berkaitan dengan hukum formil atau hukum acara, yaitu bagaimana menegakkan atau menjalankan hukum materil tersebut
John Rawls membandingkan (1) keadilan prosedural yang sempurna (perfect procedural justice), di mana suatu prosedur sedemikian rupa sehingga jika diikuti, hasil yang adil dijamin (mengharuskan orang yang memotong kue untuk mengambil potongan terakhir adalah ilustrasi yang diberikan Rawls), (2) keadilan prosedural yang tidak sempurna (imperfect procedural justice), di mana prosedurnya sedemikian rupa sehingga mengikuti kemungkinan, tetapi tidak pasti untuk menghasilkan hasil yang adil, dan (3) keadilan prosedural murni (pure procedural justice), misalnya lempar koin, di mana tidak ada cara independen untuk menilai hasilnya.
Keadilan Komparatif dan Non-Komparatif
Keadilan mengambil bentuk komparatif ketika menentukan apa yang menjadi hak seseorang, perlu melihat juga apa yang dapat diklaim oleh orang lain (untuk menentukan seberapa besar kue yang menjadi hak seseorang, kita harus mengetahui berapa banyak orang lain yang memiliki klaim atas kue tersebut). Sedangkan keadilan mengambil bentuk non-komparatif ketika menentukan apa yang menjadi hak seseorang dengan mengetahui fakta-fakta yang relevan tentang orang itu (jika seseorang telah dijanjikan seluruh kue, maka itulah yang dapat ia klaim secara sah untuk dirinya sendiri).
Prinsip-prinsip kesetaraan (principles of equality)—prinsip-prinsip yang mensyaratkan distribusi yang sama dari beberapa jenis manfaat—jelas dalam bentuk komparatif, karena apa yang menjadi hak setiap orang hanyalah bagian yang sama dari manfaat yang bersangkutan daripada jumlah yang tetap. Di antara prinsip-prinsip keadilan yang secara langsung non-komparatif adalah prinsip kecukupan (sufficiency).
Apa yang Mesti Dilakukan?
Pengetahuan praxia yang baik mesti dibarengi oleh pengetahuan theoria pula; budaya demokrasi yang tercipta harus diimbangi oleh budaya literasi. Agar proses dialektika yang tercipta berpijak pada kedalaman berpikir, analisis argumen yang kuat, gagasan yang orisinil, berpikiran terbuka, dan punya sumber atau referensi yang bisa dipertanggungjawabkan; tidak hanya berpijak pada pengalaman yang sudah lalu atau yang bersifat empirik. Agar tidak ada lagi hukum keadilan yang berpijak pada pengalaman yang tidak memiliki korelasi terhadap teori tertentu dan cenderung dicarikan pembenaran yang memiliki logika hukumnya sendiri.
Keadilan tidak boleh hanya dipahami sedangkal bahwa sesuatu harus sesuai dengan kadar dan porsinya. Namun juga mesti melihat konteks, perspektif, dan teori yang digunakan dalam memahami keadilan. Artinya, sebagai mahasiswa yang berlembaga, sebelum berdialektika, kita mesti membaca untuk memperkaya pengetahuan theoria kita.
Referensi:
Aristoteles. 2020. Metafisika. Yogyakarta: Penerbit Basa-basi.
Reza A. A. Wattimena. 2016. Demokrasi; Dasar Filosofis dan Tantangannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Yohanes Wahyu Prasetyo. 2022. Sekilas tentang Keadilan. Philo Justice JPIC-OFM Indonesia.
Komentar
Posting Komentar