Langsung ke konten utama

Mahasiswa Pembebas: Mendorong Perubahan Progresif Menuju Emansipasi

Mahasiswa Pembebas: Mendorong Perubahan Progresif Menuju Emansipasi

Oleh: Alfina Widya Azizah Saiful

Seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Pendidikan merupakan wadah untuk menampung, mendapatkan, menyalurkan dan mengembangkan berbagai keterampilan serta pengetahuan. Dalam hal tersebut pun sudah seharusnya pendidikan dilingkupi oleh kebebasan bagi pemiliknya, yaitu peserta didik yang mana mahasiswa termasuk didalamnya. Namun ironinya,  pendidikan di Indonesa saat ini cukup berantakan dengan berbagai permasalahan yang dapat dilihat dari tiga kejadian paling mencoreng. Pertama, diskriminasi dalam belajar. Kedua, berbagai tindak kekerasan baik fisik maupun psikis didalam lingkup sekolah atau universitas. Dan ketiga, perilaku amoral yang dilakukan oleh oknum-oknum dari berbagai stake-holder sekolah atau universitas.

Diskriminasi di dunia pendidikan saat ini semakin kuat. Realita sosial saat ini menjadi fakta bahwa ketimpangan akibat privatisasi pendidikan dimana hanya pihak-pihak tertentu saja yang mampu mengikuti peningkatan biaya pendidikan dalam jumlah besar yang  dapat mengakses haknya dalam sektor pendidikan. Akan tetapi bila menilik lebih dalam,  dari sanalah diskriminasi pendidikan itu terlahir. Rakyat yang kurang mampu atau disebut miskin akan sangat kesulitan dan terbatas untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.  Selain itu,  peningkatan pengaduan mengenai kasus kekerasan fisik dan psikis kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas HAM, maupun berbagai komite-komite perlindungan anti kekerasan di sekolah ataupun kampus yang terus bertambah setiap tahun sudah tidak dapat disembunyikan lagi.

Maka bukan sesuatu yang mencengangkan jika terjadi praktik senioritas,  praktik tawuran, dan tindakan-tindakan amoral lainnya di dalam masyarakat. Sebab, praktik-praktik dominasi dan hegemoni telah terinternalisasi sejak dini dalam proses pendidikan. Dalam kesimpulan yang sangat ekstrem, pendidikan menjadi wadah utama memproduksi manusia penindas yang secara otomatis melanggengkan praktik penindasan itu. 

Pada hakikatnya, tugas dari pendidikan itu sendiri adalah mengakses dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan karakteristik masing-masing tanpa terlepas dari nilai kemanusiaan dan kebebasan. Maka, pendidikan seharusnya memberikan kebebasan bagi peserta didiknya dalam hal ini mahasiswa untuk memilih dan mengembangkan potensinya sembari menumbuhkan sifat yang pantang menyerah, kritis, kreatif, dan sigap dalam menghadapi masalah yang muncul kedepannya. Oleh karena itu, disamping tugas peserta didik yang terus menerus mengembangkan potensi dengan pilihan masing-masing, pemegang kekuasaan atau pihak birokrasi pun bertugas memberikan fasilitas tanpa membatasi akses dalam segi apapun termasuk aspek ekonomi yang malah menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan.

Salah satu langkah awal pergerakan profresif adalah memahami tujuan awal atas pergerakan yang dilakukan. Tindakan yang dilakukan dengan tujuan melepaskan diri beserta kaum-kaumnya dari berbagai macam ketidakadilan, hal inipun sejalan dan selaras dengan pendidikan emansipatoris. Pendidikan emansipatoris adalah pendidikan yang humanisasi, dengan tujuan bisa mengangkat martabat dari setiap elemen yang ada dalam pendidikan. Pendidikan yang membuat manusia menyerah pada keputusan-keputusan orang lain  tidak mencerminkan pendidikan emansipatoris. Pendidikan emansipatoris sudah  seharusnya memberikan angin segar bagi mereka yang bergelut di dalamnya, pendidikan emansipatoris harus melepaskan setiap  kekangan-kekangan yang ada. Pendidikan emansipatoris merupakan konsep pendidikan yang bisa menumbuhkan kesadaran serta mendorong kemampuan peserta didik sehingga mempunyai kemampuan untuk menafsirkan arti nyata dalam kehidupannya, pendidikan sudah sepatutnya memberikan kebebasan dalam memilih. 

Gerakan progresif merupakan gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mewakili kepentingan rakyat biasa melalui suatu perubahan dan dukungan dari kebijakan pemerintah yang diberlakukan. Dalam hal ini, mahasiswa yang erat dengan pendidikan berperan untuk menegakkan dan mewujudkan emansipatoris baik dalam lingkup universitas sebagai ruang pendidikan untuk kemudian diterapkan ke realitas masyarakat diluar sana.

Sulit dipungkiri bahwa kapitalisme menduduki akar segala masalah dalam berbagai sektor termasuk pendidikan. Padahal pendidikan harus berbasis berfikir, bersikap serta bertindak untuk mewujudkan suatu perubahan. Namun sejak diterapkannya modernisasi dalam pendidikan, dapat diartikan sebagai bentuk perubahan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi. Sementara itu, industrialisasi membuka ruang seluas-luasnya untuk kapitalisme sebagai suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal dapat melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, hal tersebut pula yang menciptakan praktik privatisasi pendidikan yang menyebabkan keterbatasan akses pendidikan untuk kelompok masyarakat tertentu kemudian menciptakan kaum-kaum tertindas yang menunggu dibebaskan haknya melalui gerakan progresif yang menjunjung tinggi emansipatoris.

Privatisasi pendidikan oleh pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pada sektor ekonomi untuk diambil keuntungan dari sana. Jika pendidikan yang berkualitas itu harus mahal, argumen atau statement tersebut dengan naasnya hanya berlaku di Indonesia. Pendidikan yang berkualitas namun mahal ini seharusnya tidak dibebankan kepada masyarakat, akan tetapi ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan yang layak dan menjamin masyarakat bawah mendapatkan pendidikan yang bermutu. Akan tetapi, tujuan akhir dari pemerataan pendidikan kepada masyarakat ini, tidak pula serta merta merujuk pada tujuan bahwa masyarakat tersebut kemudian dipekerjakan oleh pihak kapitalis agar diambil keuntungan yang tidak sesuai atas kerja keras mereka, melainkan untuk menyejahterakan hidupnya sendiri sebagai pemegang kekuasaan penuh atas kendali hidupnya.

Maka dari itu, gerakan progresif untuk menunjang dan menjunjung tinggi emansipatoris tersebut berangkat dari impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia sesuai dengan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang terus dielu-elukan. Maka dari itu sesuai dengan tugas mahasiswa yang berdiri untuk membela pihak proletariat yang harus terus mengawal kebebasan rakyat Indonesia atas penindasan-penindasan yang terus terjadi hingga detik ini. Gerakan progresif itulah yang akan terus dipupuk dan dibangun sekokoh mungkin dalam ruang-ruang restorasi perjuangan dengan semangat dan pantang menyerah. 

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan