Dari Papua Hingga Gaza : “Matinya Kemanusiaan Kita”
Oleh : Muhammad Raid Nabhan
Pada tahun 1999, tidak berselang lama setelah Soeharto menyatakan mundur dan reformasipun dimulai, Ben Anderson menulis refleksi pendeknya tentang nasionalisme di Indonesia Judulnya: “Indonesian Nationalism Today and the Future” (Nasionalisme Indonesia Hari Ini dan Esok). Dua puluh tahun berlalu, ketika dibuka dan dibaca kembali tulisan tersebut, saya begitu terkesima dengan kemampuannya membaca nasionalisme Indonesia hari ini, dua dekade setelah tulisan itu terbit di jurnal progresif terkemuka New Left Review.
Ben mengingatkan kita pada dua kesalahpahaman umum yang muncul di Indonesia dalam memahami nasionalisme. Pertama, nasionalisme jarang dipahami sebagai warisan masa revolusi kemerdekaan yang telah lama terjadi. Hal kedua yang disampaikannya adalah kekeliruan pemikiran yang menyamakan bangsa dan negara, dengan anggapan bahwa nasionalisme dipahami identik dengan negara itu sendiri. Menurutnya, nasionalisme tidak pernah dianggap sebagai proyek bersama yang memerlukan banyak syarat. Papua, atau yang kala itu disebut Irian, adalah contoh yang sempat ia sebutkan.
Hari ini, proyek bersama itu sudah kelar sejak lama di Papua. Bukan kelar dalam arti mewujud, sempurna, tuntas, tapi dalam arti buyar, dibuang, ditinggalkan. Sejak lama, bahkan sejak awal Indonesia masuk ke sana, nasionalisme tak pernah berjejak selain kematian dan impunitas . Istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati bukan sekedar slogan kosong, tapi betul-betul merupakan perwujudan nasionalisme seharga kematian buat orang Papua, baik warga sipil biasa maupun siapapun yang memilih melawan Jakarta.
Nduga, misalnya, adalah salah satu potongan kisah kejahatan luar biasa yang tragis. Negara membiarkan 37 ribu rakyatnya terlunta-lunta kelaparan tanpa tempat tinggal sejak Desember 2018, bahkan membiarkan lebih dari 240 orang meninggal kelaparan dan beberapa, dengan jumlah yang belum teridentifikasi, mati di luar proses hukum. Awalnya bermula dari penembakan terhadap sejumlah pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga. Insiden tersebut kemudian menimbulkan reaksi keras dari tentara Indonesia dengan membumihanguskan kampung-kampung setempat yang berujung pada pengungsian massal penduduk ke hutan-hutan dan gunung.
Tidak ada yang bisa menjustifikasi kejahatan ini, apalagi atas nama NKRI yang bagi kebanyakan orang Papua justru tak ada harganya. Tentu, kita bahkan belum menghitung sejumlah tahanan politik di Jakarta dan berbagai tempat lain di Indonesia yang dipersekusi karena pendapat dan pendirian politiknya, apalagi kasus-kasus pembunuhan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga hari ini tidak pernah jelas pertanggung jawabannya. Sebut saja kasus Biak berdarah 1998, Abepura berdarah tahun 2000 (yang meskipun ada Pengadilannya namun tidak ada seorangpun yang dihukum), Wasior dan Wamena berdarah (yang sudah pernah diselidiki oleh Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM) namun hingga hari ini tidak ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung), penembakan Theys dan Apollo, Paniai Berdarah 2014, kelaparan hebat Yahukimo yang menewaskan ratusan orang, tewasnya puluhan karyawan Freeport dan 8.000-an yang tak jelas nasibnya, dan masih banyak lagi yang terlalu panjang untuk disebut satu persatu. Ini belum membahas termarjinalisasinya orang asli Papua oleh pendatang, tingginya jumlah penderita HIV/AIDS, serta eksploitasi sumber daya alam yang menjadi salah satu faktor utama berbagai kejahatan terhadap orang asli Papua.
Berbagai kalangan menilai kondisi-kondisi ini cukup sebagai awalan untuk menyelidiki lebih lanjut apakah kejahatan luar biasa ataupun pelanggaran HAM berat memang terjadi di Papua. Dalam hukum internasional, ada tiga bentuk kejahatan luar biasa yang dapat diadili secara internasional: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang (dan satu lagi: agresi). Indonesia telah mengadopsi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU), yang mengklasifikasikan kejahatan-kejahatan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang secara hukum dibatasi hanya pada dua kategori dan tidak dapat diadili di pengadilan hak asasi manusia. Kedua jenis pelanggaran HAM berat tersebut adalah 4.444 kasus genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kontroversi mengenai kepemilikan tanah Papua seringkali sejalan dengan pemahaman tentang bangsa ini, yang seringkali ditafsirkan dalam kaitannya dengan faktor budaya. Suku, ras, bahasa, nasib, dll. Papua adalah bangsa Indonesia yang memiliki kesamaan nasib dan sejarah. Atau sebaliknya, Papua bukan Indonesia karena berasal dari suku yang berbeda dengan Indonesia. Dengan kata lain, Papua sama-sama dimaknai dikaitkan dengan cerminan budaya masa lalu. Dan hal ini mempengaruhi cara kita memaknai konsep nasionalisme dan kebangsaan.
Menurut Eric Hobswan (1983), pentingnya bangsa sebagai bagian dari penafsiran nasionalisme didasarkan pada pemahaman bahwa bangsa adalah sebuah komunitas etnis yang mapan dan turun-temurun, bukan sebagai suatu doktrin yang “dirancang”. untuk ditafsirkan. Alih-alih mengakui prinsip-prinsip intinya, nasionalisme sering digambarkan sebagai identitas politik yang tidak berangkat dari unsur-unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri muncul. Setidaknya kita bisa melihat awal berdirinya negara-bangsa. Revolusi Perancis muncul sebagai bentuk nasionalisme yang mengubah struktur politik dari kesetiaan kepada penguasa yang tak tersentuh, baik agama maupun kerajaan, menjadi penguasa yang menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat.
Sebagaimana dikemukakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di Dunia Ketiga muncul dari penolakan terhadap kolonialisme. Hal ini menciptakan rasa memiliki kesamaan gambaran bangsa. Dan Ben menegaskan bahwa identitas nasional adalah sebuah produk. Rasa kesatuan identitas (nasional) tidak muncul dari pengakuan kesatuan latar belakang budaya, etnis, agama, atau kelompok sosial, melainkan dari politik sosiokultural pembentukan diri, produksi. -identitas) sebagai ``strategi'' (produk) dan negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuasaan suzerain. Keduanya ada dalam bentuk yang berbeda, namun mengikuti prinsip yang sama dan menjadi ciri khas kita. Artinya individu dan masyarakat, yang sebelumnya merupakan subjek pasif, menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui isu-isu seperti etnis, ras, dan bahasa. Akibatnya, setiap individu dipandang sebagai manusia dan warga negara yang setara. Inti dari nasionalisme sebenarnya adalah menciptakan visi humanistik dengan memasukkan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan, dan demokrasi ke dalam struktur sosial yang sebelumnya tertindas. Namun kini nasionalisme tampaknya terlihat dalam pernyataannya.
Kebaikan dan kejahatan adalah negaraku, apa yang salah adalah benar dan apa yang salah adalah salah. Dengan kata lain, penting untuk memperkuat persatuan, meski terjadi dengan cara yang tidak manusiawi. Dengan kata lain, meski nilai-nilai kemanusiaan terkoyak, tidak ada bedanya dengan kesetiaan mutlak pada kekuasaan. Dalam kasus ekstrim, banyak orang harus berani mengorbankan dirinya demi kesehatan bangsa dan negaranya.
Bagaimana
negara memandang Papua ?
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.
Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Cara militer tampaknya menjadi satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan Papua.
Mungkin
inilah yang membuat mereka geram, karena rakyat Papua semakin hari semakin
tertindas. Barangkali masyarakat Papua
sudah tidak lagi mempunyai kesamaan gambaran dalam kerangka bangsa
Indonesia. Kisah bangsa yang dahulu selalu dibayangkan sebagai sebuah
komunitas, namun pada kenyataannya komunitas tersebut diwarnai dengan berbagai
perbedaan dan kesenjangan sehingga
selalu dipahami sebagai sebuah persaudaraan yang mendalam, kini sudah tidak ada
lagi di Papua. Sebab, mereka tidak lagi terancam nasib dan perlakuan yang sama
seperti saudara-saudaranya di Jawa, Sumatera, dan Bali. Ringkasnya, lunturnya
semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi
dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa
yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas
baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut
haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri.
Lalu bagaimana kabar dengan Gaza hingga saat ini?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa pesawat tempur Israel telah melakukan 41 serangan udara terhadap layanan medis di Jalur Gaza. Serangan itu terjadi setelah Israel melancarkan serangan militer menyusul serangan mendadak yang dilakukan Hamas. "Sejak 7 Oktober, 41 serangan terhadap layanan medis di Gaza telah terkonfirmasi. Sebanyak 11 pekerja medis tewas saat bertugas dan 16 lainnya terluka.
Ketika serangan terus berlanjut, jumlah ini kemungkinan akan meningkat, dan ini mengkhawatirkan. bahwa banyak rumah sakit di kawasan ini kesulitan untuk menampung pasien dalam jumlah besar, sehingga kapasitasnya melebihi batas. Semua petugas kesehatan di Gaza “sangat tangguh” dan akan terus melakukan pekerjaan mereka.
WHO, bersama dengan organisasi kemanusiaan lainnya dalam sistem PBB, memberikan bantuan kemanusiaan dengan harapan penyeberangan perbatasan dapat mencapai Gaza. Pada akhirnya, kita perlu mengakhiri permusuhan. Karena hanya dengan cara ini kita dapat mencegah hilangnya nyawa kita sendiri dan bahkan nyawa manusia lainnya.
Menjelang Hari Kemanusiaan Sedunia pada 19 Agustus, PBB hari ini memperingatkan bahwa tahun 2023 akan menjadi tahun dengan tingginya korban kemanusiaan. Dua puluh tahun setelah serangan mematikan terhadap PBB di Irak, pekerja kemanusiaan tetap berkomitmen untuk #NoMatterWhat, meski risikonya semakin besar. Sepanjang tahun ini, 62 pekerja kemanusiaan telah tewas dalam krisis di seluruh dunia, 84 orang terluka dan 33 orang diculik, menurut data awal dari Tim Peninjau Hasil Kemanusiaan dari Database Keamanan Pekerja Bantuan Bantuan. Tahun lalu, 116 orang meninggal. 4,444 orang Sudan Selatan telah menjadi pemimpin dalam ketidakamanan selama beberapa tahun berturut-turut. Empat puluh serangan terhadap pegiat kemanusiaan dan 22 kematian dilaporkan pada 10 Agustus.
Sudan berada di urutan kedua, dengan 17 serangan terhadap Pegiat kemanusiaan dan 19 kematian dilaporkan sepanjang tahun ini. Jumlah tersebut melampaui jumlah yang tidak terdata sejak puncak konflik Darfur antara tahun 2006 dan 2009. Korban pegiat kemanusiaan lainnya tercatat di Republik Afrika Tengah, Mali, Somalia dan Ukraina. Tahun lalu, 444 pegiat bantuan diserang. Tahun sebelumnya, 460 kemanusiaan diserang, mengakibatkan 141 kematian. Hari Kemanusiaan Sedunia tahun ini juga menandai 20 tahun sejak serangan bom bunuh diri tahun 2003 di markas besar PBB di Canal Hotel di Baghdad, Irak, yang menewaskan 22 staf PBB. Sekitar 150 orang lagi pegiat bantuan lokal dan internasional yang membantu merekonstruksi Irak juga terluka pada hari kelam itu.
Terlepas dari tantangan keamanan dan akses, semua lapisan pegiat kemanusiaan berkampanye tahun ini untuk menyoroti komitmen berkelanjutan mereka untuk memberikan komunitas yang mereka layani, tidak peduli siapa, di mana pun dan #NoMatterWhat. Dalam menghadapi kebutuhan urusan kemanusiaan yang meroket, PBB dan mitranya bertujuan untuk membantu hampir 250 juta orang dalam krisis di seluruh dunia – 10 kali lebih banyak daripada tahun 2003.
Peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia tahun ini pada tanggal 19 Agustus 2023 akan diselenggarakan bersama oleh UN OCHA, bekerja sama dengan badan-badan PBB lainnya di Indonesia, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (BNPB), dan Kementerian Sosial, dengan dukungan lainnya, terselenggara dengan sukses besar. Kami bekerja sama dengan pejabat pemerintah, LSM, organisasi transnasional, agama dan PT Integra Transit Jakarta.
Komentar
Posting Komentar