Langsung ke konten utama

Tantangan dan Sumber Daya yang Dihadapi oleh Calon Legislatif Perempuan dalam Politik: Sudut Pandang Ideologis dan Psikologis

Tantangan dan Sumber Daya yang Dihadapi oleh Calon Legislatif Perempuan dalam Politik: Sudut Pandang Ideologis dan Psikologis

Oleh : A. Dian Mustika Anugrah

Kesetaraan gender adalah prinsip mendasar dalam masyarakat yang adil dan inklusif. Kedua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki, memiliki potensi dan kemampuan yang sama dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, karier dan kepemimpinan. Oleh karena itu, membatasi atau meremehkan peran salah satu jenis kelamin adalah tidak adil dan tidak produktif. Ketika masyarakat memberikan peluang yang setara kepada perempuan dan laki-laki, ini tidak hanya mendukung hak asasi manusia, tetapi juga memberikan manfaat nyata. Perempuan dan laki-laki dapat bekerja bersama-sama, menggabungkan perspektifnya, dan menciptakan Dengan demikian, memandang perempuan dan laki-laki sebagai individu yang memiliki nilai dan potensi yang setara adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil, seimbang, dan berkelanjutan.

Ketertinggalan kaum perempuan dari kaum laki-laki dapat disebabkan oleh perbedaan dalam aspek nurturing. Aspek nurturing ini berkaitan dengan pandangan bahwa dalam konteks sosial budaya, perempuan seringkali diarahkan ke peran yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki. Dampak budaya seperti ini menghasilkan situasi di mana perempuan kurang terlibat dalam lapangan-lapangan seperti birokrasi, pemerintahan, sektor swasta, elit budaya, dan agama. Pandangan ini perlu mengalami perubahan yang mendalam. Kita harus merubah cara memandang peran perempuan dalam masyarakat dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada perempuan untuk berkontribusi di berbagai sektor kehidupan, sehingga menciptakan kesetaraan gender yang lebih baik.

Sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, kuota perempuan setidaknya 30% telah diwajibkan, baik untuk keanggotaan pengurus partai politik, calon anggota KPU, maupun calon anggota DPR/DPRD. Sejak saat itu, perempuan Indonesia yang mungkin sebelumnya kurang menyadari ketidaksetaraan gender mulai aktif dalam perjuangan untuk kebijakan tindakan afirmatif. Pada Pemilu 2014, perempuan sekali lagi diberikan peluang, di mana partai politik yang berpartisipasi di Pemilu diwajibkan untuk memenuhi persyaratan setidaknya 30% perwakilan perempuan dalam kepengurusan partai di tingkat nasional (UU No.8/2012, pasal 15 huruf d) dan pencalonan anggota DPR/D (UU No. 8/2012, pasal 55).

Hambatan yang dihadapi calon legislatif perempuan dalam politik adalah kompleks dan melibatkan aspek ideologis dan psikologis yang memerlukan perhatian serius. Salah satu permasalahan kunci adalah ketahanan ideologi gender yang masih melekat dalam masyarakat, yang sering kali mengakar pada budaya yang didominasi oleh pandangan patriarki. Artinya, konsep peran gender yang klasik seringkali menghasilkan persepsi yang merendahkan peran serta kapasitas perempuan dalam bidang politik. Ini dapat menciptakan hambatan bagi perempuan yang ingin memasuki dunia politik.

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi hambatan ini. Salah satu langkah penting adalah memperkuat dukungan dan pelatihan bagi perempuan yang berkeinginan terlibat dalam politik. Ini mencakup memberikan akses ke pelatihan politik yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan rasa percaya diri yang diperlukan untuk sukses di politik. Selain itu, perubahan dalam persepsi dan norma sosial juga diperlukan. Masyarakat perlu menyadari nilai dan potensi yang dimiliki oleh perempuan dalam dunia politik dan menghapus stereotip yang menghambat partisipasi mereka. Misalnya melibatkan kampanye pendidikan yang bertujuan untuk mengubah pandangan masyarakat tentang peran gender dalam politik. Maka upaya menuju kesetaraan gender dan inklusi perempuan dalam politik adalah penting, bukan hanya sebagai prinsip dasar hak asasi manusia, tetapi juga sebagai langkah yang mendorong representasi yang lebih seimbang dan mencerminkan keragaman masyarakat. Kesetaraan dalam politik tidak hanya mendukung hak perempuan, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, inovatif, dan adil.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan