Mempertanyakan Teori JTB (Justified True Belief) sebagai Pengetahuan
Oleh: Ardyansyah Saputra Basri
Jika
pemahaman dan pengetahuan adalah sama dengan keyakinan, maka ia tidak ubahnya
sama dengan teori JTB (justified true belief) yang dikemukakan oleh Plato dalam karyanya yang berjudul Theaetetus
dalam Meno.
Menurut
teori JTB, sesuatu dapat disebut sebagai pengetahuan apabila memenuhi tiga
kriteria, yaitu: 1) sesuatu itu terjustifikasi (diberikan alasan yang kuat/ada
pembuktiannya); 2) sesuatu itu benar (sungguh terjadi dalam kenyataan); 3)
sesuatu itu diyakini (kebenarannya dipercayai).
Pandangan
Plato hingga abad ke 20 sangat mempengaruhi pemahaman manusia tentang
pengetahuan dan menganggap definisi Plato tersebut benar. Kemudian pada tahun
1963, Edmund L. Gettier[1] melalui filsafat analitik[2] mengkritik pandangan Plato
dalam bentuk suatu permasalahan (eksperimen pikiran) yang dikenal sebagai masalah Gettier.
Pandangan Plato tersebut dapat dinyatakan
dalam bentuk:
(a) S mengetahui P
JIKA
(i)
P benar (true)
(ii)
S meyakini P (believe)
(iii) S mendapatkan bukti saat meyakini
P (justified)
Edmund
L. Gettier berargumen bahwa (a) adalah salah karena yang dinyatakan di dalam
proposisi (a) bukan merupakan kondisi yang cukup untuk menyatakan kebenaran
bahwa S mengetahui P. Terdapat dua poin yang menjadi perhatian Edmund L.
Gettier:
·
Pertama, dalam
pengertian "justified"
atau terjustifikasi di mana pembenaran
S dalam mempercayai P adalah kondisi yang diperlukan untuk S mengetahui P.
Hal ini mungkin bagi seseorang untuk meyakini sesuatu (kebenaran atas sesuatu
tersebut dipercayai) yang proposisinya sebenarnya salah.
·
Kedua, untuk setiap
proposisi P, jika S dibenarkan dalam mempercayai P, dan P melibatkan Q, dan S
menyimpulkan Q dari P dan menerima Q sebagai hasil dari deduksi (metode
penarikan kesimpulan dari umum ke khusus) ini, maka
S dibenarkan dalam mempercayai Q.
Contoh kasus yang diberikan oleh Edmund
L. Gettier adalah sebagai berikut:
Misalkan Smith dan Jones melamar
pekerjaan tertentu. Dan anggaplah Smith memiliki bukti yang kuat untuk
proposisi konjungtif berikut:
(d) Jones adalah orang yang akan
menerima pekerjaan tersebut, dan di kantongnya terdapat uang 10 dolar.
Bukti Smith atas (d) yaitu pimpinan
perusahaan meyakinkannya bahwa Jones yang kemungkinannya akan dipilih pada
pekerjaan tersebut, dan Smith telah melihat bahwa di saku Jones hanya terdapat
uang 10 dolar beberapa waktu yang lalu.
Proposisi (d) mencakup:
(e) Pria yang mendapatkan pekerjaan
tersebut adalah yang memiliki uang 10 dolar dalam sakunya.
Misalkan
Smith melihat entailment[3] proposisi (d) ke (e), dan
menerima (e) atas dasar (d) karena memiliki bukti yang kuat. Pada kasus ini,
Smith jelas meyakini bahwa proposisi (e) adalah benar.
Namun coba
bayangkan, jika tanpa Smith ketahui, bahwa Smith sendiri yang mendapatkan
pekerjaan tersebut, bukan Jones. Dan juga, tanpa Smith ketahui, ternyata
terdapat uang 10 dolar di sakunya. Sehingga proposisi (e) benar, meskipun
proposisi (d) yang darinya Smith menyimpulkan proposisi (e) adalah salah.
Jadi dalam kasus tersebut, semua hal
berikut ini adalah benar:
(i).
(e) benar;
(ii).
Smith percaya bahwa (e) benar;
(iii). Smith memiliki bukti meyakini
bahwa (e) benar.
Tetapi pada
saat yang bersamaan, Smith tidak tahu bahwa (e) benar; untuk (e) benar berdasarkan jumlah koin di saku Smith, sementara Smith
tidak tahu berapa banyak koin di sakunya, dan
mendasarkan keyakinannya pada (e) pada hitungan koin di saku Jones, yang dia
salah percaya untuk menjadi orang yang akan mendapatkan pekerjaan.
Sehingga keyakinan yang terjustifikasi dengan benar
(teori JTB) tidak memadai untuk menjelaskan pengetahuan; mesti ada unsur baru
yang ditambahkan agar definisi pengetahuan tersebut memadai. Namun hingga saat
ini, para filsuf masih berdebat mengenai ‘unsur baru’ apa yang mesti
ditambahkan itu.
[1]
Edmund L. Gettier, Is Justified True Belief
Knowledge?, Analysis, Volume 23, Issue 6, June 1963, Pages
121–123, https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121
[2] Filsafat analitik dilandasi oleh fokus pada filsafat matematika serta merupakan pendekatan filsafat yang sangat ketat dan sangat mengandalkan perangkat logika formal seperti kalkulus predikat (yang melampaui silogisme sederhana Aristoteles).
[3]
Entailment berarti bahwa, Jika kalimat A memerlukan kalimat B, kalimat A tidak bisa benar
tanpa B juga benar.
Komentar
Posting Komentar