Instrumen Pengetahuan Menurut Murtadha Muthahhari
Oleh: Ardyansyah Saputra Basri
Apa saja alat yang dimiliki manusia
untuk memperoleh pengetahuan? Lalu seputar topik-topik apakah yang harus
diketahui dan dikenal oleh manusia? Dan berkenaan dengan masalah kriteria
pengetahuan, apakah kita dapat mengetahui suatu pengetahuan itu benar atau
salah? Kriteria apa yang dapat digunakan untuk mengetahui jenis pengetahuan
terbaik?.
Indra, Instrumen yang
Diperlukan dalam Pengetahuan
Manusia memiliki
berbagai macam indra; penglihatan, pendengaran, penghidu, pengecap, dan perabaAndaikan
manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan semua bentuk
pengetahuan. Hal ini juga diungkapkan oleh Aristoteles bahwa, “Siapa yang
kehilangan satu indra, maka ia kehilangan satu ilmu”. Contoh seseorang yang
dilahirkan dalam keadaan buta, ia tidak dapat membayangkan warna, bentuk, dan
jarak. Bahkan meskipun orang lain mencoba memberi penjelasan dengan
mendefinisikan warna itu dengan ragam kalimat dan ungkapan. Begitupun mustahil
untuk menjelaskan kepada orang yang tuli sejak lahir mengenai suara dan musik. Namun
indra tidak cukup untuk mendapatkan pengetahuan, memang ia diperlukan tapi
masih belum memenuhi syarat bagi pengetahuan.
Peran Akal dalam
Pengetahuan
Selain indra,
manusia dalam memperoleh pengetahuan memerlukan suatu bentu pemilahan (tajzi’ah)
dan analisis (tahlil). Pemilahan dan analisis merupakan aktivitas
akal. Keduanya berfungsi untuk mengklasifikasikan objek-objek tertentu dalam
kategori-kategori yang berbeda-beda dan menyusunnya dalam bentuk khusus. Di
sini, merupakan tugas logika untuk melakukan aktivitas pemilahan dan penyusunan
(tahkib).
Pengkategorian
merupakan aktivitas akal dan pemikiran, serta merupakan analisis dan pemilahan
yang sifatnya rasional (‘aqli). Kita merasakan bahwa segala sesuatu itu
berbentuk particular (juz’i) dan kemudian kita buat suatu bentuk
pengelompokan yang sifatnya general (‘amm) dan universal (kulli).
Pengelompokan
yang sifatnya general dan universal merupakan proses dan aktivitas akal, bukan
aktivitas indra. Di antara aktivitas akal manusia adalah abstraksi (tajrid).
Abtsraksi bukanlah pemilahan (tajzi’ah), melainkan proses yang tengah
berlangsung dalam akal untuk melepas dua perkara yang sebenarnya berada pada
alam objektif hanya berupa satu perkara, yang tidak mungkin dapat dilepas dan
dipisah-pisahkan serta tidak mungkin dapat berpisah. Sebagai contoh, dalam
realitas objektif ini Anda akan menemukan adanya suatu bilangan yang berdiri
sendiri (akal mengabstraksi atau melepaskan bilangan dari objek yang dibilang,
dan karena kemampuan mengabstraksi tersebut maka ia memiliki kemampuan untuk
berpikir dan mengetahui.
Oleh karena itu,
benar jika indra merupakan salah satu alat pengetahuan, namun alat yang lain
disebut dengan rasio, akal, pikiran, daya piker. Dalam usaha memahami dan
mengetahui, keduanya (indra dan akal) mesti ada, dan manusia selalu perlu pada
keduanya itu.
Al-Qur’an tentang
Instrumen Pengetahuan
Dalam Q.S. an-Nahl:78 disebutkan, “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apa pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur”.
Mengapa hanya indra pendengaran dan
penglihatan? Atas pertanyaan ini, Ibn Sina telah berhasil menemukan suatu
kriteria yang indah, “Coba kalian cari dan temukan kata-kata yang berhubungan
dengan sesuatu yang dirasa, disentuh; setelah itu kata-kata yang berhubungan
dengan penglihatan dan pendengaran. Tentu kalian dapati bahwa dalam bab
penglihatan dan pendengaranlah terdapat beribu-ribu kata. Bahkan sebagian besar
dari sesuatu yang dapat disentuh dan dirasa itu adalah melalui penglihatan dan
pendengaran”.
Dalam ayat tersebut, manusia yang
awalnya tidak mengetahui dan mengenal apapun, diberikan instrument pengetahuan
berupa indra pendengaran dan pendengaran agar dapat mengenali dan mengetahui. Dan
hati, hati disini ditafsirkan Muthahhari sebagai lubb dan hijr,
yang berarti pusat pikiran. Hati yakni suatu kekuatan yang mampu untuk memilah
(tajzi’ah), Menyusun (tarkib), menggeneralisasi (ta’mim), dan
mengabstraksi (tajrid); suatu kekuatan yang memiliki peran penting dalam
pengetahuan.
Kata “Syukur” dalam
al-Qur’an
Kata syukur (syukr) memiliki arti
taqdir (penghargaan). Bersyukur yakni menghargai. Oleh karena itu Allah
Swt juga disebut sebagai syakur (Maha Menghargai). Syakur yang dimaksud
bukanlah Allah yang bersyukur pada Zat-Nya, atau bukan pula berarti bahwa Allah
bersyukur kepada hamba-Nya.
Melainkan, karena Allah itu bersyukur
dan menghargai, maka Dia, “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-Tawbah:120). Karena Allah menghargai
dan mengenal nilai-nilai, maka Zat-Nya disebut Syakur, yakni tidak
menyamakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk, antara yang patuh dan
pembangkang, “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang
berbuat maksiat? (Q.S. Shad:28); “Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (Q.S. al-Zumar:9). Allah Swt disebut syakur
karena Allah menghargai kemuliaan, kebaikan, usaha baik, niat baik, dan
ketulusan hati pada diri manusia.
Sedangkan hamba yang syakur
adalah hamba yang telah memperoleh berbagai kenikmatan dan kemudian menghargai
kenikmatan itu. Maksudnya adalah menggunakan kenikmatan itu pada jalan yang
sesuai dengan tujuan penciptaan. Mensyukuri mata bukan hanya mengatakan
“Tuhanku, aku telah bersyukur” karena hanya merupakan suatu pemberitahuan dan
ungkapan. Tidak ubahnya seperti, “Aku memohon ampunan kepada Allah Tuhanku dan
aku bertobat kepada-Nya” (astaghfirulLaha Rabbi wa atubu ilayh) yang
mana ini adalah sebuah ungkapan tobat dan bukan berarti telah bertobat.
Bersyukur yakni bergerak, beramal,
menggunakan kenikmatan sesuai dengan tujuan Allah dalam menciptakan kenikmatan
itu. Lalu bagaimana bersyukur atas pendengaran dan penglihatan?, “Katakanlah:
Perhatikanlah apa yang ada di langit dan apa yang di bumi”. (Q.S. Yunus:101).
Bersyukur atas mata adalah memerhatikan
dan mengkaji alam. Bersyukur atas telinga ialah mendengarkan berbagai kebaikan.
Bersyukur atas hati ialah berpikir, merenungkan, memilah dan menganalisis,
mengabstraksi, mengeneralisasi, dan berargumentasi.
Intrumen Hati
(Penyucian Jiwa)
Hati yang dimaksud di sini adalah
sebagaimana yang dipahami dalam Irfan, bukan hati dalam terma al-Qur’an. Maksud
memperoleh pengetahuan melalui hati ialah dengan melakukan penyucian jiwa,
penyucian hati.
Referensi: Muthahhari, Murtadha. 2019. Teori Pengetahuan. Sadra Press. Bab II: Instrumen Pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar