Posibilitas Pengetahuan Menurut Murtadha Muthahhari
Oleh: Ardyansyah Saputra Basri
Hubungan antara Ideologi dan Pandangan Dunia
Pandangan dunia adalah bentuk dari
sebuah kesimpulan, penafsiran, dan hasil kajian berkenaan dengan alam semesta,
manusia, masyarakat, dan sejarah. Jika pandangan dunia berlainan, maka ideologinya
pun tidak serupa.
Oleh karena ideologi adalah hasil dari pandangan
dunia −ideologi akan mengikuti bagaimana bentuk dari pandangan dunia−, maka
pandangan dunia merupakan “bangunan bawah” (asas, fondasi atau sandaran) yang
memperkuat suatu bentuk pemikiran (ideologi). Sedangkan ideologi adalah
“bangunan atas” (bentuk) suatu pemikiran.
Sehingga dalam
kalangan faylasuf, ideologi adalah hikmah ‘amaliyyah (ilmu praktis) dan
pandangan dunia adalah hikmah nazhariyyah (ilmu teoritis); hikmah
‘amaliyyah adalah hasil dari hikmah nazhariyyah, bukan sebaliknya.
Akar Perbedaan Pandangan Dunia
Oleh karena
sebagian memandang alam ini memiliki suatu bentuk, dan sebagian memandangnya
memiliki bentuk yang lain; yang satu pengetahuannya tentang ala mini adalah
demikian dan yang lain memahami alam sebagai hal yang berbeda. Dan tidak
mungkin kedua pendapat tersebut sama-sama benar. Dari keduanya, salah satunya
salah dan yang lain benar. Inilah yang menjadi letak pembahasan tentang masalah
pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah.
Urgensi Pengetahuan
Ideologi, mazhab, dan isme berlandaskan
pandangan dunia, sedangkan pandangan dunia berpijak pada pengetahuan. (Contoh
orang yang memiliki ideologi materialis yang berlandaskan pada pandangan dunia
materialis memiliki landasan pada bentuk epistemology tertentu).
Pengetahuan (dipengaruhi
oleh bagaimana pandangan dunia yang merupakan bangunan bawah dari ideologi
seseorang).
Mungkinkah Kita Mengetahui?
Lebih lanjut
pertanyaan mungkinkah manusia mengetahui dan memahami alam ini? Mungkinkah
manusia memahami hakikatnya? dst. Sebagian orang menolak sepenuhnya mengenai
kemungkinan tersebut, dimana manusia tidaklah mungkin berpengetahuan −tidak
ada suatu bentuk pengetahuan pada diri manusia yang dapat dijadikan sandaran
dan dapat dipercaya− dan agnostisisme sudah menjadi kodrat, ketentuan
dan Nasib manusia yang tidak dapat diubah.
Phyro dan Posibilitas Pengetahuan
Pada zaman Yunani Kuno, Phyro menyajikan
argument tentang ketidakmungkinan manusia memiliki pengetahuan. Ia mengatakan
“mengetahui adalah hal yang mustahil”; ‘ragu’ dan ‘saya tidak tahu’ adalah
ketentuan dan nasib niscaya manusia”. Argumen sederhana yang ia sampaikan
adalah “Bila manusia hendak mengetahui sesuatu, apa alat yang akan ia gunakan?
Kita tidak memiliki akal lebih dari dua, indra dan akal. Sekarang saya bertanya,
“Apakah indra dapat berbuat kesalahan ataukah tidak? Pasti semua menjawab bahwa
kesalahan yang terjadi pada indra manusia tidak terhitung jumlahnya, bahkan
terdapat orang yang mampu membuktikan seratus kesalahan yang telah dilakukan
oleh alat penglihatan”. Ia melanjutkan, “Sesuatu yang ada kemungkinan salah dan
dapat menjadi salah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan dan sandaran.
Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya
tidak dapat mempercayai penglihatan saya ketika penglihatan itu melihat sesuatu
yang lain”.
Sedangkan pada
akal, Phyro mengatakan, “Akal justru melakukan banyak kesalahan melebihi indra.
Pada berbagai argument yang rasional, para pemikir seringkali melakukan
kesalahan. Artinya, jika indra dapat melakukan kesalahan maka akal pun juga
demikian, sementara manusia tidak memiliki hal lain kecuali dua alat ini. Oleh
karena itu, bagaimanapun dan apapun yang kita pikirkan, yang berhubungan dengan
akal dan/atau indra maka jelas dapat menjadi salah. Dengan demikian, manusia
tidak dapat mempercayainya dan menjadikan keduanya sebagai landasan”.
Keraguan al-Ghazali
Al-Ghazali saat menuntut ilmu, ia
meragukan segala sesuatu yang ada; ia meragukan segala hal yang digapai. Dia
mulai dari indra sembari mengatakan:
“Sekarang aku duduk di sini, dengan buku
di hadapanku, sedangkan pena dan kertas di genggamanku. Aku sedang melihat
angkasa, aku tengah mendengar berbagai suara. Sekalipun aku ragu terhadap
berbagai hal, namun aku tidak dapat ragu terhadap keraguanku ini”.
Kemudian ia memberi jawaban kepada
dirinya sendiri:
“Wahai Ghazali! Sampai sekarang kau
masih tengah bermimpi. Misalnya dalam mimpi kau duduk dan menulis buku,
sedangkan berbicara dengan rekan-rekanmu, kau mendengar pembicaraannya, dan di
dalam mimpi itu kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri, memakan makanan
yang lezat, dan semuanya itu tidak ubahnya seperti keluhan si fakir yang hidup
sengsara:
suatu malam aku bermimpi mengenakan
pakaian baru,
kudengar alunan music dan aku di ranjang
hangat dan lembut,
sakuku penuh dengan uang yang tidak
terhitung,
saat terjaga kulihat sebagian anggota
tubuhku tanpa pakaian.
Wahai Ghazali, tidakkah dalam alam
mimpimu kau lihat hal semacam ini? Sebagaimana sekarang ini kau tidak merasa
ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpi pun kau tidak merasa ragu
terhadap apa yang kau lihat saat itu. Seseorang merasa ragu atas apa yang ia
lihat dalam mimpinya dan mengatakan, ‘apakah yang kulihat itu benar atau
salah?’ di alam mimpi manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan
benar-benar ia saksika. Namun saat ia terjaga, ternyata semua itu hanya
khayalan dan tidak ada bentuknya.”
Selanjutnya Ghazali menanyakan pola yang
serupa pada seluruh kehidupannya, apakah bukan mimpi besar dan bukan lanjutan
dari mimpi yang Panjang.
Al-Ghazali memulai
aktivitas berpikirnya dengan keraguan, dan menyatakan telah memperoleh
keyakinan.
Descartes dan Masalah Pengetahuan
Descartes saat
meneliti “pandangan dunia”-nya memeriksa keyakinannya terhadap berbagai bentuk
persoalan pengetahuan dan terperosok pada masalah pengetahuan. Pada msalah
pengetahuan tersebut, ia hendak bersandar pada indra, tapi indra adalah alat
yang paling lemah dan rapuh. Ia hendak bersandar pada akal, ia juga melihat ada
kelemahan. Tiba-tiba ia merasa kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia
meragukan segalanya. Ketika ia tenggelam dalam bimbang dan ragu-ragu, ia
kemudian sadar “Meskipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu
bahwa saya sedang dalam keadaan ragu. Bahkan sekalipun aku meragukannya, aku
tetap mengetahui bahwa aku sedang merasa ragu” (cogito ergo sum).
Jawaban atas Keraguan Phyro
Masalah pertama dari pengetahuan adalah
masalah posibilitas pengetahuan, yaitu mungkinkah manusia memiliki kemampuan
untuk memahami dan mengetahui?
Phyro menyakini bahwa kedua alat
pengetahuan manusia adalah salah dan kita tidak bisa bersandar padanya, namun
ia sebenarnya keliru (dengan perantaraan keyakinan; misal orang baru bangun
tidur dan melihat seseorang dengan dua hidung dan empat mata sembari menggosok
matanya, ia akan mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan yang dimana tidak
mungkin manusia memiliki dua hidung dan empat mata).
Jika akal berbuat kekeliruan, kemudian
dengan yakin dan pasti bahwa manusia mengatakan bahwa akal telah melakukan
kekeliruan, hal itu sama dengan “aku mengetahui bahwa akal telah melakukan
suatu kekeliruan”, maka manusia telah sampai pada kebenaran, dan jika manusia
telah sampai pada kebenaran makai a akan mengetahui kekeliruan apa pun yang ada
di depannya.
Sebagian pengetahuan kita keliru dan
pasti sebagian lainnya adalah benar, lalu dengan pengetahuan yang benar kita
melakukan koreksi pada teori pengetahuan (epistemology) yang salah. Dari
sinilah muncul ilmu logika, yang merupakan asas dari pengetahuan
Penyimpangan Sejarah Paling Merugikan
Dalam taurat, diceritakan bahwa Adam dan
istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk dinikmati, namun terdapat
pohon yang tidak boleh didekati dan buahnya tidak boleh dimakan. Adam memakan
buah tersebut sehingga ia dikeluarkan dari surga.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
dikeluarkannya Adam berkaitan dengan sisi kemanusiaannya dan sisi
ketinggian/kemuliaannya. Adam memiliki dua bentuk kesempurnaan dan Allah tidak
mengkehendaki keduanya diraih oleh Adam sekaligus; pertama kesempurnaan
pengetahuan; dan kedua, kekekalan di surga.
Adam telah merasakan buah dari pohon
pengetahuan, lalu matanya terbuka. Saat itu ia mengetahui yang baik dan buruk.
Ia selanjutnya berkata, “selama ini saya dalam keadaan buta, sekarang mata saya
terbuka. Saya mengetahui apa yang baik dan yang buruk”. Kemudian Allah
berfirman kepada malaikat, “lihatlah! Kami tidak mengkehendaki dia menikmati
buah dari pohon pengetahuan dan epistemology, tapi ia memakannya dan matanya menjadi
terbuka. Sekarang saat matanya terbuka, ini amat berbahaya jika ia memakan buka
pohon kekekalan, yang akhirnya ia dapat hidup kekal/abadi. Oleh sebab itu, kita
keluarkan saja ia dari surga!”.
Akar pemikiran ini terdapat dalam agama
Nasrani dan Yahudi yang keduanya menganggap Taurat sebagai “perjanjian lama”
dari kitab samawi. Disebutkan bahwa manusia mesti konsisten terhadap agama dan
nantinya akan masuk surga yang penuh dengan kenikmatan, tetapi mata kalian
mesti dalam keadaan tertutup. Jika mata kalian terbuka, maka kalian mesti hidup
dalam keadaan sengsara dan menanggung beban penderitaan.
Bentuk pengetahuan seperti ini
menghadirkan kontradiksi (mazhab adalah agama Tuhan, perintah Tuhan!). “Dengan
demikian, ada kontradiksi antara agama dan pengetahuan. Adam mesti beragama dan
mematuhi perintah Tuhan namun matanya dalam keadaan buta dan tidak mengetahui
apapun; atau memiliki pengetahuan sebab memakan buah pengetahuan dan matanya
terbuka, tapi melanggar perintah Tuhan. Karena supaya matanya dapat terbuka
(memiliki pengetahuan) ia mesti melanggar perintah Tuhan dan mengesampingkan
agama”.
Al-Qur’an dan Kisah Adam a.s.
Buah teralarang
berkaitan dengan sisi kebinatangan (hayawaniyyah) manusia −aspek yang
merupakan bagian dari hawa nafsu, serakah, tamak, dengki; yang secara istilah
disebut dengan “anti kemanusiaan”− dan bukannya berkaitan dengan sisi
kemanusiaan (insaniyyah) manusia. Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni
janganlah engkau tamak. Janganlah engkau mendekati pohon dengki, yakni
janganlah engkau mendengki. Namun Adam a.s. menjatuhkan dirinya dari
kemanusiaan dan mendekati pohon itu. Ia mendekati ketamakan, keserakahan,
kedengkian, sifat takabur, yaitu berbagai hal yang merendahkan dan menjatuhkan
nilai-nilai kemanusiaan. Allah Swt. berfirman “keluarlah dari sini!”. Allah Swt
mengusir Adam a.s. dari surga setelah, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu
berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu
orang-orang yang benar!” (Q.S. al-Baqarah:31).
Setelah Allah
mengajarkan kepada Adam a.s. seluruh hakikat daripada segala sesuatu (seolah
kemudian berfirman), “Ini bukan tempat tinggalmu, keluarlah dari sini”.
Berdasarkan Q.S.
al-Baqarah:31, saat Adam a.s. diciptakan, telah dikatakan padanya untuk tinggal
di dalam surga. Ia diciptakan sebagai manusia dan dikaruniai pengetahuan −memahami
dan mengetahui berbagai hakikat− namun ia telah keluar dari sisi
kemanusiaannya.
Bahkan dengan
ilmu dan pengetahuan yang ia miliki, Adam masih terpedaya dengan hawa nafsunya,
menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya menjadikan ia tamak dan
serakah. Allah Swt. menegaskan bahwa surga adalah tempat untuk manusia, sedangkan
Adam a.s. telah keluar dari sisi kemanusiaannya dan diturunkan dari surga
karena tidak mengamalkan pengetahuan yang ia miliki.
Pengetahuan
melahirkan pandangan dunia, pandangan dunia melahirkan ideologi, dan ideologi
butuh pengamalan (perbuatan atau Tindakan yang memiliki dua sisi: positif dan
negative), maka diperlukan ketakwaan untuk menjaga dan menahan diri. Misalnya
ketika pandangan kita tertuju pada makanan kemudian air liur menetes, tidakkah
manusia mampu menahan diri untuk tidak memakannya? Seorang manusia dituntut
untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan utnuk menahan diri.
Dalam logika
Islam, sebab Adam a.s. dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak
mengamalkan tahap keempat dari pengetahuannya. Tahap pertama adalah
pengetahuan, tahap kedua adalah pandangan dunia, tahap ketiga adalah ideologi,
dan tahap keempat adalah tindakan. Disinilah ia tergelincir sehingga Allah Swt
mengusirnya dari surga.
Dengan demikian,
al-Qur’an tidak mengakui pelarangan untuk menggali pengetahuan, tetapi justru mendukung
pengetahuan, dalilnya adalah Q.S. al-Baqarah:31. Sehingga al-Qur’an mengakui
posibilitas pengetahuan. Oleh karena manusia adalah anak keturunan Adam a.s.
yang telah berhasil memperoleh pengetahuan tanpa batas, maka anak keturunan
Adam a.s. sama dengan anak pengetahuan. Sehingga kita mesti melangkah menuju
pengetahuan tanpa batas itu.
Ajakan al-Qur’an pada Pengetahuan
Al-Qur’an secara
tegas mengajak keturunan Adam a.s. pada pengetahuan, dimana terdapat perintah
dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, membaca, dan merenungkan.
Misalnya pada
Q.S. Yunus:101, “Katakanlah: Lihatlah (perhatikanlah) apa yang ada di langit
dan bumi”, Muthahhari menjelaskan bahwa ayat tersebut seolah ingin menyampaikan
bahwa “Wahai manusia, kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah
Tuhanmu, kenalilah masamu, dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu”.
Perhatikanlah
apa yang ada di tingkatan langit dan penjuru bumi; semua yang ada di alam raya
ini. Dengan kata lain, al-Qur’an mengajak manusia pada pengetahuan. Artinya,
posibilitas pada pengetahuan adalah niscaya.
Referensi: Muthahhari, Murtadha. 2019. Teori Pengetahuan. Sadra Press 2019. Bab I: Posibilitas Pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar