Pengantar Singkat Epistemologi
Oleh: Ardyansyah Saputra Basri
Istilah
Epistemologi muncul agak lebih kemudian setelah istilah Filsafat Ilmu “philosophie
des science” yang pertama kali dimunculkan oleh Andre-Marie Ampere
(1775-1835) dalam bukunya yang berjudul Essai sur la philosophie des
science, ou exposition analytique d’une classificication naturelle de toutes
les connaissances humanies yang terbit di Paris tahun 1834[1]. Pada era yang sama,
Aguste Comte (1798-1857) menggunakan istilah yang sama (philosophie des
science) ketika melakukan klasifikasi terhadap ragam ilmu pengetahuan.[2] Sedangkan istilah dalam
bahasa Inggris “philosophy of science” baru muncul pada tahun 1840
berdasarkan buku yang berjudul The philosophy of the Inductive Sciences
Founded upon their History karya William Whewell (1794-1866). Adapun dalam
bahasa Indonesia, diterjemahkan menjadi Filsafat Ilmu: sebuah kajian
mengenai hakikat pengetahuan manusia yang biasa disebut sebagai ilmu.
Istilah epistemology
diciptakan oleh Frederick Ferrier (1808-1864), seorang metafisikus dari
Skotlandia, dalam sebuah manual Institutes of Metaphysics yang
diterbitkan pada tahun 1854. Berasal dari akar bahasa Yunani[3], gabungan dari episteme
(ilmu pengetahuan) dan logos (wacana rasional, pemaknaan)
atau filsafat pengetahuan atau teori pengetahuan. Berbeda dari filsafat ilmu
yang membahas aspek filosofis ilmu pengetahuan atau sains, epistemologi lebih
sempit membahas dasar-dasar pengetahuan secara umum. Dalam definisi epistemologi
terkandung sebuah refleksi atas refleksi, yakni bagaimana pengetahuan (logos)
mengetahui pengetahuan (episteme).
Epistemologi
adalah kajian dalam filsafat yang utamanya mencari pengertian dari pengetahuan;
asal-usul, penyebab, dan cara kerja dari pengetahuan.
Apakah
syarat-syarat pengetahuan?; Bagaimana pengetahuan kita mungkin? (Pertanyaan ini
berusaha mencari tahu landasan pengetahuan yang kita klaim sebagai sesuatu yang
didasarkan pada pengalaman, rasionalitas, atau sumber-sumber lainnya.
Pada budaya
Yunani Kuno telah membedakan antara empereia (pengalaman sehari-sehari,
keterampilan yang diperoleh berkat latihan dan praktek), dengan episteme (knowledge,
science yang memberi “alasan dan penjelasan” mengapa sesuatu harus
demikian)[4].
Menurut Immanuel Kant:
·
A
priori: pengetahuan yang hadir sebelum pengalaman (nalar murni yang tidak
bertumpu pada pengamalan).
·
A
posteriori: pengetahuan yang hadir setelah pengalaman.
[1]
Dominique Lecourt. 2001. La Philosophie des science, Coll. Que sais-je,
Paris: PUF. Hlm.12-16
[2]
Ibid.
[3] Pada
era Yunani, sejak kaum phusikoi sampai
Neoplatonisme yang mengkaji seluruh realitas. Para filsuf Yunani adalah
sekaligus matematikus, fisikus, etikus, ahli politik, dll. Mereka mengkaji
secara komprehensif apa yang kita kenal saat ini sebagai Kosmologi,
Antropologi, Teologi, Psikologi, Etika, Politik, Matematika, Fisika, Logika.
Sehingga Filsafat Yunani bisa dikatakan sebagai mater
scientiae (mother of sciences), induk dari
semua ilmu. Maka sudah sepatutnya kita kembali menengok ke era ini karena semua
ilmu menyatu di bawah naungan istilah philosophia (cinta
pada kebijaksanaan). Sumber:Dr. A. Setyo Wibowo. Epistemologi Filsafat Yunani.
CCTD: Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis.
4] Andrew Gregory, “Preface to the 2017 Edition”, Eureka! The Birth of Science, London: Icon Books, 2017 (originally published in 2001).
Lebih lanjut, Orang yang memiliki banyak empereia (skill, pengalaman) belum tentu paham mengapa ia mesti melakukannya demikian. Perbedaan ini kemudian ditegaskan oleh Plato, sains (episteme) merupakan pengetahuan yang sinoptik (mampu melihat secara bersama-sama banyak hal secara bersama-sama), sedangkan teknologi (empereia) adalah kemampuan teknis, berkat pengalaman dan kebiasaan, untuk membuat hal-hal berguna. Teknologi berkaitan dengan how to do-nya sesuatu, when sesuatu terjadi. Sementara sains lebih berkutat memberi pemahaman lebih umum mengenai why. Itulah makanya sains lantas mengembangkan apa yang disebut teori.
Komentar
Posting Komentar