Langsung ke konten utama

Melihat Makna Tauhid dalam Ajaran Islam

Melihat Makna Tauhid dalam Ajaran Islam

Oleh: Nurul Aulyah Paisal

Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi dengan  manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga ia harus memeluk suatu  agama. Agama ialah suatu refleksi yang menerima, memahami, menghayati, merumuskan dan  memberitahukan ajaran agama itu di dalam jaringan realitas dunia dan masyarakat. Agama saling berkaitan dengan masyarakat. Agama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan  masyarakat dan pertumbuhan masyarakat itu juga mempengaruhi pemikiran terhadap agama.  Dalam agama Islam terdapat dua pokok ajaran yaitu hubungan antara manusia dengan  Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Hubungan antara manusia  dengan Tuhan adalah berupa ibadah seperti Shalat. Tetapi banyak juga ibadah yang berkaitan  dengan masyarakat seperti puasa dan zakat. Adapun hubungan antara manusia dengan manusia  terdapat dalam ajaran Islam mengenai keluarga, negara, ekonomi, hukum dan hubungan  internasional sudah terjelaskan dalam ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu, dalam Islam tujuan  beragama bukan hanya membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan roh. Membersihkan diri  dan mensucikan jiwa dan roh adalah, sarana dasar untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, tetapi bukan tujuan hidup beragama. Tujuan beragama adalah agar dapat hidup dengan baik di dunia, baik dalam keluarga, negara atau dunia, agar di akhirat juga dapat hidup  yang baik, karena akhirat merupakan kelangsungan dari dunia. 

Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam buku yang ia tulis menyimpulkan bahwa agama itu ada dua,  yaitu alamiyah atau timbul dari kebudayaan sekelompok manusia dan samawiyah atau agama  wahyu yang datang dari Tuhan. Tuhan atau yang dalam bahasa Yunani Kuno juga dikenal  dengan nama “Θεός” (theos). Berbicara mengenai ketuhanan, berarti akan membahas segala  sesuatu tentang Tuhan. Dalam kajian filsafat, ketuhanan sangat erat keitannya dengan  epistemology, sehingga pengetahuan atau wacana tentang Tuhan biasa disebut dengan teologi. Teologi terdiri dari dari dua kata, yaitu “theos” artinya Tuhan dan “logos” yang berarti ilmu  (science, study, discourse). Ringkasnya, teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang  Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu maupun  berdasarkan penyelidikan akal. Dalam Islam, banyak digunakan istilah ilmu tauhid atau ilmu keesaan Tuhan. Karena dalam tauhid memiliki pembahasan bahwa Tuhan itu maha Esa, satu,  tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tak ada yang menyamai-Nya. Dalam bahasa Arab, tauhid merupakan masdar dari kata wahhada yuwahhidu. Secara  etimologi, tauhid berarti keesaan. Hal ini dapat diartikan sebagai iktikad atau keyakinan bahwa Allah adalah Esa; Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang  digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui  keesaan Allah; mengesakan Allah.” Dalam beberapa kajian, tauhid disebut sebagai ilmu tauhid,  yang juga disebut sebagai ilmu kalam, karena dalam pembahasannya mengenai keberadaan  Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi  filosofis dengan menggunakan logika atau mantik. 

Dalam surah Al-Ikhlas dijelaskan bahwa ketauhidan terhadap Allah yang akan menjadi  pondasi utama bagi setiap muslim. Tauhid juga dapat diartikan memberikan pengakuan atas  keesaan Rabb, dan Dia memiliki nama Allah. Esa sendiri artinya adalah tunggal atau satu.  Karena itulah Allah SWT tidak memiliki orang tua dan anak. Allah adalah Tuhan tempat kita  meminta segala sesuatu. Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta dan manusia adalah makhluk  ciptaan-Nya. Aspek penting dalam ilmu tauhid adalah keyakinan akan adanya Allah Yang  Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan memiliki sifat-sifat kemahasempurnaan lainnya. Keyakinan  yang demikian pada gilirannya akan membawa kepada keyakinan terhadap adanya malaikat,  kitab-kitab, nabi dan rasul, hari akhir, dan melahirkan kesadaran akan tugas dan kewajiban  terhadap Khaliq (Sang Pencipta). Tauhid tidak boleh hanya sekadar dipahami dan dimiliki oleh  seseorang, tetapi ia harus dihayati dengan baik dan benar. Apabila tauhid telah dimiliki,  dipahami, dan dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan  kewajibannya sebagai hamba Allah akan muncul sendirinya. 

Secara garis besar, tauhid dibagi menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah,  dan Tauhid asma’ wa sifat. Tauhid rububiyah ialah percaya bahwa pencipta alam semesta ini  adalah Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Istilah tauhid rububiyyah dalam terminologi syari’at Islam berarti percaya bahwa hanya Allah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang  dengan takdirnya-Nya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan  sunnah-sunnah-Nya. Tauhid rububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut yaitu  beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum, beriman kepada takdir Allah,  dan beriman kepada zat Allah. 

Tauhid Uluhiyah ialah tauhid yang mengarahkan seorang muslim untuk hanya  menyembah kepada Allah saja dan tidak menyembah selain-Nya, atau mengesakan Allah  dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa, nadzar,  kurban, raja’, tawakkal, taqwa, ibadah dan taubat. Tauhid Uluhiyah merupakan kepercayaan  sepenuhnya bahwa hanya Allah yang berhak menerima semua peribadahan makhluk, dan  hanya Allah yang patut disembah. Manusia bersujud kepada Allah, Allah tempat mengadukan  nasibnya, Allah tempat meminta, manusia wajib menaati perinta dan menjauhi larangan-Nya.

Tauhid uluhiyah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hal ini karena barangsiapa  yang mengakui Allah sebagai penciptanya, yang menciptakan alam semesta dan mengaturnya  maka sudah sepantasnya hanya Dia lah yang patut disembah, dan tidak ada selain-Nya yang  pantas disembah. 

Tauhid asma’ wa sifat ialah tauhid yang mempercayai bahwa hanya Allah yang  mempunyai asma’ dan sifat-sifat yang maha sempurna. Ibn Taimiyah menyatakan bahwa  seorang muslim wajib mengimani dan menetapkan asma’ dan sifat-sifat Allah sesuai dengan  apa yang ditetapkan oleh-Nya tentang diri-Nya di dalam al-Qur’an, dan apa yang ditetapkan  oleh Rasul-Nya di dalam hadits beliau baik dalam penolakan maupun penetapan. Oleh karena  itu, hendaklah setiap manusia menetapkan sifat sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan  tentang diri-Nya, dan meniadakan apa yang ditiadakan Allah dari diri-Nya. 

Hubungan antara ketiga jenis tauhid ini bersifat korelatif dan komprehensif, di mana ia  saling menyempurnakan antara satu dengan lainnya, dan tidak ada manfaat salah satunya kecuali ada yang lain. Oleh karena itu, tidak bermanfaat tauhid rububiyah tanpa tauhid uluhiyah, demikian juga sebaliknya tauhid uluhiyah tidak dapat dibenarkan tanpa tauhid rububiyah, maka tidak akan sempurna salah satu tauhid tersebut kecuali kesemua jenis tauhid tersebut tergabung antara satu sama lain. 


Sumber: 

Amin, S. (2019). Eksistensi Kajian Tauhid Dalam Keilmuan Ushuluddin. Majalah Ilmu  Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 22(1), 71-83. 

Hambal, M. (2020). Pendidikan Tauhid dan Urgensinya Bagi Kehidupan  Muslim. TADARUS, 9(1). 

Rasjidi, M. (1977). Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang "Islam ditinjau dari berbagai aspeknya". Bulan Bintang. 

Saragih, E. S. (2018). Analisis dan Makna Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Konteks  Pluralisme Agama di Indonesia. Jurnal Teologi Cultivation, 2(1), 290-303.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan