Langsung ke konten utama

Sekilas Tentang EcoTheology Seyyed Hossein Nasr

Sekilas Tentang EcoTheology Seyyed Hossein Nasr

Oleh Ardyansyah Saputra Basri

Sekilas Mengenai Seyyed Hossein Nasr

       Seyyed Hossein Nasr merupakan seorang cendekiawan Islam kontemporer dengan penguasaan disiplin keilmuan seperti filsafat, sains, dan tasawuf. Nasr lahir di kota Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 17 April 1933 dan termasuk penulis yang sangat produktif, serta di Barat ia merupakan salah satu tokoh paling menonjol pada bidang pemahaman Islam tradisional. Pada 1954, ia menyelesaikan studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, lalu melanjutkan studi ke Harvard University untuk menekuni bidang fisika dan geologi. Namun, ia beralih bidang ke filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan, dan pada tahun 1958 menyelesaikan studi doktoralnya.

        Semasa belajar di Barat, Nasr banyak bertemu dengan para pemikir Barat yang melakukan kajian terhadap Islam dari berbagai perspektif. Ia bahkan tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu metafisika Timur yang banyak ditemui di perpustakaan-perpustakaan Barat. Pemahaman Nasr akan keilmuan sagatlah luas, mencakup sejarah dunia Timur dan Barat, filsafat dan ilmu sosial, sejarah, perkembangan mistik Islam, teologi kontemporer Muslim dan Kristen, seni, spiritualitas, budaya, dan lain sebagainya.

Pendekatan Tradisional Seyyed Hossein Nasr

        Menurut Nasr, kunci utama untuk memahami relasi manusia dengan alam semesta adalah dengan melalui sudut pandang tradisi. Tradisi, menurut Nasr, muncul dari segalanya berasal dan menjadi tempat berpulangnya segalanya itu. Ini merangkul semua hal seperti Nafas Yang Maha Kasih, Nafas Al-Rahman (Breath of the Compassionate). Tradisi ini kemudian mempelajari agama dari sudut pandang Scientia Sacra (Pengetahuan Suci) yang membedakan prinsip dan manifestasi, esensi dan bentuk, substansi dan kebetulan, serta lahir dan batin. Tradisi menempatkan kemutlakan pada level Mutlak, menyatakan dengan pasti bahwa hanya Yang Mutlak itulah satu-satunya hal yang Mutlak.

Krisis Lingkungan Hidup Menurut Seyyed Hossein Nasr

        Krisis lingkungan merupakan krisis yang terjadi dalam hubungan antara manusia dan alam. Krisis diartikan sebagai keadaan yang tidak normal, yang berbahaya, dan tidak seimbang. Sedangkan alam atau lingkungan yang ia definisikan sebagai semua yang dibuat oleh manusia atau dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Pemahaman tersebut termasuk lingkungan batin tubuh manusia, yang juga terancam oleh polusi yang memasuki rantai makanan manusia. Sehingga menurut Nasr, "Umat manusia secara keseluruhan telah mengambil langkah bunuh diri. Jika kita menghancurkan alam, dasar dari keberadaan kita, pada akhirnya kita akan menghancurkan diri kita sendiri. Ecoside is suicide: Ecoside adalah bunuh diri."
     Jika manusia ingin mencegah kehancuran, maka tindakan radikal yang diarahkan pada akar penyebab krisis ini diperlukan. Inisiatif dan tindakan lingkungan yang telah diambil oleh individu, pemerintah, dan berbagai lembaga dalam beberapa dekade terakhir, seperti rekayasa lingkungan yang lebih baik, penciptaan etika lingkungan, praktik konservasi dan sejenisnya patut dipuji dan penting. Namun, inisiatif ini hanya akan memperlambat tren destruktif. Nasr memperingatkan, bahwa tidak ada tugas eksternal di dunia ini sebelum pemerintah, kelompok sosial atau individu lebih mementingkan perlindungan bumi yang merupakan rumah manusia dan makhluk lain sebagai sesuatu yang mendesak.
Agar manusia dapat menemukan solusi yang dihadapi maka kita harus melihat dan melampaui pandangan dunia yang lazim saat ini, dan mencari nilai dalam kemanusiaan untuk pemahaman mengenai apa artinya menjadi manusia. Menurut Nasr, pandangan dunia kita harus berubah.

Akar Penyebab Krisis Lingkungan

        Menurut Nasr, yang menjadi akar penyebab dari krisis lingkungan yang terjadi adalah paradigma modern yang ia sering sebut sebagai the silent third partner yang mendominasi dan membentuk peradaban modern Barat. Sehingga hal ini berakibat pada krisis spiritual manusia modern, yaitu pandangan realitas yang terbatas.
    Dua aspek paradigma modern yang pada dasarnya bermasalah menurut Nasr, adalah: 1) antroposentrisme, dimana manusia hadir untuk melihat dirinya sebagai pusat dari alam semesta; 2) pandangan materialis atau reduksionis terbatas tentang realitas dan alam dengan mengurangi alam menjadi kuantitas dan hubungan mekanis belaka, alam kehilangan maknanya dan menjadi semacam mesin atau kuantitas yang bergerak.
     Penyebab langsung dari krisis ini adalah sistem ekonomi yang Nasr sebut sebagai sistem keserakahan yang dilembagakan atau the economic system: institutionalized greed. Sistem ekonomi modern ini menarik nafsu manusia, terutama semangat keserakahan yang diintensifkan oleh penciptaan kebutuhan palsu, yang tidak benar-benar dibutuhkan namun diinginkan.

Respon Seyyed Hossein Nasr, Sebuah Alternatif Pandangan Dunia

  1. Kosmologi Tradisional, yaitu kosmologi kristen atau islam tradisional yang digambarkan sebagai tingkat langit dan makhluk malaikat, dengan bumi berada pada bidang terendah, dan Tuhan berada di luar bidang surgawi terjauh. 
  2. Alam semesta sebagai Wujud Penampakan Tuhan (Theopany). Oleh karena kitab suci Islam adalah Qur'an yang ditulis atau disusun (al-Qur'an al-tadwini), serta Qur'an kosmik (al-Qur'an al-takwini). Hal ini dapat dilihat pada ayat yang selain menyampaikan pesan juga sebagai tanda dan simbol-simbol (Qur'an Surah Fussilat ayat 53). dimana ayat memanifestasikan dirinya dalam kitab suci, di cakrawala (afaq) atau langit dan bumi, dan dalam jiwa manusia (anfus).
  3. Sufi dan Pengetahuan Suci (Sacred Knowledge), dua hal ini tidak berurusan dengan pengetahuan rasional namun pada pengetahuan tertinggi (al-ma'rifah atau irfan) yang merupakan pengetahuan kesatuan Tuhan. Scientia sacra menurut Nasr adalah apa yang berada di jantung setiap wahyu. Dimana wahyu universal (al-wahy al-kulli) adalah referensi yang dibuat untuk Wahyu yang menyebabkan agama baru menjadi mapan (sebagai manifestasi makrokosmik intelek universal atau al-aql al-kulli). Sedangkan intelek manusia mampu memahami isi wahyu tersebut sebagai wahyu tertentu (al-wahy aljuz'i) dan dianggap sebagai manifestasi mikrokosmik intelek universal. Sehingga Nasr mempromosikan etika lingkungan yang berpusat pada Tuhan (Theosentric) dan berdasarkan etika spiritual.

Tanggapan Seyyed Hossein Nasr Terhadap Krisis Lingkungan

        Menurut Nasr, agama bukan hanya sebagai kunci untuk memahami alam semesta, namun juga sebagai sarana utama manusia agar mampu melakukan perjalanan melalui tahapan-tahapan eksistensial yang lebih rendah menuju ke Kehadiran Ilahiah (the Divine Presence), dimana perjalanan ini tidak lain dari kehidupan manusia itu sendiri sebagaimana yang dipahami secara tradisional. Sehingga oleh Nasr, hanya cara sufi yang dapat memberikan manusia suatu teknik dan sarana untuk mencapai nilai-nilai spiritual dan keadaan kesempurnaan batin yang ditawarkan agama kepada manusia.

Sumber Rujukan

Gerardette Philips. 2021. Ecotheology Jalaluddin Rumi dan Seyyed Hossein Nasr. JPIC OFM Indonesia.
Seyyed Hossein Nasr. 2014. Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu 'Arabi. Terjemahan,Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan