Langsung ke konten utama

[KAJIAN RUU PKS] Sejarah Panjang UU TPKS, Berjuang Menegakkan Keadilan

 KAJIAN RUU PKS

Sejarah Panjang UU TPKS, Berjuang Menegakkan Keadilan 

Dasar Hukum

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat pada tiap individu secara alamiah. Hak asasi manusia ini berlaku bagi setiap individu tanpa adanya pembedaan atas dasar ras, suku, agama, maupun jenis kelamin. Di Indonesia, jaminan mengenai perlindungan hak asasi manusia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak asasi manusia yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa adanya diskriminasi. Berbicara mengenai kesamaan hak khususnya berdasarkan jenis kelamin, secara biologis manusia dapat dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, melekat pula hak-hak asasi manusia pada keduanya. Namun, pada realitanya seringkali terjadi perlakuan yang berbeda terhadap kaum perempuan. Banyak orang menganggap bahwa perempuan cukup hanya mengurus hal-hal domestik saja. 

Meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia sangatlah signifikan. Peningkatan kasus kekerasan dilihat dari data yang telah dipublikasikan oleh Komnas Perempuan yang terjadi pada tahun 2020 bahwa selama 12 tahun kekerasan sudah meningkat sebanyak 792%. Telah kita ketahui sendiri bahwa kekerasan seksual ialah suatu kriminalitas yang mengambil secara paksa hak asasi manusia dari seseorang. Kekerasan seksual merupakan isu yang saat ini menjadi pembicaraan banyak orang dimana berbagai elemen masyarakat mengkritik tindakan kekerasan seksual terutama terhadap kaum perempuan.

DATA

Menurut Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada tahun 2022 menunjukkan, dari 11.029 jumlah kasus kekerasan seksual terdapat sebanyak 10.232 korban perempuan dan 1.712 korban laki-laki yang mendapatkan kekerasan, yang dalam hal ini korban perempuan masih mendominasi pada kasus kekerasan.  Dari jumlah korban perempuan tersebut terdapat 30,9% diantaranya berumur 25-44 tahun dan berdasarkan tempat kejadian kebanyakan kasus kekerasan tersebut terjadi di lingkup rumah tangga. Jenis kekerasan yang dialami korban yang terbanyak pada tahun 2022 yaitu korban kekerasan seksual yaitu sebanyak 4.829 dan jenis layanan terbanyak yang diberikan yaitu berupa layanan pengaduan sebanyak 8.150.

Kekerasan seksual ini terjadi akibat adanya ketimpangan gender, yang diakibatkan oleh relasi kuasa yang saat ini terjadi. Kekerasan seksual yang terjadi dikarenakan adanya penyalahgunaan relasi kuasa atau power abuse yang biasanya terjadi jika pelaku memiliki status hirarki lebih tinggi dibanding korbannya. Relasi kuasa yang hadir bukan hanya menempatkan korban menjadi pihak yang tak berdaya, namun biasanya disertai dengan ancaman seperti mengancam keluarga korban akan dicelakai hingga ancaman pembunuhan pada korban.

REALITAS SOSIAL

Isu mengenai tindak kekerasan seksual masih sering diabaikan oleh masyarakat khususnya terhadap para korban. Pengabaian yang semakin lama ini dapat menyebabkan para korban semakin sulit dalam mendapatkan pemulihan dan juga para korban akan merasa kehilangan martabatnya. Masyarakat harus diberikan edukasi dalam meningkatkan kesadaran akan tindakan kekerasan seksual serta hal-hal yang perlu diperhatikan seperti cara pencegahan dan penangannya. Edukasi diharapkan dapat diberikan sedini mungkin melalui orang-orang terdekat yaitu peran keluarga yang menjadi kontrol sosial bagi anggota keluarga lainnya seperti orang tua kepada anaknya. Hal ini bertujuan agar tumbuh pemahaman dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual pada lingkup keluarga.

Polemik yang kerap juga sering terjadi yaitu tidak tersedianya perlindungan yang baik terhadap korban. Salah satu bukti konkrit yang terjadi yaitu pelecehan seksual yang terjadi pada ranah lingkungan universitas pada awal tahun 2022 yang dialami oleh salah satu mahasiswi Universitas Hasanuddin yang dilecehkan oleh teman himpunannya sendiri yang juga merupakan teman kelasnya. Dalam press release yang diunggah oleh Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin menyebutkan bahwa kejadian pelecehan seksual yang terjadi sangat merugikan korban dengan memiliki trauma berat dan telah didiagnosa terkena skizofrenia. Namun sayangnya, pernyataan yang disampaikan oleh lembaga internal organisasi fakultas tersebut pada diskusi bersama Komite Anti Kekerasan Seksual, dapat dianggap belum berorientasi pada korban dan belum menanggapi secara tegas kasus yang dialami oleh korban tersebut. Maka, dipandang perlu payung hukum adil dan terpercaya yang secara spesifik berpihak pada korban yang dapat menjadi tameng kuat guna melindungi hak korban, seperti tidak merasa khawatir ketika melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya.

ANALISIS KEBIJAKAN

Perjuangan tuntutan mengenai payung hukum tindak kekerasan seksual, terkhusus pada kaum perempuan yang telah melalui banyak proses panjang hingga kini telah membuahkan hasil yaitu terbentuknya beberapa kebijakan, baik internasional maupun nasional, yang memberikan jaminan perlindungan terhadap kaum perempuan. Dalam lingkup nasional, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang sebagai langkah maju bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Pengesahan undang-undang ini merupakan langkah yang dapat memberikan harapan kepada perempuan di Indonesia khususnya para penyintas kekerasan yang selama ini belum mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum yang layak dan memadai.

Namun dalam perjalanan pengesahannya, kritikan yang disorot oleh publik ialah dengan menyerukan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Desakan mengenai pengesahan UU tersebut datang dari berbagai cara, ada yang menyuarakannya melalui media sosial, ada pula yang ikut serta dalam aksi nyata di lapangan. Desakan dan kecaman tersebut dimulai ketika DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari program legislasi nasional pada tahun 2020. RUU PKS dikeluarkan dari daftar rancangan undang-undang yang menjadi prioritas untuk disahkan oleh pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa RUU PKS bukanlah prioritas utama bagi pemerintah yang mana menyebabkan meluapnya kekecewaan publik. Masyarakat berharap rancangan undang-undang ini dapat segera untuk disahkan agar dapat mengatur secara khusus mengenai kasus kekerasan seksual, maka dengan hal itu para korban kekerasan seksual dapat memperoleh keadilan. 

Menilik riwayat perjalanan pengesahan RUU PKS ini telah melewati jalan yang panjang. Kebijakan ini pertama kali diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012 yang melihat kondisi Indonesia yang sedang darurat kekerasan seksual terhadap kaum perempuan dan anak. Dalam perjalanannya, dinamika terkait embrio substansi RUU PKS sendiri telah muncul sejak 2010, dimana dinyatakan bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual yang dibuktikan dengan data peningkatan jenis kekerasan seksual yang terjadi dari tahun 2001 hingga 2010. Catatan tahunan Komnas Perempuan mencatat adanya 15 jenis kekerasan seksual, yang berkembang dari semula 10 jenis, 11 jenis, dan 14 jenis kekerasan seksual. Hal inilah yang menjadi landasan dalam perjuangan Komnas Perempuan untuk melindungi kekerasan seksual hingga akhirnya mengusulkan RUU PKS ke DPR pada 2012. 

Dua tahun kemudian, dilakukan penyusunan draf RUU PKS yang melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog, dan penyelarasan berbagai fakta dan teori. Pada Mei 2016, untuk pertama kalinya, RUU PKS dibahas di DPR RI. Namun, pembahasan mengenai RUU ini tidak mulus begitu saja, pasalnya RUU PKS kerap kali keluar masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. Maju mundur prolegnas pembahasan RUU PKS mengalami kebuntuan sampai hingga 15 kali dibahas sampai pada tahun 2019. Pembahasan rancangan undang-undang ini berlanjut hingga periode 2019-2024, tetapi pada Juli 2020, RUU PKS dikeluarkan dari prolegnas prioritas 2020 bersama 15 RUU lainnya. Tahun berikutnya, tepat pada Mei 2021 RUU PKS kembali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 sebagai usulan dari Baleg DPR. 

Pada Agustus 2021, dilakukan pergantian nama yang awalnya yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindakan Pidana Kekerasan Seksual atau yang lebih dikenal dengan sebutan RUU TPKS.  Selain itu berdasarkan artikel KOMPAS, per September 2020 draf RUU PKS memiliki pasal sejumlah 128 pasal yang kemudian turun drastis pada draf RUU TPKS per 30 Agustus 2021 menjadi 43 pasal. Perubahan jumlah pasal yang paling terlihat terletak pada bentuk kekerasan. Dalam artikel tersebut dilansir bahwa sebelumnya dalam RUU PKS ditetapkan kekerasan sebanyak sembilan jenis. Sementara itu, dalam draft terbaru, RUU TPKS hanya menetapkan bentuk kekerasan sebanyak empat, diantaranya pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. Perubahan draf kemudian menimbulkan kontroversi karena dianggap membatasi hak para korban.

Per November 2021, terjadi penundaan rapat pleno yang membahas draf RUU TPKS oleh Badan Legislasi DPR hingga pada bulan Desember 2021 rapat pleno badan legislasi DPR setuju RUU TPKS dijadikan sebagai inisiatif DPR. Setelah melalui banyaknya dinamika dan polemik yang terjadi, pada bulan April 2022 Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disetujui menjadi undang-undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.

IMPLEMENTASI

Sepuluh tahun penantian disahkannya rancangan undang-undang ini akhirnya dinyatakan dengan diketuknya palu pada Rapat Paripurna DPR RI yaitu dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pengesahan kebijakan ini menjadi suatu bentuk komitmen negara dalam memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi. UU TPKS ini diharapkan dapat diimplementasikan secara sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan yang menjadi tameng untuk memastikan perlindungan bagi setiap warga negara, khususnya perempuan dan anak dari ancaman tindakan kekerasan seksual.

UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 Pasal dengan harapan besar dapat mencegah, menangani, dan dapat mengurangi prevalensi jumlah korban kekerasan seksual. Pengimpelentasian kebijakan membutuhkan adanya sinergi dan koordinasi yang baik dalam pelaksanaannya, mulai dari pemerintah pusat hingga desa, organisasi mitra pembangunan, tokoh masyarakat, mahasiswa dan lain-lain. Kekerasan seksual menjadi salah satu isu yang perlu untuk terus dikawal, perjuangan dalam mengesahkan RUU TPKS yang merupakan buah kerja keras dari berbagai pihak yang meliputi legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat sipil, media, akademisi, Komnas Perempuan, dan lembaga independen lainnya dalam memastikan pembahasan yang bernas. Juga tidak terlepas dari keberanian korban yang telah menyuarakan dengan berani pengalaman-pengalamannya dalam mengklaim keadilan, kebenaran dan mendapatkan pemulihan. 

Sejauh ini implementasi UU TPKS sendiri menghadapi beberapa hambatan yaitu terkait kapasitas dan budaya institusi yang selama ini harus diubah seperti bagaimana cara melihat kasus kekerasan seksual itu tidak prioritas apalagi seorang pelaku merupakan orang yang memiliki posisi di sebuah organisasi atau lembaga. Contoh kasus yang ada yaitu kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Dengan adanya UU TPKS ini baru kemudian orang, terkhusus penyidik akan lebih berani bergerak menangani kasus tersebut. Bahkan harus segera ditindaklanjuti sebab adanya pemberatan hukum dan apabila ada yang menyulitkan saat proses penanganan juga akan terancam pasal 19 UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.  Selain itu, lemahnya literasi, edukasi, dan narasi kesadaran mengenai ancaman bahaya dan pidana karena masih kurang untuk disosialisasikan. Maka, kini kita semua perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya dalam memayungi para korban kekerasan seksual, sampai terbentuknya suatu kelembagaan khusus untuk mengawal undang-undang ini. Peran institusi perguruan tinggi berperan penting dalam pengawalan UU TPKS, tak terkecuali Mahasiwa pun bergerak secara kolektif dalam mengawal UU TPKS ini, dimana dengan menghadirkan ruang diskusi, mengkaji, mengkampanyekan melalui berbagai metode dan pemanfaatan teknologi agar perealisasian UU TPKS dapat dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Keadilan perlu ditegakkan, jangan sampai perjuangan berhenti di tengah jalan.

 

Sumber:

A. A. J., & Tobroni, F., 2020. Urgensi Pengesahan RUU PKS Terhadap Instrumen Penegakan Hak Asasi Perempuan. Supremasi Hukum, 9 (2), 91-115.

CNN Indonesia. 2021, 3 September. KOMPAKS: RUU PKS Ganti Nama Jadi TPKS, 85 Pasal Hilang. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210903131110 -32-689315/kompaks-ruu-pks-ganti-nama-jadi-tpks-85-pasal-hilang

DPR RI. 2022, 12 April. DPR Setujui RUU TPKS Menjadi UU. Diakses dari https://www.dpr.go.id

DPR RI. 2021. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta: Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia

Kemenko PMK. 2022, 16 Juni. Percepatan Penyusunan Aturan Turunan UU TPKS. Diakses dari https://www.kemenkopmk.go.id

Komite Anti Kekerasan Seksual. 2022, 18 September. Press release: Keadilan untuk L. Diakses dari https://komiteantikekerasanseksualuh.wordpress.com/2022/09 /18/press-release- keadilan-untuk-l/

Nusantara., 2022, 26 Juli. Media Bisa Efektif untuk Sosialisasi UU TPK. Diakses dari https://waspada.id/nusantara/media-bisa-efektif-untuk-sosialisasi-uu-tpks/

Simfoni PPA. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan  

Putri, E.A., Abun, A.R., & Sakni, A.S., 2021. Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Analisis Filsafat Feminisme. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 2(2), 26-38.

Patros, A., & Anggelia, C., 2021. Polemik Desakan Pengesahan RUU PKS : Suatu Tinjauan Sistem Hukum Nasional dan Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Komunikasi Hukum, 7(2), 628-640

 


Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan