Mengurai Kerangka Filsafat Psikologi; dari Yunani Kuno hingga Abad ke-17
Oleh Ardyansyah Saputra Basri
Pengantar tentang Psikologi
Aristoteles dalam bukunya metafisika mengatakan bahwa
manusia secara alamiah merupakan makhluk yang kepo,“all men by nature desire
to know”[1].
Alasannya adalah karena adanya alat pengetahuan, salah satunya indera dan
akal yang membuat manusia dapat mengetahui dan menjelaskan banyak perbedaan di
antara berbagai hal.
“All men by nature desire to know. An indication of this is the delight
we take in our senses; for even apart from their usefulness they are loved for
themselves; and above all others the sense of sight. For not only with a view
to action, but even when we are not going to do anything, we prefer sight to
almost everything else. The reason is that this, most of all the senses, makes
us know and brings to light many differences
between things.”[2]
Hasrat keingintahuan manusia ini yang kemudian melahirkan
filsafat dan cabang keilmuannya. Adanya transformasi dari mythos ke logos.
Secara umum, filsafat mempertanyakan kodrat manusia, tujuan hidup,
kebahagiaan, dan hal-hal radikal baik yang bersifat metafisik ataupun fisik
yang bisa dipikirkan oleh akal budi manusia. Seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan, fokus pertanyaan filosofis pada hal empirik kemudian melahirkan
psikologi.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “psyche”
yang berarti hidup dan “logos” yang berarti ilmu. Pada zaman sebelum
Yunani Kuno, yaitu fase manusia mempercayai mitos atau mythos (μῦθος).
Mitos berasal dari kata mite yang berarti kata atau perkataan. Mitos
merupakan perkataan yang dianggap benar oleh masyarakat meskipun belum
diketahui penilaian kebenarannya. Dalam Psyche atau jiwa selanjutnya
digunakan mitos untuk menafsirkan mimpi, penyakit mental, emosi, dan fantasi.
Sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai studi
tentang jiwa atau pikiran, tentang roh, kesadaran, dan pada perkembangannya
dapat disebut sebagai studi tentang perilaku atau behaviour.[3]
Perkembangan Psikologi Secara Umum
a.
Plato dan Aristoteles
Dalam kerangka keilmuan, psikologi
awalnya berkembang ketika Plato dan Aristoteles menjelaskan pengalaman kognitif
manusia yang berusaha menjelaskan proses jiwa manusia seperti memori, persepsi,
dan belajar. Bagi Plato, prinsip pertama dicapai oleh pikiran murni atau alam
ide; sedangkan untuk Aristoteles, prinsip pertama tersebut dicapai dengan
memeriksa alam secara langsung.
Menurut Plato, pengetahuan ada secara
independen dari alam; bagi Aristoteles, alam dan pengetahuan tidak dapat
dipisahkan karena tubuh bukanlah menjadi halangan dalam mendapatkan
pengetahuan. Aristoteles menekankan pada aspek empiris dan rasional pada pemeriksaan
alam yang cermat melalui observasi dan klasifikasi. Hal ini Aristoteles gunakan
dalam Lyceum-nya untuk mengamati fenomena fisik dan biologis untuk
dicocokkan sesuai kategorinya melalui metode pengamatan, definisi, dan
klasifikasi sehingga menjadi ensiklopedia alam. Melalui flsafatnya, Aristoteles
dianggap sebagai psikolog fisiologis pertama karena berusaha menjelaskan
beberapa fenomena psikis dalam istilah biologis.[4]
Menurut
Aristoteles, jiwa atau pshyce adalah yang memberikan hidup, oleh
karenanya segala yang hidup pasti memiliki jiwa. Lebih lanjut, Aristoteles
membagi jiwa menjadi tiga jenis, dan potensi atau tujuan makhluk hidup
ditentukan berdasarkan jenis jiwa yang dimilikinya[5]. Tiga
jenis jiwa tersebut yaitu: 1) jiwa vegetatif, dimiliki oleh tumbuhan, yang
hanya memungkinkan pertumbuhan, asimilasi makanan, dan reproduksi; 2) jiwa
sensitif, dimiliki oleh binatang bukan tanaman. Selain fungsi vegetatif,
organisme yang memiliki jiwa sensitif merasakan dan menanggapi lingkungan,
serta memiliki ingatan; 3) jiwa rasional, yang hanya dimiliki oleh manusia.
Jiwa rasional menyediakan semua fungsi dari dua jiwa yang lain.
b. René Descartes
Sedangkan
menurut René
Descartes (1596–1650), psikologi erat kaitannya dengan interaksi tubuh dan
pikiran. Pada renaissance yang menjadi fokus adalah humanisme
dengan empat tema besar yaitu: 1)keyakinan pada potensi individu; 2)desakan
bahwa agama lebih lebih bersifat pribadi dan tidak terlalu dilembagakan;
3)minat kuat terhadap hal-hal klasik; dan 4)sikap negatif terhadap filsafat
Aristoteles. Metode berpikir Descartes kemudian terdiri dari intuisi dan
deduksi. Intuisi adalah proses dimana pikiran yang tidak memihak dan penuh
perhatian sampai pada tujuan yang jelas dan ide yang berbeda. Sebuah ide yang
validitasnya tidak diragukan. Begitu ide seperti itu ditemukan, maka kita dapat
menyimpulkan satu dari banyaknya ide valid lainnya.
Faktanya,
Descartes menjumpai bahwa dia bisa ragu terhadap keberadaan segala sesuatu yang
bersifat fisik (termasuk dirinya), tapi tidak meragukan dirinya sebagai makhluk
yang berpikir. Prinsip dari filsafat Descartes adalah bersifat kognitif dan
dicapai melalui intuisi, sehingga menurutnya tidak ada konsep matematika yang
lebih pasti dari “cogito ergo sum”[6] (berangkat
dari kesimpulan bahwa proses rasional dan valid dan/atau pengetahuan fisik
dunia yang didapatkan melalui indera dapat diterima karena Tuhan tidak akan
menipu; tetapi bahkan informasi sensorik harus dianalisis secara rasional untuk
menentukan validitasnya -percobaan tampakan tongkat yang seolah patah saat
dimasukkan ke dalam air-). Dengan demikian, kita dapat mengalihkan perhatian ke
dalam pikiran (diri, jiwa, ego) dan memeriksa pengalaman subjektif seperti
berpikir, berkeinginan, memahami perasaan, dan imajinasi. Jadi meskipun
Descartes merupakan seorang yang rasionalis (menekankan pentingnya proses
berpikir logis) dan seorang nativis (menekankan pentingnya ide-ide bawaan), ia
juga seorang fenomenolog yang secara introspektif mempelajari sifat dari
pengalaman sadar yang utuh.
Descartes
melihat pikiran dan tubuh sebagai sesuatu yang terpisah namun saling
berinteraksi; artinya bahwa tubuh dapat mempengaruhi pikiran, begitupun
sebaliknya. Dualisme ini disebut interaksionisme. Descartes juga percaya bahwa
dalam pikiran terkandung beberapa ide bawaan dan perilaku emosional (ditentukan
oleh jiwa binatang yang terlibat dalam perilaku tersebut). Selain itu,
Descartes juga menjadi orang pertama yang menjelaskan refleks (rangsangan, atau
perilaku refleksif). Kesemuanya ini merupakan konsep yang menjadi luar biasa
penting bagi psikologi.
c.
John
Locke
John Locke
(1632-1704), seorang filsuf penganut empirisme. Locke mengkritik gagasan
filosofis Descartes, yaitu ide-ide bawaan (bukan dualisme Descartes). Menurut
Locke, apabila pikiran mengandung ide-ide bawaan, maka semua manusia harus
memiliki ide bawaan tersebut, dan jelas nyatanya tidak demikian. Manusia,
menurut Locke, tidak dilahirkan dengan ide bawaan apapun, baik moral, teologis,
logis, atau matematis.
Locke
menjelaskan dalam esainya bahwa manusia ibaratkan kertas putih kosong, tanpa
karakter, tanpa ide. Menjadi terisi oleh karena pengalaman; pengalaman menjadi
bahan bagi akal dan pengetahuan dalam mengetahui sesuatu. Bahwa dalam
pengetahuan yang manusia bangun, pengamatan digunakan untuk mengetahui objek
eksternal ataupun objek internal yang dipikirkan dan direfleksikan sendiri oleh
akal. Keduanya, pengamatan eksternal dan internal adalah mata air pengetahuan,
sumber ide-ide yang kita punya, atau yang secara alami dapat kita miliki.[7]
“Apapun yang
dicerap oleh pikiran, atau objek persepsi langsung, pemikiran, atau pemahaman,
yang saya sebut sebagai ide”[8].
Sehingga Locke berpendapat bahwa,
semua ide berasal dari sensasi atau refleksi. Itu adalah ide yang dihasilkan
baik oleh stimulasi sensorik langsung atau dengan sisa-sisa stimulasi sensorik
sebelumnya. Sehingga refleksi adalah kemampuan pikiran untuk merenungkan
dirinya sendiri. Jadi, sumber dari semua ide adalah sensasi, namun ide-ide yang
diperoleh dengan sensasi dapat ditindaklanjuti dan diatur ulang oleh kerja
akal/pikiran, yang pada akhirnya dapat memunculkan ide-ide baru. Kerja akal
atau operasi pikiran dapat membawa manusia untuk mengetahui ide-ide yang masuk
melalui sensasi termasuk persepsi, pemikiran, kesediaan, percaya, pengetahuan,
dan penalaran.
Ide ini
selanjutnya dijabarkan oleh Locke menjadi dua, yaitu ide sederhana dan ide
kompleks. Ide sederhana, baik dari sensasi atau refleksi, merupakan atom
pengalaman yang tidak dapat terbagi lagi atau dianalisis jauh ke dalam gagasan
lain; sedangkan ide kompleks merupakan gabungan dari ide-ide sederhana, dan
karenanya dapat dianalisis menjadi bagian-bagian penyusunnya (kumpulan gagasan
sederhana). Ketika akal bekerja pada kumpulan ide-ide sederhana maka ide
kompleks terbentuk. Sederhananya, ide-ide kompleks terbentuk dari hasil
penggabungan (membandingkan, mengingat, membedakan, menggabungkan dan memperbesar,
abstraksi, dan penalaran).
Untuk
menjelaskan ide-ide yang disebut Locke, ia menjelaskan konsep kualitas primer
dan kualitas sekunder. Kualitas primer mengacu pada atribut sebenarnya dari
objek fisik atau peristiwa, sedangkan kualitas sekunder mengacu pada pengalaman
psikologis yang tidak ada padanannya di dunia fisik. Dengan kualitas primer,
ada kesesuaian antara yang hadir di fisik dengan yang dialami secara
psikologis, sensasi atau refleksi untuk menghasilkan ide itu cocok dengan
atribut fisik yang menyebabkannya; kualitas sekunder hanya partikulir dari
tubuh fisik yang merangsang kita. Perbedaan antara ide-ide yang dihasilkan oleh
kualitas primer dan kualitas sekunder pada manusia menyebabkan masalah
ketajaman indera karena stimulasi fraksional dari tubuh fisik merangsang kita
namun alat indera tidak cukup halus untuk mencatat sifat fisik rangsangan
tersebut, sebaliknya kita mengalami sesuatu secara psikologis yang tidak hadir
secara fisik.
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, gagasan Locke adalah manusia dapat mencapai
pengetahuan dengan aktif merenungkan gagasan dalam pikiran -dengan
membandingkan, menggabungkan, menghubungkan, dan sebaliknya ketika memikirkan
tentang gagasan-. Ini yang disebut sebagai asosiasi ide, asosiasi -penggabungan
ide-ide- sebagai prinsip dasar kehidupan mental.
d.
John
Stuart Mill
John Stuart Mill
(1806-1873) menempatkan psikologi bukan sebagai fokus keilmuannya, namun
sebagai hal sekunder. Meskipun begitu, J.S. Mill mengembangkan model asosianime
ide. Menurut Mill: 1) setiap sensasi meninggalkan ide dalam pikiran yang
menyerupai sensasi namun intensitasnya rendah (ide sebagai kondisi mental
sekunder, sensasi yang primer); 2) gagasan serupa cenderung menggairahkan satu
sama lain; 3) ketika sensasi dan ide sering dialami secara bersamaan, keduanya
bisa terkait (hukum kedekatan); 4) sensasi yang lebih hidup atau ide membentuk
asosiasi yang lebih kuat daripada sensasi yang kurang jelas; dan 5) kekuatan
asosiasi bervariasi dengan frekuensi kejadian.
J.S. Mill
merupakan filsuf yang paling berjasa dalam membangun psikologi sebagai ilmu
yang setara dengan ilmu alam yang lain. J.S. Mill memulai analisisnya dengan
menyerang keyakinan umum bahwa pikiran manusia, perasaan, dab tindakannya tidak
tunduk kepada penyilidikan ilmiah dengan cara yang sama seperti sifat fisik.
Dia menekankan bahwa setiap sistem yang diatur oleh hukum tunduk pada
pengawasan ilmiah,, dan bahkan benar jika hukum tersebut tidak dipahami. Di
kategori akhir, Mill emenmpatkan ilmu ayng hukum utamanya diketahui, dan jika
tidak ada penyebab lain ikut campur yang fenomenanya dapat diukur dan
diprediksi secara tepat. Namun hukum sekunder sering berinteraksi dengan hukum
primer, membuat pemahaman dan prediksi yang tepat menjadi tidak mungkin.[9]
Pada
perkembangan psikologi, J.S. Mill mengusulkan ilmu ethology yang ia
tuliskan dalam system of logic di bukunya, dimana ia berpendapat untuk
mengembangkan ilmu tentang pembentukan karakter, yang ia sebut sebagai ethology.
Ilmu etologi yang diusulkan Mill memiliki sedikit kemiripan dengan etologi modern
yang mempelajari perilaku hewan di alam habitatnya dan kemudian mencoba
menjelaskan perilaku dalam hal evolusinya.
Seperti yang
dilihat oleh Mill, etologi akan diturunkan dari ilmu yang mendasar tentang
sifat manusia (psikologi). Artinya, psikologi akan menemukan hukum universal
yang menurutnya semua pikiran manusia bekerja, kemudian etologi akan
menjelaskan bagaimana pikiran atau karakter individu terbentuk di bawah keadaan
tertentu. Ilmu tentang sifat manusia akan melengkapi hukum mental primer, dan
etologi akan melengkapi hukum sekunder; atau bisa dikatakan bahwa psikologi
(ilmu sifat manusia) memberikan informasi tentang kesamaan sifat-sifat manusia,
dan etologi menjelaskan tentang kepribadian individu (perbedaan individu).[10]
[3] Hergenhahn B. R. (2009). An Introduction to the History of Psychology, Sixts Edition. United States: Wadsworth. Chapter I, pp. 1
[5] Aristoteles (2020). Metafisika. Yogyakarta: Penerbit Basa-basi.
[6] Hergenhahn B. R. (2009). An Introduction to the History of Psychology, Sixts Edition. United States: Wadsworth. Chapter IV, pp. 120.
[7] Locke, J. (1974). An Essay Concerning Human Understanding (A. D. Woozley, Ed.). New York: New American Library. (Original work published 1706). pp. 89-90.
[9] Mill, J. S. (1874). A System of Logic, Ratiocinative and Inductive, Being a Connected View of The Principles of Evidence, And The Methods Of Scientific Investigation (8th ed.). New York: Harper & Brothers. (Original work published 1843).
Komentar
Posting Komentar