Langsung ke konten utama

Permindikbud Ristek No. 30 Tahun 2021: Menilik Lebih Jauh Pemutus Rantai Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Permindikbud Ristek No. 30 Tahun 2021: Menilik Lebih Jauh Pemutus Rantai Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Kekerasan seksual menjadi suatu wabah pandemi terjadi saat ini terutama yang paling menjadi sorotan yakni dalam dunia pendidikan utamanya di Perguruan Tinggi. Menurut Komnas Perempuan, selama tahun 2015-2021, data pelaporan kekerasan di dunia pendidikan mengalami fluktuatif. Pada tahun 2021, terjadi penurunan yaitu 9 kasus sementara pada tahun 2020 yaitu 17 kasus. Dari laporan tersebut, Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Perguruan Tinggi (PT) menempati urutan pertama yaitu 35% disusul di pesantren atau pendidikan berbasis agama islam menempati urutan kedua atau 16%, selanjutnya di sekolah SMA/SMK terdapat 15%. Hal ini menjadi persoalan yang menakutkan di kalangan masyarakat terkhusus pada perempuan yang rentang mengalami penindasan.

Per tanggal 31 Agustus 2022, Mendikbud ristek Nadiem Makarim mengeluarkan suatu kebijakan yakni Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan tridharma di dalam atau di luar kampus sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 Permendikbud ristek No.30 Tahun 2021 ini. Hadirnya peraturan ini dinilai sangat penting melihat dari maraknya kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Saat ini, kekerasan seksual menjadi satu tindak kejahatan yang sangat sering dijumpai, khususnya di kalangan remaja. Kekerasan seksual yang dialami siapapun akan memberi dampak yang mendalam dan merugikan bagi korbannya. Tak sedikit kejadian kekerasan seksual yang dijumpai dalam lingkup tempat menuntut ilmu salah satunya dunia kampus.

Perguruan tinggi di Indonesia saat ini dinilai jauh dari kata aman akan kekerasan seksual. Namun, dari hasil data mengenai tingginya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, diketahui masih terdapat beberapa korban yang enggan melaporkan hal tersebut kepada pihak-pihak berwajib dengan beberapa alasan. Berdasarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, penyebab pertama ialah korban kekerasan seksual merasa malu atas perlakuan yang menimpa dirinya. Penyebab lainnya yaitu ketiadaan aturan/ mekanisme yang handal, sehingga korban tidak tahu secara pasti apa yang harus dilakukan, kemana ia harus lapor, dan prosedur apa saja yang harus ditempuh. Umumnya, pada kekerasan seksual adanya relasi yang tidak seimbang, yakni posisi dominan pelaku dan sebaliknya, serta posisi rentan korban dalam masyarakat dengan budaya patriarki merupakan faktor determinan yang signifikan. Dengan demikian, kekerasan seksual dalam berbagai wujudnya tidak lagi dapat dipandang semata-mata sebagai masalah agresivitas seksual melainkan dipandang sebagai ekspresi dari hubungan kekuasaan atau dominasi.

Menilik aturan Permendikbud ristek No. 30 Tahun 2021 menuai suatu pro dan kontra dalam masyarakat, persoalan bahwa kebijakan tersebut melegalkan suatu perzinahan, sehingga melanggar norma agama tertuang pada kata ‘consent’ yang merujuk pada persetujuan. Salah satunya adalah terdapat pada pasal 5 ayat 2 huruf 1 yaitu “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Dilihat dari konsep dasarnya kembali bahwa kebijakan ini dimana Permendikbud ristek No. 30 Tahun 2021 mendefinisikan dengan jelas tentang kekerasan seksual sebagai fokus daripada pembahasannya. Dalam permendikbud ristek ini, perlindungan hak korban dijadikan prioritas utama. Nadiem Makarim menegaskan permendikbud ristek ini menjadi wadah perlindungan korban serta mencegah terjadinya keberlanjutan kasus kekerasan yang dialaminya. Diuraikan lebih jelas terkait komitmen Permendikbud ristek ini dalam keberpihakan terhadap korban yakni sebagai berikut.

1.      Mengenal konsep relasi kuasa dan gender dalam mendefinisikan kekerasan seksual (Bab 1 Ketentuan Umum)

Hal ini membantu perguruan tinggi untuk secara tegas melihat definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang seringkali tidak diakui terjadi di kampus. Dalam banyak kasus pelaporan kekerasan seksual, acapkali korban kembali menjadi korban karena disudutkan dengan pertanyaan terkait dengan penampilan, ekspresi, hubungan dengan pelaku, dsb. Pemahaman mengenai ketimpangan relasi kuasa dan/ atau gender, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi di kampus akan mencegah keberulangan/ re-viktimisasi pada korban.

2.      Mekanisme pencegahan yang komprehensif dan melibatkan setiap unsur civitas akademika

Melalui penguatan tata kelola seperti pembentukan satuan tugas, penyusunan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, penyediaan layanan pelaporan kasus, sosialisasi, pemasangan tanda informasi, serta jaminan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas (Bab II Pencegahan). Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa aturan ini hanya mengakomodasi kelompok tertentu dan meninggalkan kelompok rentan lainnya.

3.      Menjamin pemulihan korban (Bab Penanganan Bagian Kelima)

Penjaminan pemulihan korban dilakukan dengan intervensi yang sesuai dengan apa yang diperlukan dan disetujui oleh korban. Orientasi dari aturan ini bukan hanya penghukuman terhadap pelaku, tetapi memperhatikan pemulihan yang korban perlukan baik akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya atau pun yang diakibatkan dari proses investigasi.

4.      Mencegah kriminalisasi korban dan pembela dalam penanganan kasus yang sedang berlangsung (Bab Penanganan Bagian Ketiga)

Sebagai bagian dari perlindungan korban dan pembela, Permendikbud riste ini menjamin keberlanjutan hak serta perlindungan dari ancaman fisik, non-fisik hingga kriminalisasi, bagi korban dan saksi yang melaporkan peristiwa kekerasan seksual.

5.      Sanksi yang tegas dalam penanganan kekerasan seksual di kampus (Bab Penanganan Bagian Keempat)

Sanksi yang diatur terbagi menjadi tiga bagian yaitu ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan mewajibkan pelaku untuk menyatakan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Selain itu, pelaku yang mendapatkan sanksi ringan dan sedang juga diwajibkan untuk mengikuti pembinaan konseling untuk memberikan efek jera, sehingga tidak terjadi keberulangan.

6.      Menjamin ruang partisipasi warga kampus untuk mendukung korban melalui pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Bab IV Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual)

Partisipasi dari setiap unsur civitas akademika yang berpihak pada korban seperti mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan lainnya adalah kunci dalam implementasi Permendikbud ristek ini. Dengan menetapkan syarat-syarat yang ketat seperti pernah mendampingi korban kekerasan seksual serta proporsi anggota yang melibatkan partisipasi mahasiswa sebesar 50%, satgas yang dibentuk mampu untuk menjangkau dan mengamati situasi terkini di kampus. Hal ini sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman pada korban mahasiswa karena yang menerima laporan kasusnya merupakan teman sebaya.

7.      Memberikan perlindungan hak korban dan saksi (Bab III Penanganan Bagian Ketiga Perlindungan)

Aturan ini memberikan jaminan perlindungan bukan hanya kepada korban, melainkan juga kepada saksi. Perlindungan tersebut diantaranya yaitu perlindungan akademis dan/ atau pekerjaan sebagai pendidik maupun tenaga pendidik, perlindungan dari ancaman fisik maupun non-fisik, perlindungan akan kerahasiaan identitas, perlindungan dari ancaman pidana atau perdata hingga penyediaan rumah aman bila korban dan saksi memerlukan.

8.      Memastikan tanggung jawab perguruan tinggi dalam meningkatkan keamanan kampusnya dari kekerasan seksual

Permendikbud ristek ini mewajibkan kampus menjadi salah satu kunci yang bertugas mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Apabila perguruan tinggi tidak melaksanakannya, maka akan berakibat pada pengurangan-pengurangan hak yang dimiliki perguruan tinggi tersebut.

9.      Mengakomodasi kebutuhan disabilitas dalam tiap proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual

Hal ini merupakan bentuk perlindungan Permendikbud ristek ini terhadap hak-hak disabilitas yang sering kali diabaikan. Selain itu, pengakomodasian kebutuhan disabilitas juga menunjukkan inklusivitas Permendikbud ristek ini terhadap ragam kerentanan korban kekerasan seksual.

10.  Mengakomodasi keragaman kondisi kampus di Indonesia

Pemimpin Perguruan Tinggi diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum diatur di Permendikbud ristek (pasal 50) dan kepastian hukum untuk meminta bantuan dari Kemendikbud dalam penanganan kasus-kasus yang berat (pasal 56).

Permasalahan dari pro kontra yang terjadi pada Permendikbud ristek, dimana salah satu lembaga adat yaitu Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat mengajukan gugatan berupa Judicial Review (JR) kepada MA dengan Nomor Perkara 34 P/HUM/2022. Dalam gugatannya, LKAAM meminta MA untuk meninjau kembali penerbitan Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Pendidikan Tinggi dengan alasan karena pada pasal tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual terdapat frasa “tanpa persetujuan korban” dan “yang tidak disetujui korban”. Frasa tersebut membuka ruang atas perbuatan asusila yang dilegalkan dan pembentukan Permendikbud ristek tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan. Menurut mereka, kemendikbud tidak cukup membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan.

Hal tersebut membuat khawatir beberapa kelompok masyarakat terutama kalangan yang selama ini peduli terhadap isu kekerasan seksual di kampus. Salah satunya yaitu komnas perempuan, sehingga komnas perempuan tegas menyerukan MA untuk menolah JR LKAAM. Ada tiga alasan yang disampaikan Komnas Perempuan mengapa MA layak menolak permohonan Judicial Review LKAAM. Pertama, pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbud ristek PPKS karena tidak mampu membuktikan kualifikasinya, antara sebagai masyarakat hukum adat atau badan hukum publik. LKAAM juga tidak memiliki kerugian hak warga negara, tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan, dan pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual. Kedua, Kemendikbud telah memenuhi Prosedur Formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Penolakan Judicial Review Permendikbud PPKS juga disampaikan sejumlah akademisi dari beberapa universitas, antara lain: Universitas Indonesia (UI), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mereka menyatakan pembentukan Permendikbud ristek PPKS sudah memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena tidak ada alasan bagi MA untuk mengabulkan permohonan Judicial Review LKAAM. Hal yang sama dilakukan oleh Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS). PIS menganggap LKAAM tidak sensitif terhadap meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Permohonan uji materi ditolak oleh MA, sehingga implementasi Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 mulai terjalankan di beberapa perguruan tinggi khususnya di Universitas Hasanuddin. Sebelum adanya Permendikbud ristek No. 30, pada lingkup Universitas Hasanuddin terdapat beberapa lembaga yang mengawal kasus-kasus kekerasan seksual, salah satunya yaitu Komite Anti Kekerasan Seksual. Menurut laporan aduan kasus kekerasan seksual yang diterima Komite Anti Kekerasan Seksual selama periode 2019-2021, yaitu berjumlah 16 kasus, 15 kasus dilaporkan oleh korban, 1 kasus dilaporkan oleh pelaku. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah di ranah pribadi atau privat 57% (9 kasus) dengan rincian dilakukan oleh mantan pacar (6 kasus), pacar (2 kasus), serta kerabat (1 kasus) dan lainnya dilakukan oleh pelaku dari ranah komunitas 43% (7 kasus), dengan rincian teman (4 kasus), dosen pembimbing (1 kasus), atasan di tempat kerja (1 kasus) dan orang yang tidak dikenal (1 kasus).

Dari hal tersebut, menandakan bahwa di lingkup Universitas Hasanuddin terdapat beberapa laporan kasus kekerasan seksual dari sekian banyaknya kejadian kasus kekerasan seksual yang belum terlapor, sehingga memungkinkan membentuk fenomena gunung es. Hal itu terjadi dikarenakan korban malu diketahui identitasnya hingga pada relasi kuasa yang mengintervensi korban ketika melaporkan pelaku.

Hadirnya Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 di lingkup Universitas Hasanuddin menjadi suatu aturan berperspektif terhadap korban, tetapi yang menjadi suatu pertanyaan sudah sejauh mana progress implementasi Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 di UNHAS?

Dilansir dari tulisan Komite Anti Kekerasan Seksual, dimana membuka forum diskusi yang bertemakan “Implementasi Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi” yang turut mengundang seluruh mahasiswa Universitas Hasanuddin dengan pemantik Imam Mobilingo selaku anggota Satgas yang diskkan oleh Rektor Universitas Hasanuddin dan Arinda Widyani Putri selaku Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual. Pada tulisan tersebut, Imam menerangkan terkait perkembangan tindak lanjut Permendikbud ristek di Unhas saat ini bahwa Rektor telah mengangkat 11 orang sebagai tim Satuan Tugas sementara Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 melalui Surat Keputusan Rektor Nomor 5282/UN/4.1/KEP/2022. SK tersebut ditandatangani Rektor Unhas pada 29 Juli 2022 yakni.

       Prof. Dr. Farida Patittingi, SH., M.Hum selaku ketua satgas PPKS Unhas,

       Prof. Dr. Anwar Borahima, SH., MH selaku wakil ketua Satgas PPKS Unhas,

       Dra. Rosniati, M.M selaku sekretaris satgas PPKS Unhas,

       Dr. dr. Idar Mappangara, Sp.PD.,Sp.JP.(K) selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur dosen),

       Abdullah Sanusi, SE.,MBA.,Ph.D selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur dosen),

       Asmita, SH selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur tenaga kependidikan),

       Andi Wiwiek Sultan, S.IP selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur tenaga kependidikan),

       Saharia, S.T.,M.M selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur tenaga kependidikan),

       Sampara, S.T.,M.M selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur tenaga kependidikan),

       Imam Mobilingo selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur mahasiswa), dan

       Sakinah Raodliyah Taslim selaku anggota satgas PPKS Unhas (unsur mahasiswa).

Pada tulisan tersebut juga memperdebatkan terkait apa yang menjadi dasar/ landasan pembentukan satgas sementara Unhas. Menurut Imam Mobilingo selaku tim Satgas Unhas dari unsur mahasiswa, dasar/ landasan pembentukan satgas Unhas ialah SK Rektor Nomor 528/UN/4.1/KEP/2022 yang terbit tanggal 29 Juli 2022. Satgas yang berlaku hari ini pun bersifat sementara sampai diterima balasan dari Kemdikbud perihal panitia seleksi yang terpilih. Hal ini menjelaskan bahwa satgas yang bersifat sementara ini terbentuk tanpa melalui mekanisme yang sesuai dengan pasal 27 dan pasal 28 perihal kuantitas dan kualitas satgas, maka dari itu Imam mengakui bahwa satgas sementara ini bersifat mal prosedur.

Pada 26 September 2022, dikeluarkannya surat pengumuman nama-nama panitia seleksi (pansel) satuan tugas yang berjumlah 8 orang yakni

       Prof Dr Rabina Yunus Msi selaku pendidik,

       Dr Ir Novaty Eny Dungga MP selaku pendidik,

       Prof Dr Nursini SE MA selaku pendidik,

       Dr Ir Mardiana Ethrawaty Fachry Msi selaku pendidik,

       Dra Rosniati MM selaku tenaga kependidikan,

       Ernawati Rifai SE MM selaku tenaga kependidikan,

       Alya Tasya Widjaya selaku mahasiswa, dan

       Regina Meicieza Sweetly selaku mahasiswa.

Dilansir dari tulisan Identitas Mahasiswa bahwa dari sejak Juli 2022 Unhas telah mengirim nama-nama calon pansel untuk dilakukan seleksi administrasi dan pansel yang dinyatakan lulus berencana akan membuat buku pedoman anti kekerasan seksual yang akan dibagikan ke setiap fakultas. Berdasarkan tulisan identitas mahasiswa mengenai “Satgas PPKS ‘Tersandung’ Masalah Teknis” bahwa terdapat kurang inisiatif dan responsif dari pihak administrator Unhas dalam penginputan data calon pansel yang menyebabkan calon pansel tidak mengikuti materi dan penginputan data yang dilakukan pada Bulan September. Lamanya penginputan data lantaran administrator bingung berkomunikasi dengan pihak siapa dan kesibukan pada saat pergantian rektor serta miskomunikasi yang terjadi saat penginputan data. Pada 4 November 2022, Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M. Sc resmi melantik 11 orang terpilih sebagai satuan tugas pencegahan dan kekerasan seksual dilingkup kampus yakni

       Prof. Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum., (ketua satgas),

       Dr. Iskandar, S.Sos., M.Si., (sekretaris satgas),

       Prof. Dr. Nursini, S.E., MA., (anggota),

       Dr. Ir. Mardiana Ethrawaty Fachry, MS., (anggota),

       Dr. Ir. Aslina Asnawati, S.Pt., M.Si., IPM., ASEAN Eng (anggota),

       Muhammad Rizal, S.S., M.Hum., (anggota),

       Qaiatul Muallima (anggota),

       Nanda Yuniza Eviani (anggota),

       Nurul Auliya Amin (anggota),

       Mutiara Humaerah Mahbubah Abdullah (anggota), dan

       Muh. Widyachasan Warisman (anggota).

Dalam proses pembentukan, satgas PPKS telah melewati proses seleksi dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang tercantum dalam Permendikbud ristek No. 30 Tahun 2021 pada pasal 27, 28, dan 29.

Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 memiliki banyak dinamika dilalui hingga pada implementasinya, tetapi ketika kita tarik kembali dasar pembentukan aturan ini dalam segi ajaran islam. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan oleh Kohati Komisariat Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, dimana salah satu narasumber Nurul Izzah selaku Ketua Kohati Komisariat Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin periode 1443-1444 H menjelaskan bahwa sikap saling menghargai merupakan salah satu cara untuk menghindari perilaku penyimpangangan seksual, karena dengan saling menghargai orang akan mengetahui batasan-batasan syar’i. Salah satu cara untuk menghindari penyimpangan seksual yaitu dengan menjauhi perkara-perkara yang menimbulkan syahwat, laki laki dapat dengan cara menundukkan pandangan, perempuan harus menutup aurat agar tidak mengundang syahwat laki – laki. Di dalam islam sendiri, sudah jelas menentang terkait kekerasan dalam bentuk apapun terlebih lagi terkait dengan kekerasan seksual yang dijelaskan oleh firman Allah SWT Q.S An-Nur ayat 33, Al isra ayat 32, An Nur ayat 30. Konsep-konsep terkait perlindungan dan jaminan terhadap perempuan dalam hak-hak dasar sebagai manusia dapat ditemukan dalam banyak literatur-literatur Islam. Islam melindungi perempuan dari pelecehan melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti.

1.      Penerapan aturan-aturan Islam yang dikhususkan untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan.

Misalnya, kewajiban menutup aurat (QS. An-Nur: 31), berjilbab ketika memasuki kehidupan publik (QS. Al-Ahzab: 59), larangan berhias berlebihan atau tabarruj (QS. Al-A’raaf: 31 dan QS. Al-Ahzab: 33). Adanya pendampingan mahram (kakek, ayah, saudara laki-laki, dan adik ayah) atau suami ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam. Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda,

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim no.1339).

2.      Penerapan aturan-aturan Islam terkait pergaulan laki-laki dan perempuan.

Misalnya, perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS. An-Nur: 31), larangan berduaan dan campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i. Rasulullah SAW bersabda,

Seorang laki-laki tidak boleh berduaan (khalwat) dengan seorang perempuan kecuali wanita tersebut bersama mahramnya.” (HR.Muslim)

3.      Penerapan sanksi yang berat bagi pelaku pelecehan.

Misalnya, pelaku pemerkosaan akan dihukum had zina (QS. Al-Maidah: 33). Jika pelakunya belum pernah menikah maka dicambuk 100x, jika sudah pernah menikah dirajam hingga mati.

4.      Orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan. Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya atau pegawainya.

Selain itu, Islam juga melindungi perempuan dari kekerasan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti:

1.      Perintah mempergauli istri secara ma’ruf dan larangan berbuat aniaya terhadap istri (QS. Al-Baqarah: 228-229 dan QS. An-Nisa: 19).

2.      Penerapan sanksi bagi pelaku kekerasan, di antaranya pelaku akan dihukum qishas jika terjadi pembunuhan atau dihukum ta’zir maupun membayar denda (diyat) jika terjadi penganiayaan fisik.

Pelecehan seksual merupakan penyimpangan terhadap norma agama dan moral. Kedua bentuk ini mengakibatkan bahaya baik ditinjau dari aspek psikologis maupun sosiologis, sehingga penyimpangan ini masuk dalam ranah patologi sosial. Ajaran Islam memandang bahwa prostitusi maupun pelecehan seksual merupakan perbuatan dosa/ keji dan melanggar larangan Allah SWT , sebagaimana firman yaitu

Q.S Al - A’raf ayat 33: َ ح َ ََّّم ِ ا ْ قُل ٰ لل ِ ا ب ْ ُ ْشِرُكو َ ْن ت ا َ َ قِ و ِر الْح ْ ی َ غ ِ ب َ غْي َ الْبـ َ و َ ثْم اَْلِ َ و َ َطَن ب َ م َ و َ ْه نـ ِ  م َ َر ظَه َ َش م احِ َ َفو الْ َ ِي ب َ َ َ َّرم َ ِ ِْْ ب َز نـ ُ ُـ ْ لَم َ م ِ َ ً ْل ٰطن ُ َ ْن ا ْ ُ َّوا لُو ْ تـ لَى َُقو َ ع ِ َ ٰ الل َ م ََل َن ْ و ُ لَم ْ َۡ تـ

Al-Quran tidak pernah memandang laki-laki dan perempuan secara berbeda, Al-Quran tidak memandang perempuan dengan rendah, tidak mengajarkan untuk berperilaku sewenang-wenang terhadap perempuan apalagi untuk menyiksa maupun melukai perempuan. Beberapa ayat dalam Al-Quran dapat menggambarkan bahwa Islam memberikan apresiasi terhadap cinta, kasih sayang, keharmonisan dalam menjadi landasan hubungan antara suami dan istri. Hal ini dapat dilihat dalam Alquran yaitu

Q.S Ar-Rum Ayat 21: َق َ ْن َخلَ َ ا ِ ٰاُٰت ْ ن ِ م َ َك و ِ ٰذل ْ ي ِ َّن ف ِ ةًۗا َ ْم َح َّدةً َّوَ َ َّمو ْ َ ُكم ن ْ یـ َ بـ َ َل ۡ َ َج و َ ْه لَیـ ِ ْٓا ا ْ ُو ُكنـ ْ َس ت ِ ل ً اج َ ْو َز ا ْ ِس ُكم ُْف ََّـ ا ْ ن ِ م ْ لَ ُكم ََلٰ ِ م ْ َقو ِ ِت ل ُٰ َن ْ و ُ َ َف َّكر ُـَّتـ

Artinya: Di antara tanda-tanda kekuasaan Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. 30:21]

Ayat ini menjadi penting karena Pertama, Al-Quran tidak mengaitkan seksualitas dengan perilaku hewani atau tindakan jasmani saja, namun memandang bahwa seksualitas ialah sarana Tuhan dalam menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dicirikan dengan kebersamaan, kedamaian, cinta dan kasih sayang. Kedua, ayat ini memiliki penegasan laki-laki dan perempuan mempunyai karakteristik yang sama termasuk karakteristik seksualitas, keduanya merupakan bagian dari karakteristik alami manusia atau fitrah, keserupaan seksualitas tersebut yang membuat sukun yang timbal balik itu menjadi bermakna. Tidak adanya pembeda antara karakteristik seksual laki-laki dan perempuan juga dapat dilihat dari

Q.S Annur ayat 26: ِت َ یث ِ َخب لْ ِ ُوَن ل یث ِ َخب الْ َ و َ ین ِ یث ِ َخب ْل ِ ُت ل َ یث ِ َخب الْ ٰۖ لطَّ ِ وَن ل ُ ب ِ ی الطَّ َ و َ ین ِ ب ِ ی لطَّ ِ ُت ل َ ب ِ ی الطَّ َ ِت و َ ب ِ ی

Artinya: Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk lelaki lelaki yang keji dan lelaki lelaki yang keji adalah untuk perempuan perempuan yang keji dan perempuan perempuan yang baik adalah untuk lelaki-lelaki yang baik, dan lelaki-lelaki baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik. Dengan demikian, dalam Al-Quran dijelaskan bahwa kesucian dan kehormatan didasarkan pada perilaku bukan pada identitas atau jenis kelamin.

Upaya dalam mengatasi pelecehan seksual dapat dilakukan dengan memberikan konsep sex education pada anak yang tentunya tidak terlepas dari ajaran agama islam, serta regulasi yang perlu dipertegaskan dengan melihat persoalan akar rumput. Hadirnya Permendikbud No 30 Tahun 2021 ini menjadi langkah awal dalam menciptakan ruang aman bagi para korban dalam lingkup pendidikan.

Referensi:

Biro Komunikasi Unhas., 2022. Unhas Resmi Lantik 11 Orang Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Lingkup Kampus. https://www.unhas.ac.id/unhas-resmi-lantik-11-orang-satuan-tugas-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-lingkup-kampus/?lang=id

CSW., 2022. Puji Syukur, Judicial Review Permendikbud PPKS ditolak. https://csw.id/puji-syukur-judicial-review-permendikbud-ppks-ditolak/

Direktori Putusan MA RI., 2022. Putusan Mahkamah Agung 34 P/HUM/2022. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaecf2d885dd4d40a259313634303331.html

Identitas Unhas., 2022. Berikut Nama Panitia Seleksi Satgas PPKS di Unhas. https://identitasunhas.com/berikut-nama-panitia-seleksi-satgas-ppks-di-unhas/

Identitas Unhas., 2022. Satgas PPKS ‘Tersandung’ Masalah Teknis. https://identitasunhas.com/satgas-ppks-tersandung-masalah-teknis/

Kemendikbudristek, 2021. Abstrak Permen 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

KAKS UNHAS., 2022. Imam Mobilingo:”Saya akui, satgas sementar UNHAS bersifat malprosedur”. https://komiteantikekerasanseksualuh.wordpress.com/2022/09/17/imam-mobilingo-saya-akui-satgas-sementar-unhas-bersifat-malprosedur/

Komnas Perempuan., 2022. Peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2022. https://komnasperempuan.go.id/kabar-perempuan-detail/peluncuran-catahu-komnas-perempuan-2022

Kompas.com., 2022. MA Tolak Uji Materi Permendikbud PPKS, Kemendikbud: Kampus Aman dari Kekerasan Seksual. https://www.kompas.com/edu/read/2022/04/19/101203071/ma-tolak-uji-materi-permendikbud-ppks-kemendikbud-kampus-aman-dari-kekerasan?page=all

KAKS., 2022. CATAHU Komite Anti KS UNHAS 2021. https://komiteantikekerasanseksualuh.wordpress.com/2022/04/01/catahu-komite-anti-ks-unhas-2021/

Tempo.co., 2022. Gugatan Permendikbud 30 Ditolak, Kemendikbud Apresiasi Dukungan Masyarakat Sipil. https://nasional.tempo.co/read/1583646/gugatan-permendikbud-30-ditolak-kemendikbud-apresiasi-dukungan-masyarakat-sipil

https://mahardhika.org/

 

 

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan