Poverty Porn: Merauk Cuan dengan Mengeksploitasi si Miskin
oleh: Nichlasul Dienullah
Saat ini, kehadiran media sosial
telah menjadi kebutuhan primer. Media sosial dapat dijadikan sebagai tempat
pertukaran indormasi yang lebih interaktif. Namun seiring berkembanganya
teknologi, muncullah berbagai situs, website dan berbagai platform. Salah
satunya YouTube yang dikenal sebagai platform terpopuler yang mayoritas
digunakan oleh masyarakat. Bahkan menurut laporan We Are Social,
pengguna aktif YouTube di Indonesia mencapai 127 juta pada April 2022 dan
Indonesia menempati posisi ketiga di dunia dengan pengguna YouTube terbanyak.
Hal inilah yang menyebabkan YouTube juga digunakan sebagai tempat mencari
peruntungan penghasilan dan reputasi dengan menjadi seorang YouTuber.
Begitu banyak kanal maupun konten
yang dihadirkan oleh YouTube, mulai dari video amatir, video musik karya
produsen indsutri, musik dunia dan lain sebagainya. Konten kreatorpun semakin
bermunculan dan menjamur dikarenakan banyaknya peminat tontonan YouTube .
Mereka berlomba-lomba menyajikan konten yang sebaik mungkin untuk menarik
perhatian penonton. Mulai dari vlog, short movie, gaming, hingga konten
prank (Saputri, Tullah and Koswara,
2021).
At the same time,
tidak semua konten yang ada di media itu berkualitas. Contohnya seorang
YouTuber yang membantu orang kurang mampu dengan memberikan sesuatu kemudian
menshoot ekspresi sedih mereka dari kondisi hidup yang melarat. Konten
seperti ini merupakan bentuk dari poverty porn. Menurut M. A. Mascovich (2017) poverty porn adalah
segala bentuk produk media yang ditulis, difoto atau difilmkan yang
mengeksploitasi kondisi kemiskinan untuk memicu simpati demi mencapai tujuan
tertentu. Kata porn dalam istilah poverty porn digunakan untuk
menunjukkan kesamaan antara poverty porn dan pornografi. Pada konten
pornografi, yang dijual adalah imajinasi tentang seks, sedangkan dalam konten poverty
porn, yang dijual adalah imajunasi tentang penderitaan dan kemiskinan (Lavenia, 2022).
Poverty porn yang dijadikan konten sesungguhnya bukanlah sebuah hal yang baru,
bahkan sebelum maraknya poverty porn di media sosial, TV terlebih dahulu
telah memulai. Salah satu contohnya seperti program reality show “Orang
Pinggiran”. Pada program ini, penonton dipaparkan bagaimana kisah hidup
dari subjek yang digambarkan dengan kondisi tempat tinggal yang tidak layak dan
penghasilan yang tidak memadai kemudian diceritakan bagaimana mereka bertahan
hidup dengan kondisi demikian. Belum lagi ditambah efek dan backsound yang
sangat mendramatisir.
Fenomena
ini tidak hanya ada di TV, YouTube pun kini dipenuhi dengan konten serupa.
Contohnya seperti Baim Wong. Pada bagian awal penonton akan diperlihatkan
kisah-kisah perjuangan subjek untuk menarik simpati penonton, semakin susah kehidupan
subjek, maka akan semakin menarik penonton untuk menaikkan viewers.
Setelah itu, pada bagian akhir Baim kemudian memoles isi konten dengan
memberikan bantuan hidup berupa uang dengan jumlah yang terbilang fantastis.
Konten semacam ini rupanya banyak
digemari oleh penonton karena dengan menonton konten seperti ini, maka akan memicu
emosi penonton dengan merasa bahwa mereka memiliki privilege dari subjek
yang dipertontonkan. Jadi harapannya adalah penonton juga bisa menjadi sosok
yang membantu seperti di dalam konten tersebut. Tetapi kenyataannya poverty
porn justru merusak. Mungkin dari kita banyak yang bertanya-tanya, “apa
salahnya konten seperti itu, lagian menolong orang tidak ada salahnya? apa yang
salah menjadikan si miskin sebagai sorotan”
Poverty porn dapat
membentuk pelabelan dan misinterpretasi terhadap warga miskin tanpa melihat
akar masalah kemiskinan. Persoalan kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks
dan multifaktor. Bisa jadi karena penyakit, ketidakadilan, kebijakan yang tidak
pro orang miskin, faktor manajemen dan keuangan, faktor pemikiran masyarakat
seperti pemikiran semua adalah takdir Tuhan, dan lain sebagainya yang terkadang
semua faktor tersebut saling berakaitan. Jika meninjau bahwa kemiskinan
merupakan sebab dari multifaktor, maka solusi yang diberikan tentunya tidak
cukup dengan hanya memberi uang, tetapi menghadirkan solusi yang benar-benar
komprehensif dan holistik.
Sekarang mari kita telusuk lebih
lanjut apa motif orang-orang menjadikan kemiskinan sebagai konten. Jika niatnya
untuk menyelesaikan kemiskinan, ya tentu saja tidak cukup dengan memberikan
uang. Sedangkan jika niatnya untuk meringankan beban orang lain, yang menjadi
pertanyaan adalah kenapa harus dipertontonkan kepada orang luas melalui konten?
Karena pada dasarnya para pembuat konten dapat bersedekah tanpa memperlihatkan
realitas kehidupan mereka sebagai orang yang hopeless.
Jika melihat perbandingan, lebih
banyak mana uang yang dikeluarkan untuk orang miskin yang menjadi subjek poverty
porn dengan penghasilan dari konten tersebut. Nah, menurut YouTube money calculator, kanal YouTube Baim
rata-rata menghasilkan 78 juta per videonya. Belum lagi sponsor brand
yang masuk di konten mereka. Seperti inilah gambaran media-media yang
mengeksploitasi si miskin dengan menjual kisah haru. Sedangkan para pemilik
konten menggunakan poverty porn sebagai cara untuk menghasilkan
pundi-pundi uang.
Referensi:
M. A. Mascovich. (2017). Poverty, Porn
and the Picture: Exploring Representation of Exploitative Photography through
the Case of Oxfam
Lavenia, A. (2022) Poverty Porn: Ketika Kemiskinan
Dieksploitasi untuk Konten, cxomedia. Available at:
https://www.cxomedia.id/general-knowledge/20221004155252-55-176426/poverty-porn-ketika-kemiskinan-dieksploitasi-untuk-konten
(Accessed: 3 November 2022).
Saputri, F.H., Tullah, R. and Koswara, D.A. (2021) ‘Pembuatan
Dokumenter Mengenai Keberhasilan Pemanfaatan Youtube Sebagai Mata Pencaharian
Melalui Konten Kreatif’, 10(2).
Komentar
Posting Komentar