Langsung ke konten utama

Kunci Gerak Baru Yang Kolektif

PERILAKU KOLEKTIF DAN GERAKAN SOSIAL

Kunci Gerak Baru Yang Kolektif

Oleh: Jennifer Irene Amorita Hadiono

Dalam pembacaan putusan uji materiil atas UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ditolak dan UU Nomor 12 Tahun 2012 ini dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ditolaknya gugutan atas UU Pendidikan Tinggi ini oleh Mahkamah Konsttusi (MK) menjadi sebuah “antiklimaks” bagi proses dari penolakan adanya wacana liberalisasi pendidikan. Setelah sempat terjadi penuaian sedikit ‘kemenangan’ karena dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan Tinggi pada tahun 2010, kini proses liberalisasi kini kembali marak dengan UU Pendidikan Tinggi.

Pola pola liberalisasi sangat jelas dan khas: menjadikan institusi pendidikan otonom, menanamkan logika kompetisi, dan mereduksi peran negara dalam pembiayaan pendidikan (Collins, 2009). Dengan demikian, otonomi yang merupakan jantung dari liberalisasi ini mengalihkan kekuasaan ‘negara’ pada kekuasaan ‘pasar’. Modus modus liberalisasi juga terlihat jelas terikat dengan kekuasaan antar Bank Dunia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kampus-kampus besar, akademisi, dan aktor-aktor lainnya. Adanya liberalisasi pendidikan ini juga, membuat hakikat pendidikan terciderai dimana semestinya pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi dibuat seakan pendidikan ini sebagai tempat untuk produksi dan mencari profit semata.

Dalam tulisan yang berjudul “Higher Education Reform in Indonesia” oleh Satryo Brodjonegoro, ia menggaambarkan bagaimana cara kerja liberalisasi pendidikan dan outcome seperti apa yang mereka inginkan. Dalam tulisannya ia juga melihat bahwa saat ini, pendidikan tinggi Indonesia dilanda ‘krisis’ karena pendidikan tinggi sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi pasar yang berkembang pesat. Dasar inilah muncul gagasan mengenai reformasi pendidikan tinggi karena lahir dari kebutuhan untuk merespon adanya kebutuhan industri (luas:pasar) untuk melakukan ‘konvergensi’ dengan pengetahuan.

Dapat dilihat juga dari penjelasan diatas, bahwa kampus tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai untuk keperluan industri. Dengan demikian, ada dua hal penting menjadi ‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan selama ini yaitu pertama, komodifikasi pengetahuan, yakni menjadikan pengetahuan sebagai komoditas dalam pasar global. Kedua, menjadikan universitas sebagai mesin produksi tenaga kerja  dan sekaligus mengeksklusi mereka yang tidak punya modal dan pengetahuan.

Konsep PTN-BH hadir karena ada liberalisasi, kampus yang termasuk PTN-BH diberikan otoritas untuk mengatur dan mengelola keuangannya dengan sendirinya. Selain itu, PTN-BH juga hanya sedikit intervensi yang diberikan oleh pemerintah. Tujuan adanya PTN-BH ini hadir karena agar kampus tersebut mudah untuk diajak berkoalisi atau bekerja sama dengan berbagai investor serta dapat mengembangkan dan  mengatur keuangannya sendiri. Dalam PTN-BH ini rektorat mempunyai keinginan untuk dapat mengevaluasi sistem yang berjalan ini. Oleh karena itu, hadirlah Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat Universitas (BEM-U) karena dengan syarat BEM-U ini dapat melanggengkan  PTN-BH.

Liberalisasi yang dibungkus dengan hadir PTN-BH ini berdampak pada gerakan mahasiswa, gerakan mahasiswa perlu membingkai ulang gerakannya. Gerakan mahasiswa perlu merumuskan ulang terkait bagaimana strategi dan pembacaannya terhadap proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Gerakan mahasiswa perlu memperhatikan bagaimana wacana liberalisasi pendidikan ini dirumuskan di tataran akademik. Gerakan mahasiswa juga perlu menyadarkan partai politik tentang bahaya liberalisasi pendidikan, modus-modus operasinya, hingga semua yang terlibat di dalamnya. Dengan membangun kesadaran para politisi itu, gerakan mahasiswa akan tahu siapa yang benar-benar berpihak pada mahasiswa. Gerakan mahasiswa juga perlu memikirkan gerakan bersama atau wadah gerak kolektif dengan elemen-elemen lain untuk menghadang dan berhenti melanggengkan isu ini. Sebab pada dasarnya liberalisasi pendidikan ini tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga buruh, petani, pedagang kecil dan siapapun yang ingin memberikan pendidikan yang baik pada anaknya.

Untuk sampai pada gerak mahasiswa yang dipaparkan di atas dibutuhkan ruang agar mahasiswa mampu memahami dengan baik mengenai isu isu liberalisasi pendidikan agar dapat menawarkan solusi dari sistem yang telah ada ini sehingga mahasiswa dapat menyusun rangkaian strategi dan dapat memaksimalkan distribusi wacana ambruknya pendidikan yang jauh dari kata ideal dengan pemaksimalan budaya literasi. Dimanapun lembaga kemahasiswaan tentunya berperan untuk mewadahi hal ini sebaik dan semaksimal mungkin, salah satunya dengan menjaga pengaderan yang mesti berjalan secara maksimal agar tetap menjaga regenerasi yang dapat memumpuni untuk terus melanjutkan perjuangan lembaga mahasiswa.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan