Fenomena Urbanisasi; Pandangan Henry David Thoreau dalam Perspektif Eco-Theology
Oleh: Bidang PTKP HmI Komisariat Kesmas Unhas Cabang Maktim Periode 1443-1444 Hijriah
Pesatnya pembangunan di daerah perkotaan di Indonesia dapat memacu pertumbuhan di berbagai sektor, seperti ekonomi, sosial-politik, dan budaya. Akibatnya, daerah perkotaan ini akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan, dan bertempat tinggal dengan harapan yang lebih baik dari tempat tinggalnya di daerah pedesaan atau non perkotaan.
Berdasarkan data World Urbanization Prospects tahun 2018, pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia sebesar 1% (Data laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2021 sebesar 0,98%); dan diperkirakan pada tahun 2045 populasi Indonesia akan mencapai 318 juta jiwa, meningkat sebesar 47,8 juta jiwa dari data Sensus Penduduk 2020 yang sebesar 27,20 juta jiwa; dan sekitar 67,1% akan tinggal di kawasan perkotaan. Hal ini, jika tanpa intervensi serius, diperkirakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia akan tinggal di Pulau Jawa. Sedangkan untuk Kota Makassar, berdasarkan perbandingan data jumlah penduduk tahun 2010 dan 2021, terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 88.245 jiwa, dari 1.339.374 jiwa menjadi 1.427.619 jiwa.
Kesenjangan pembangunan atau ketidakmerataan fasilitas-fasilitas antara kota dan desa menjadi kecenderungan bagi masyarakat pedesaan dan terutama bagi generasi muda untuk beramai-ramai pindah ke daerah perkotaan. Fenomena ini merupakan proses sosial yang lebih sering kita kenal sebagai urbanisasi. Dengan demikian, urbanisasi menjadi suatu proses perubahan sosial demografi yang alamiah sebagai upaya bagi masyarakat atau penduduk dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Fenomena Urbanisasi
Urbanisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai proses perpindahan penduduk dari pedesaan menuju perkotaan. Menurut Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto1, urbanisasi bukan hanya perpindahan demografi penduduk, namun merupakan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (urban area). Makna perkotaan (urban area) pun tidak dapat disamakan artinya dengan kota (city). Daerah atau wilayah dapat dikatakan sebagai perkotaan (urban area) ketika memenuhi tiga persyaratan, yakni: 1) kepadatan penduduk ³ 500 orang per km2; 2) jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian sebesar £ 25%; dan 3) mempunyai ³ 8 jenis fasilitas perkotaan. Oleh karenanya, menurut Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto, berdasarkan pedekatan demografis, perpindahan penduduk dari desa ke kota hanya salah satu dari banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi.
Sedangkan menurut pendekatan ekonomi-politik, urbanisasi dapat diartikan sebagai transformasi sosial ekonomi yang muncul oleh karena adanya pengembangan dan ekspansi kapitalisme (capitalist urbanization)2. Hal ini berarti bahwa urbanisasi berkaitan dengan gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan yang berdampak pada perubahan struktural pada masyarakat pedesaan, dari struktur mata pencaharian agraris menuju atau melalui proses sosial masyarakat perkotaan.
Jika melihat pengertian di atas, sudah jelas bahwa alasan masyarakat pindah dari pedesaan ke perkotaan oleh karena persoalan ekonomi. Prospek ekonomi perkotaan yang lebih baik dari pedesaan, dan perbedaan pendapatan antar wilayah pedesaan-perkotaan menjadi alasan utama ketika masyarakat ditanya mengenai alasan kepindahan mereka. Meskipun demikian, masih terdapat masyarakat pedesaan yang lebih memilih dan menyukai hidup di lingkungan pedesaan daripada harus pindah ke perkotaan, asal mereka mampu menyediakan standar hidup yang sama dan memiliki prospek yang sama bagi anak-anak mereka3.
Di tengah fenomena urbanisasi dan persoalan prospek ekonomi yang lebih menjanjikan oleh daerah perkotaan, selanjutnya akan timbul pertanyaan dalam benak kita. “Mengapa masih terdapat masyarakat pedesaan yang tidak bermigrasi ke perkotaan?”, “dan memilih untuk mempertahankan nilai (value) dari tradisi yang merupakan pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi pada masyarakat pedesaan tersebut, misal seperti pola aktivitas agraris yang hanya khas berada di pedesaan?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mencoba memakai perspektif Eko-theology (ecology theology) yang merupakan ilmu yang membahas mengenai inter-relasi antara pandangan teologis-filosofis yang terkandung antara ajaran agama dengan alam, utamanya lingkungan. Lebih khusus, untuk mengontekskan fenomena urbanisasi melalui sudut pandang Eko-theology, saya akan memakai pemikiran Henry David Thoreau.
Sekilas Mengenai Henry David Thoreau
Henry David Thoreau adalah seorang penulis, penyair, filsuf praktis terkenal yang berasal dari Amerika Serikat. Ia dikenal dengan tulisan naturalisnya. Thoreau sendiri lahir pada tahun 1817 dan meninggal tahun 1862 karena penyakit TBC di Concord, Massachussets, Amerika Serikat4. Tulisan naturalis Thoreau banyak dipengaruhi oleh karena transendentalisme yang sedang berkembang di Amerika Serikat yang dimulai pada awal abad ke-19 atau disebut sebagai gerakan “Pemikiran Baru” (New Trought) sebagai upaya pencarian spiritual yang lepas dari agama-agama yang sudah “mapan”. Disini, William James menyebutnya sebagai “the religion of healthy-mindedness”5.
Berkembangnya transedentalisme di Amerika Serikat pada awal abad ke-19 akibat dari demokrasi Amerika yang terasa mentah, eksperimental, dan tidak pasti, utamanya di Concord, di mana demokrasi yang dipakai merupakan utusan keluarga, diperoleh dari satu generasi dan akan diteruskan ke generasi selanjutnya6.
Pada tahun 1837, seusai Thoreau menyelesaikan studi pendidikan tingginya di Harvard University, ia kemudian bertemu dengan Ralph Waldo Emerson yang juga seorang penulis di kota tempat ia tinggal merefleksikan kembali akar demokrasi untuk dirinya sendiri. Pertemuan dengan Emerson inilah yang kemudian membuat Thoreau mengenal dan tertarik dengan transedentalis, sebuah aliran pemikiran yang menitikberatkan pada pemikiran empiris dan hal-hal spiritual di atas materi dunia.
Transedentalisme sendiri memiliki dua prinsip dasar, yakni mandiri dan independen. Dimana kebaikan dan kemurnian ada secara inheren di dalam setiap diri setiap orang yang sejalan dengan alam, tidak boleh ditekan oleh masyarakat atau institusi atau bahkan negara sekalipun. Hal ini berarti bahwa transedentalisme menekankan pada pengetahuan intuitif yang berasal dari diri manusia itu sendiri.
Selanjutnya, transedentalisme menekankan kedekatan dengan alam. Ralph Waldo Emerson dalam tulisannya from Nature menyebutkan: “in the woods, we return to reason and faith. There I feel that nothing can befall me in life, –no disgrace, no calamity, (leaving me my eyes,) which nature cannot repair. Standing on the bare ground,– my head bathed by the blithe air, and uplifted into infinite space, –all mean egotism vanishes. I become a transparent eye– ball; I am nothing; I see all; the currents of the Universal Being circulate throught me; I am part or particle of God.”7
Thoreau selain dikenal sebagai esais, penyair, dan filsuf, ia juga merupakan aktivis anti perbudakan (abolitionists) dan terutama melalui esainya yang terpisah berjudul Resistance to Civil Government (kemudian dikenal dengan Civil Disobedience), ia sering disebut sebagai seorang yang anarkis. Tulisannya selain dipengaruhi oleh sahabatnya Ralph Waldo Emerson, pemikirannya juga dipengaruhi oleh teks spiritual India.
Buku Walden; Eco Theology Henry David Thoreau
Pada usia yang ke dua puluh tujuh tahun, tepatnya pada juli 1845, Henry David Thoreau pindah ke Danau Walden di pinggir kota dan membangun rumahnya di atas tanah milik Emerson dengan kayu pinus dan papan bekas berukuran 10x15 kaki dan tinggal di sana selama dua puluh enam bulan. Hal ini didasari keinginannya untuk lebih fokus pada penulisan dan mempraktekkan hidup sederhana atau apa yang disebut sebagai “simple living”. Hal ini dapat dilihat dari bab pertama pada bukunya, Walden, yang diberi judul Ekonomi dimana ia membual karena hanya menghabiskan 28 dollar untuk membangun rumahnya di tepi Danau Walden.
Selanjutnya pada tahun 1854, buku Walden; or Life in the Woods kemudian terbit sebagai hasil refleksinya selama hidup di Danau Walden selama dua puluh enam bulan. Disini, Stevent Fink yang merupakan pengkaji pemikiran Thoreau menyebutnya sebagai penulis yang lambat.8
Perlu ditekankan bahwa Walden bukanlah fiksi. Meskipun Thoreau lambat menyelesaikan hasil refleksinya dalam karyanya, Walden. Namun selama periode tujuh tahun ketika ia menyusun dan merevisinya, Thoreau membentuk pengalamannya untuk efek yang cermat, hampir seolah-olah ia sedang menulis sebuah novel yang berisi kehidupannya selama di Danau Walden dan refleksinya terhadap kehidupan yang ia jalani di sana. Thoreau memadatkan peristiwa dua tahun menjadi satu karya, yakni Walden.
Sebuah buku tentang ketenangan, Thoreau memulai Walden dengan nada yang cukup bersemangat, mencela gagasan tentang kepemilikan pribadi pada pemuda di Amerika Serikat. Menurut Thoreau, pemuda Amerika mewarisi pertanian, rumah, lumbung, dsb, dan seharusnya hal itu cukup untuk menghidupi keseharian mereka. Namun mereka memilih untuk “menggali kuburannya” dengan pindah ke perkotaan dan menjadi buruh untuk aktivitas produksi pasar.
“…tenaganya akan terdepresiasi di pasar. Dia tidak punya waktu untuk melakukan apapun selain fokus pada mesin produksi.” (hlm. 8)
Thoreau berpendapat bahwa kerja untuk diri sendiri jauh lebih bermakna, daripada kerja di pasar sebagai buruh. Buruh, tenaganya akan terdepresiasi dan disini buruh tidak lebih dari sekedar mesin untuk kebutuhan produksi pasar. Seharusnya bekerja tidak boleh lebih dari apa yang dibutuhkan oleh buruh tersebut. Sehingga jika melihat kutipan Henry David Thoreau di atas, bahwa terdapat keterkaitan dengan pemikiran Karl Marx tentang nilai lebih atas jam kerja buruh.
Pandangan Thoreau mengenai makna kerja untuk diri sendiri juga berkaitan dengan bagaimana menjadi seorang Filsuf, yang menurutnya bukan hanya orang yang selalu penuh akan teori-teori atau hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas berpikir. Lebih jauh daripada itu, seorang filsuf harus melakukan tindakan (praxis) yang menunjukkan cinta akan kebijaksanaan yang ditunjukkan dengan hidup yang sederhana atau “simple living”. Hidup sederhana yang dipraktekkan oleh Thoreau di sini yakni praktek di alam, hidup bersama alam, di danau Walden dengan melakukan aktivitas sehari-hari dan kemudian memaknainya melalui karya atau tulisan.
Selanjutnya Thoreau mengkritik tindakan konsumtif yang ditunjukan dengan tindakan rakus dan menumpuk kekayaan. Thoreau dalam bukunya, Walden mengatakan, “Saya pikir saya tidak akan membeli dengan rakus, tetapi pergi ke ladang dan mengitarinya selama saya hidup, dan menanam biji, agar biji itu dapat menyenangkan saya pada akhirnya” (hlm. 70).
Disini, Thoreau mengkritik peradaban yang begitu rakus, yakni kebiasaan menumpuk kekayaan. Thoreau menekankan bahwa kerakusan semestinya jangan dilayani dan sebagai manusia semestinya jangan sampai menuruti keinginan rakus tersebut. Selanjutnya ia melontarkan pertanyaan, “kenapa kita hidup terburu-buru?”; “kenapa kita takut kelaparan padahal belum lapar?” (hlm. 77). Ini berkaitan dengan kritiknya atas perilaku menumpuk harta kekayaan atas dasar ketakutan untuk tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup besok, tahun depan, dan seterusnya.
Oleh karenanya, Thoreau juga dikenal sebagai orang yang anarkis, namun ia tunjukkan melalui tindakan yang “puitis”. Ia mengatakan, “Otoritas (dalam hal ini negara) seharusnya tidak menghukum, karena harusnya hubungan pemerintah dan masyarakat seperti angin dan rumput yang terjadi secara natural” (hlm. 143). Tapi mesti ditekankan bahwa yang dimaksud Thoreau adalah ketika manusia telah mencapai kedamaian pada dirinya sendiri maka dia akan bisa mengatur kelompoknya; sehingga disini Thoreau menolak negara –melawan otoritas dengan cara yang puitis– melalui pengalaman hidup di alam, melalui transedentalisme yang puitis.
Pelajaran dari Walden atas Fenomena Urbanisasi
Migrasi dari pedesaan ke perkotaan tidak selamanya menyelesaikan persoalan sosial-ekonomi suatu masyarakat. Konsep kemandirian atau self reliance baik secara ekonomi maupun spritual yang ditunjukkan Thoreau melalui aktivitasnya selama hidup di Danau Walden dapat menjadi alasan untuk tetap hidup berdampingan bersama alam dengan tetap berada di pedesaan. Namun kemandirian tidak boeh dimaknai dengan melepaskan proses sosial dengan orang lain, karena Thoreau sendiri menikmati keberadaan orang lain meskipun ia tidak mengatakan bahwa ia membutuhkannya. Hal ini bisa dilihat dari lokasi tempat Thoreau membangun rumah di atas tanah milik Emerson, dan dari cara Thoreau yang tetap menerima orang lain berkunjung ke rumahnya di Danau Walden.
Kedua, yakni kehidupan yang sederhana, dengan hidup seminimalis mungkin, atau “simple living” yang ditunjukkan Thoreau melalui perilaku konsumsi yang minimal yang kesemuanya dapat ia peroleh dari alam di Danau Walden; dan fokus pada waktu luang untuk merefleksikan apa yang dikerjakan dalam hidup. Thoreau menekankan agar tidak melakukan perilaku rakus dan kebiasaan menumpuk kekayaan.
Ketiga, kritik Thoreau terhadap konsep kemajuan (progress) yang terkadang bertentangan dengan kedamaian diri. Bahwa dengan meninggalkan pedesaan menuju perkotaan belum tentu membawa manusia pada makna kebahagiaan, karena berdasarkan pengalaman Thoreau, bahkan dalam penjara sekalipun ia dapat merasakan kebebasan dibandingkan dengan pemuda Amerika yang menjadi buruh bagi aktivitas produksi pasar yang “dikekang” dan diambil haknya oleh karena nilai lebih.
Terakhir, yang terpenting mengenai pemikiran Eko-Theology Thoreau dalam Walden yakni pencerahan spiritual yang menekankan bahwa manusia merupakan bagian dari alam, alam sebagai refleksi dari perasaan manusia, dan negara sebagai konsep yang korup dan tidak adil. Bahwa fenomena urbanisasi dapat merusak alam melalui bergesernya pola struktur sosial masyarakat pedesaan yang tadinya berfokus pada kegiatan agraris kemudian menuju pola aktivitas pasar yang kebanyakan menggunakan teknologi mesin yang terkadang tidak ramah akan manusia dalam hal ini pekerja atau buruh dan alam itu sendiri.
“"However mean your life is, meet it and live it; do not shun it and call it hard names. It is not so bad as you are. It looks poorest when you are richest. The fault-finder will find faults even in paradise. Love your life, poor as it is. You may perhaps have some pleasant, thrilling, glorious hours, even in a poor-house". (hlm. 267)
“Rather than love, than money, than fame, give me truth”. (hlm. 269) –Henry David Thoreau.
Daftar Rujukan:
1 Tjiptoherijante, P. (1999). Urbanisasi dan pengembangan kota di Indonesia. Populasi, 10. ISSN: 0853-0262.
2 Harahap, F. R. (2013). Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota di Indonesia. Jurnal Society, Vol. 1, No. 1.
3 Gilbert, A., & Gugler, J. (1996). Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. Tiara Wacana Yogya.
4 Walls, L. D. (2018). Henry David Thoreau: A Life. University of Chicago Press.
5 James, W. (1987). The Religion of Healthy-Mindedness. Lectures IV and V from The Varieties of Human Experience: A Study in Human Nature.
6 Thoreau, H. D., & Carradine, J. (1964). Walden. Houghton Mifflin.
7 Emerson, R. W. (2013). from Nature. In Writing New England (pp. 36-48). Harvard University Press.
8 Fink, S. (1986). Building America: Henry Thoreau and the American Home. Prospects, 11, 326-365.
Komentar
Posting Komentar