Ecotheology Jalaluddin Rumi
Oleh : Ardyansyah Saputra Basri
Kaitan Agama dan Lingkungan
Kerangka dasar kaitan agama dan lingkungan (Roger Gottlieb dalam This Sacred Earth: Religion Nature, Environment):
1. Agama menyatakan bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk memahami alam dalam kerangka kerja yang dapat dipahami secara manusiawi;
2. Agama menyatakan bahwa alam dipahami dengan cara menghubungkan manusia dengan nilai-nilai dasar keberadaan mereka;
3. Meskipun agama memandang dan menafsirkan alam dengan cara berbeda, terkadang manusia memanfaatkan pemahaman agama tentang dunia untuk mengembalikan kesadaran ekologis sebagai kebutuhan untuk merumuskan hubungan masa depan dari manusia dan bumi yang layak dan berkelanjutan.
Rumi dan Pandangannya
Menurut Rumi, manusia harus kembali pada pandangan religius terhadap alam. Jika manusia berhubungan kembali dengan sang Pencipta, maka pandangan (antropologis) mereka tentang alam sebagai entitas yang didominasi dan dimanfaatkan secara berlebihan dapat berubah. Sehingga dengan kembali pada pandangan religius terhadap alam, maka ini merupakan alternatif terhadap pandangan sekuler tentang alam sebagai objek yang kosong dan tidak memiliki aspek metafisika (tanpa karakteristik suci).
Rumi sendiri merupakan salah satu Sufi yang lahir pada tahun 1207 di pantai Timur Kekaisaran Persia, di kota Balkh (Afganistan), dan akhirnya Rumi menetap di kota Konya (Turki).
Setidaknya terdapat 4 (empat) pemahaman sufi Rumi tentang prinsip Al-Qur’an dalam memahami human ecology:
1. Kesatuan (Union), merupakan pemahaman sufi tentang Tawhid (kesatuan Tuhan) yang memahami bahwa alam adalah tanda (ayat) keberadaan Tuhan;
Semesta dipahami sebagai wahyu, seperti ayat-ayat Al-Quran (alam adalah ayat atau tanda keberadaan Tuhan. Disini, Rumi tidak memandang adanya perbedaan antara keberadaan dunia dan keberadaan Tuhan karena Rumi memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan maka satu-satunya keberadaan adalah melalui Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, apapun yang ada, ada melalui Tuhan.
“we are non-existence, displaying the illusion of existence; You are our Absolute Being and our only existence.”, bahwa kita ciptaan tidak memiliki eksistensi, kita hanya menampilkan ilusi eksistensi (dari Tuhan); Tuhan merupakan keberadaan mutlak kita sebagai ciptaan dan satu-satunya keberadaan kami (ciptaan).
Rumi memahami Tuhan sebagai sang pencipta (al-khaliq), sebagai transenden yang tidak ada bandingannya dengan ciptaan-Nya namun juga sangat mirip dengan-Nya. Artinya bahwa Tuhan berbeda dari semua makhluk dan tidak ada bandingannya terhadap apapun di dunia atau dalam ciptaan. Sehingga dapat dibuktikan bahwa karena segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan, maka tidak ada sesuatupun yang memiliki realitas di luar realitas Tuhan.
Pada pandangan sufi tertentu, untuk segala sesuatu yang secara eksistensi sebelum ada diketahui oleh Tuhan, hal itu merupakan esensi yang hadir dalam pikiran Tuhan sebelum menciptakan. Para Sufi menyebutnya sebagai ide-ide Allah, atau Al-A’yan al-Thabita.
Al-A’yan al-Thabita merupakan realitas laten, atau esensi dari hal-hal. Konsepsi Al-A’yan al-Thabita hadir dari penegasan Al-Qur’an bahwa Allah maha mengetahui realitas hal-hal sebelum Allah membawanya ke dalam keberadaan (eksistensi).
Dalam hadits qudsi dijelaskan bahwa Tuhan menyampaikan, “Aku adalah harta karun yang tersembunyi; Jadi Aku suka dikenal, oleh karena itu Aku menciptakan makhluk agar dapat dikenal.”, hadits ini kemudian dimaknai oleh Rumi menjadi:
“Sekarang Tuhan yang MahaTinggi tidak memiliki yang berlawanan. Dia berkata, ‘Aku adalah harta karun yang tersembunyi, yang ingin dikenal’. Maka Tuhan menciptakan dunia ini, yang berasal dari kegelapan, agar terang-Nya menjadi nyata”
Melalui terang ini, kita sebagai ciptaan dapat melihat kebenaran sejati bahwa segala sesuatu serupa/mirip (tashbih) dengan Ilahi, karena mereka mendapatkan semua realitas dari Allah. Sehingga segala hal yang diciptakan oleh Tuhan, merupakan manifestasi, pengungkapan diri, dari Tuhan (tajalli), sebagaimana halnya Al-Qur’an.
2. Persatuan (Unity) -the telos for all of creation; tujuan penciptaan-, yang berarti bahwa semua ciptaan memiliki tujuan eksistensialnya sendiri yang mengarah pada persatuan dengan Tuhan;
Rumi memiliki pandangan tentang dunia yaitu bahwa segala hal yang diciptakan memiliki tujuan tertentu, dan tidak ada materi tak bernyawa dalam proses kehidupan di bumi.
“Earth, and water, fire and air are alive in the view of God, though they apper to be dead to us. So, never think the earth void or dead; it is aware, it is awake and it is quivering.”
Rumi membayangkan alam semesta benar-benar saling berhubungan. Ia memandang alam sebagai suatu moral karena alam bergantung pada Rahmat dan belas kasih Allah yang hidup. Singkatnya, Rumi memandang alam semesta sebagai Muslim yang juga harus kembali mengalami persatuan dengan Satu Pencipta (Tuhan) -the telos for all of creation-
Rumi menunjukkan the telos for all of creation ini dalam puisinya bahwa segala sesuatu memiliki kerinduan untuk kembali pada sumber dari mana ia datang.
“Water says to the dirty, “come here”. the dirty one says, “I am so ashamed”. water says, “how will your shame be washed away without me?” -Rumi, Mathnawi II: 1366-67.
“Dirty” atau hal yang kotor ini digambarkan sebagai simbol bagi jiwa, dan “water” digambarkan sebagai Tuhan. Selanjutnya jiwa yang kosong ini dipenuhi oleh roh Ilahi; penggambaran proses jiwa yang kembali kepada Tuhan.
3. Ilmu (Knowledge),
Dalam mendefinisikan kualitas suci alam, manusia memerlukan pemikiran kritis dengan mengandalkan pengetahuan dan inderanya. Di sini, Rumi berusaha memperbaiki bentuk pengetahuan internal karena ia memandang bahwa pengetahuan merupakan visi spiritual yang menawarkan kemampuan kepada manusia untuk mamahami Makhluk Abadi dan tidak terlihat.
Rumi membagi dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan batin dan pengetahuan duniawi. Pengetahuan batin dapat diperoleh setelah melalui realisasi spiritual (‘ilm-i-Tahqiq), ekspresi dari pengetahuan tentang keberadaan Kekal, atau Tuhan. Sebaliknya, pengetahuan duniawi dilihat Rumi sebagai penghambat di jalan menuju pengetahuan Ilahi.
Untuk mencapai kepuasan spiritual, Rumi berfokus pada cara alternatif yaitu dengan belajar dan memahami (aktivitas berpengetahuan). Dan menurut Rumi, terdapat dua jenis pengetahuan (‘ilm) dari cara mendapatkannya yakni mutaqllid (‘ilm-i taqlidi) dan mutaqqiq.
Jenis pengetahuan yang pertama yaitu mutaqllid (orang yang meniru) adalah orang yang menyampaikan pengetahuan peniru (‘ilm-i taqlidi) yaitu pengetahuan orang lain. Ini merupakan pengetahuan yang diperoleh dari luar, pengetahuan yang dipelajari dari sumber-sumber referensi dan literatur. Pada pengetahuan ini, kita diperintah oleh kepintaran kita -kecerdasan tanpa iman, tidak ada kasih Allah, tidak ada pengekangan batin atau dosa karena tidak ada moralitas batin-. Oleh karenanya jenis pengetahuan ini disebut sebagai mutaqllid (orang yang meniru) karena pengetahuan ini didapatkan dengan diwariskan dari generasi ke generasi, seperti ilmu alam. Manusia yang hanya bergantung pada jenis pengetahuan ini tidak akan memahami makna batin dari bentuk di mana pengetahuan berasal.
Jenis pengetahuan kedua adalah mutaqqiq (orang yang menyadari Kebenaran), diperoleh dari dalam diri yang merupakan pengetahuan internal yang dilestarikan dalam diri manusia sejak Tuhan menciptakannya.
4. Insan Al Kamil (Perfect Human), konsep manusia sempurna dan pentingnya berusaha untuk menjadi makhluk ini; Khalifah di bumi -menjaga keharmonisan antara manusia, Tuhan, dan alam-.
Manusia memiliki peran penting dalam mengkomunikasikan pengetahuan Tuhan (prinsip Tauhid) ke seluruh dunia. Di sini, Rumi memandang bahwa terdapat dua jens manusia yaitu makhluk yang lebih rendah dan makhluk yang lebih tinggi.
Pertama, makhluk yang lebih rendah, berasimilasi dari semua bentuk kebinatangan eksistensi dirinya. Menurut Rumi, manusia yang mematuhi diri hewannya pada dasarnya menjalani kehidupan seorang budak, terus-menerus menjalani kehidupan yang bertentangan dengan esensi dari keberadaan mereka.
Kedua, makhluk yang lebih tinggi, adalah percikan Ilahi dalam diri manusia, melampaui pengetahuan sensual, menuju pengetahuan ilahi. Seseorang yang tenggelam dalam pengetahuan Ilahi menjadikan ia sebagai manusia sempurna untuk mencapai dunia spiritual dan material.
Sehingga Rumi memahami bahwa ketika manusia sampai pada insan al-kamil, kehendak mereka sendiri akan dihapuskan dalam kehendak Tuhan, dan dengan demikian, telah mencapai Tuhan -the telos for all of creation-. Jika seseorang menghancurkan keinginan dan kehendak manusia mereka, maka ia menjadi manusia yang sempurna, dan hal ini hanya dapat dicapai ketika manusia berasimilasi ke dalam Tuhan.
Perlu ditekankan bahwa kehendak seseorang yang dimusnahkan dan melebur ke dalam kehendak Tuhan, tidak kehilangan individualitas mereka. Jadi, ketika Rumi membahas menjadi dimusnahkan ke dalam Tuhan ini tidak berarti bahwa mereka benar-benar kehilangan siapa mereka sebagai pribadi. Artinya adalah mereka menjalani hidup mereka sesuai dengan kehendak Tuhan. Juga, itu tidak berarti bahwa seseorang menjadi benar-benar askertik dan mengabaikan diri atau kehidupan duniawi mereka. Rumi menentang bentuk-bentuk asceticism dan isolasi yang intens dari masyarakat.
Inti Pemikiran Rumi mengenai Ecotheology
1) Rumi membedakan antara kualitas transenden dan imanen Allah. Dalam Al-Qur’an, tauhid menyatakan bahwa Allah adalah satu, pada saat yang sama ciptaan atau dunia adalah jamak atau banyak.
2) Dalam doktrin teologis Islam, dunia atau alam dilihat sebagai keseluruhan yang saling berkaitan, namun unik beragam, sehingga pendekatan yang digunakan adalah wahdat al-wujud (doktrin kesatuan menjadi / unity being doctrine). Rumi memahami bahwa eksistensi adalah satu, tetapi ditampilkan sebagai banyak ekspresi yang terpisah.
3) Prinsip Rumi bermakna bahwa ciptaan merupakan manifestasi dari Tuhan. Esensi Tuhan (dzat) diketahui melalui ciptaan-Nya.
4) Rumi melihat hubungan intrinsik antara manusia dan tujuan eksistensial lingkungan yang digambarkan melalui puisinya.
5) Rumi menyatakan bahwa semua makhluk hidup adalah bagian dari proses evolusi yang pada akhirnya akan menjadi satu dengan Tuhan -the telos for all of the creation-. Meskipun seringkali manusia melupakan relasi mereka dengan alam karena bergantung pada jenis pengetahuan mutaqllid, indera duniawi manusia, dan gagasan bahwa agama tidak lagi memiliki potensi sebagai cara manusia memahami karakteristik suci alam. Sehingga memahami dunia dengan Tuhan di dalamnya menjadi terlupakan. Oleh karena itu, dampaknya, tempat Tuhan dalam proses alam menjadi hilang, dan pandangan sekuler tentang dunia menggantikan pengetahuan suci Ilahi.
Sumber Rujukan:
Ecotheology Jalaluddin Rumi dan Seyyed Hossein Nasr. 2021. Gerardette Philips. JPIC OFM Indonesia
Komentar
Posting Komentar