Langsung ke konten utama

Perihal Kebahagiaan Manusia; Bagaimana Filsafat Aristoteles Memandangnya?

Kualitas Menurut Aristoteles Halaman 1 - Kompasiana.com

Perihal Kebahagiaan Manusia; Bagaimana Filsafat Aristoteles Memandangnya?

Oleh: Ardyansyah Saputra Basri

    Manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia akan mengejar suatu tujuan (arete) dan mencari sesuatu hal yang dinilai baik. Mengenai hal ini, Aristoteles kemudian mengajukan pertanyaan, apakah terdapat tujuan tertinggi  yang dikejar dan dicari manusia untuk dirinya sendiri, di mana semua tujuan-tujuan mengarah pada tujuan tertinggi?. Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi atau tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).

    Eudaimonia berasal dari kata Yunani Kuno yaitu eu yang berarti baik, dan daimon yang berarti roh atau jiwa. Eudaimonia adalah kebaikan yang dikejar untuk kebaikan itu sendiri daripada untuk sesuatu yang lain. Atau berarti bahwa kebahagiaan jangka panjang dalam hidup yang bermakna.

    Kebahagiaan atau eudaimonia disini mengandung ciri kesempurnaan dan mempunyai jiwa (daimon) yang baik. Kebahagiaan dicapai melalui kebajikan atau keutamaan (arete/virtue). Kebajikan atau keutamaan ini ditinjau dari segi eksistensi dan esensinya, yang berarti memiliki tujuan praktis (cabang filsafat etika) yang merupakan aktivitas (aktus) dan bukan sekedar potensi, sebab setiap manusia akan memiliki pandangan subjektifnya masing-masing dalam memaknai kebahagiaan. 

    Kesempurnaan yang dimiliki manusia berupa rasio atau kemampuan berpikir untuk memandang kebenaran (theoria/contemplation). Manusia bisa disebut bahagia apabila secara konsisten dan stabil mampu menjalankan pemikiran dan keutamaan secara serentak dalam jangka panjang.

    Aristoteles selanjutnya menegaskan, agar manusia memiliki keutamaan, maka tidak cukup apabila hanya mengetahui apa yang baik sebagaimana diajarkan Sokrates dan Plato. Sokrates sendiri beranggapan bahwa manusia pada dasarnya menginginkan eudaimonia lebih dari apapun, dan hal ini dapat dicapai dengan menjalankan kebajikan (atau yang sifatnya melihat ke dalam diri) seperti pengendalian diri, keadilan, kesalehan, dll. Hal-hal yang sifatnya di luar diri manusia seperti kekayaan material, kehormatan, dll menurut Sokrates tidak dapat dicapai. 

    Sedangkan menurut Plato, bahwa lingkungan tempat tinggal yang sangat mempengaruhi hidup manusia. Untuk dapat mencapai eudamonia maka manusia mesti hidup atau tinggal dalam negara yang baik. Dimana dalam mencapai kebaikan yang berkorelasi dalam pencapaian eudamonia manusia, maka masyarakat dalam negara harus memiliki empat sikap yakni: 1) Kebijaksanaan; 2) Keberanian; 3) Sikap tahu diri; dan 4) Keadilan. Plato berpendapat bahwa kebajikan manusia erat kaitannya dengan jiwa. Manusia yang bajik akan memiliki jiwa yang teratur dan harmonis (semua bagian nafsu, emosi, dan rasio bekerja dengan baik untuk kepentingan manusia tersebut).

    Kembali ke Aristoteles, manusia yang memiliki eudaimonia akan memiliki karakter yang baik karena menggunakan rasionya untuk melakukan aktivitas intelektual dan tindakan moral. Disini, rasio atau akal budi berperan penting dalam mencapai kebahagiaan hidup manusia karena akan membentuk dua pola kehidupan manusia, yakni: 1) Theoria, perenungan realitas secara mendalam; dan 2) Praxis, menjelaskan kebahagiaan dalam relasi antar-manusia.

    Rasio atau kemampuan berpikir manusia ini terwujud dalam intelektualitas manusia, dan hal ini mesti diaktualkan. Karena kebahagiaan dicapai melalui kebajikan atau keutamaan (arete/virtue), keutamaan sendiri menurut Aristoteles ada dua jenisnya, yaitu: 1) Keutamaan moral; dan 2) Keutamaan intelektual.

    Keutamaan moral berarti watak yang memungkinkan manusia memilih jalan tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan. Dengan kata lain, keutamaan merupakan jalan tengah antara kelebihan dan kekurangan. Keutamaan harus mempunyai ciri murah hati, berani, dan gagah. Hal ini menunjukkan bahwa Aristoteles mengikuti alam pikiran Yunani, yaitu keselarasan dan keseimbangan. Jalan tengah tidak dapat ditentukan secara umum, harus disesuaikan kepada setiap orang. Sebagaimana ditegaskan Aristoteles, rasio mempunyai peranan menentukan jalan tengah dan mengaktualisasikannya (persoalan Praxis). Karena hidup berdasarkan keutamaan tidak hanya mengacu pada persoalan Theoria.     

    Sedangkan keutamaan intelektual berarti bahwa manusia memiliki dua fungsi, yakni 1) Mengenal kebenaran (rasio theoria); dan 2) Memberikan petunjuk ketika seseorang membuat keputusan (rasio praxis). Terkait hal ini, Aristoteles membedakan dua macam keutamaan yang mampu menyempurnakan rasio. Pertama, kebijaksanaan teoretis atau kearifan (sophia) yang dilihat Aristoteles sebagai sikap konsisten. Terkait hal ini, jalan menuju kebijaksanaan teoretis merupakan jalan panjang yang mencakup pendidikan ilmiah.

    Kedua, kebijaksanaan praktis (phronésis/prudentia/prudence) adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia memutuskan benda-benda konkret yang dianggap baik untuk hidupnya. Oleh karena itu, kebijaksanaan praktis tidak terlepas dari keutamaan moral. Karena kebijaksanaan praktis harus menunjukkan jalan tengah. Dengan demikian, keutamaan moral yang sejati selalu disertai kebijaksanaan praktis. Aristoteles menegaskan bahwa unsur terpenting supaya manusia mencapai kebahagiaan adalah memandang kebenaran.

    Aristoteles kemudian menegaskan bahwa cara untuk sampai pada eudaimonia adalah dengan menghidupi tujuan (arete) manusia atau kodrat sampai paling maksimal yang terwujud melalui keutamaan moral dan keutamaan intelektual atau manusia harus memiliki karakter yang baik dan melakukan aktivitas yang rasional. Memiliki karakter yang baik harus diaktualkan secara nyata dengan aktivitas-aktivitas rasional untuk mencapai kebaikan. Oleh karenanya, karakter yang baik dan aktivitas rasional harus berjalan beriringan.

 

Sumber Rujukan:

Kraut, R. (2001). Aristotle’s Ethics.

Moran, J. (2018). Aristotle on Eudaimonia (‘Happiness’). Think, 17(48), 91-99.

Yohanes Wahyu Prasetyo. 2020. Tujuan Hidup Manusia Menurut Aristoteles. Diakses melalui website JPIC OFM Indonesia, https://jpicofmindonesia.org/2020/09/tujuan-hidup-manusia-menurut-aristoteles/

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan