Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis
Oleh: Ardyansyah Saputra Basri
Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan.
Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yang berkuliah di Makassar ketika menjelang ramadhan hari pertama melakukan perjalanan kembali ke kampung halaman, di Polewali Mandar, hanya untuk menjawab pertanyaan dengan siapa mesti bersahur.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa ibadah puasa yang setidaknya sudah diatur dalam ketetapan Allah SWT sebagai suatu hal yang wajib, masih menimbulkan tanda tanya. Sekiranya sebagai makhluk yang berpikir, menurut Aristoteles, kita sebagai manusia mempunyai hasrat keingintahuan. Hasrat tersebutlah yang kemudian mendorong kita untuk berfilsafat, ingin mengetahui hakikat dari segala sesuatu, dan pada akhirnya rasa keingintahuan akan terus menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar.
Dalam kajian filsafat, pertanyaan manusia seperti bagaimana kita mengetahui sesuatu mendorong lahirnya epistemologi. Kata epistemologi secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Jadi secara terminologi (istilah), epistemologi mempelajari tentang hakikat dan dasar dari pengetahuan. Di lain sisi, sebagai manusia yang menjalani kehidupan di dunia, kita cenderung mengejar suatu tujuan dan mencari sesuatu yang dianggap baik atau benar, sehingga membuat manusia ingin mengetahui bagaimana cara mendapatkannya. Dorongan tersebut memunculkan pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang berpusat pada: 1) apa itu pengetahuan?; 2) bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan?; 3) apakah mungkin bagi kita untuk memperoleh pengetahuan?; 4) apa bentuk-bentuk dari pengetahuan tersebut?.
Jika dikaitkan pada ibadah puasa, menurut hemat saya, pertanyaan sebelumnya mengenai ritual sahur sekiranya tidak hanya menyangkut pada persoalan hasrat saya untuk mendapatkan jawaban atas hakikat berpuasa atau pertanyaan tentang “apa”, terlebih jika hanya jawaban mengenai hukum berpuasa. Jauh melampaui hal tersebut, sekiranya pertanyaan tadi telah sampai pada “bagaimana”.
Pertanyaan epistemologis mengenai puasa ini yang melampaui jawaban-jawaban ontologis yang secara tekstual bisa saya dapatkan dari terjemahan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan puasa yakni al-Baqarah ayat 183:
Berdasarkan terjemahan ayat di atas, muncul kemudian pertanyaan tujuan akhir dari bertakwa yang seperti apa yang ingin dicapai oleh manusia?. Puasa sendiri dalam rukun islam merupakan bagian kedua yang dilaksanakan oleh umat Islam. Ibadah puasa pada perjalanannya pun tidak hanya ada di masa Rasulullah Muhammad SAW., tetapi juga terdapat pada masa Nabi Musa As. yang dari keduanya berakhir pada tujuan merefleksikan diri dari kesalahan yang pernah dilakukan serta upaya menahan diri agar tercegah dari kesalahan yang serupa.
Ayat QS al-Baqarah ayat 183 diakhiri dengan kalimat “agar kalian bertakwa” (la’allakum tattaqun). Kalimat ini bermuara pada harapan dan juga kepastian bagi setiap manusia yang melaksanakan puasa agar dapat melakukan tindakan pencegahan sekaligus perlindungan diri dari hasrat keingintahuan yang sebenarnya beririsan dengan nafsu manusia. Sehingga sebagai manusia kita diharapkan dapat memanfaatkan momentum ibadah puasa untuk: 1) sebagai sarana untuk mengarahkan kita pada kebaikan; 2) membentuk karakteristik jiwa yang cenderung pada kebaikan; dan 3) serta medium latihan untuk menjadi manusia yang paripurna (manusia sebagai insan kamil).
Daftar Rujukan:
Andy, S. (2018). Hakikat Puasa Ramadhan dalam Perspektif Tasawuf (Tafsir QS Al-Baqarah: 183). Ibn Abbas, 1(1), 273865.
Aristoteles. 2020. Metafisika. Terjemahan Dedeh Sri Handayani. Yogyakarta: Basabasi
Hamka. 2005. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Gema Insani, Jilid I, Cetakan I.
Hariyanto, Muhsin. Falsafah Puasa. Diakses melalui: http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/3786
Komentar
Posting Komentar