Perubahan yang Bermakna Dengan Pembangunan Pengetahuan dan Sikap Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja
Perubahan yang Bermakna Dengan Pembangunan Pengetahuan dan Sikap Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja
Oleh : Dyaul Mu'sinat
Remaja merupakan tongkat estafet dalam pembangunan sebuah bangsa yang dituntut untuk menjadi penerus bangsa yang cerdas, kreatif, serta inovatif. Remaja adalah masa peralihan seorang manusia dari usia anak-anak menuju dewasa. Sehingga identik dengan rasa ingin tahu yang besar akan banyak hal. Ibarat mata pisau, rasa ingin tahu yang besar akan berubah menjadi peluang bagi bangsa ketika hal tersebut digunakan untuk menambah ilmu pengetahuan dalam peningkatan soft skill, namun hal tersebut akan menjadi ancaman dan musibah bagi suatu bangsa ketika digunakan ke dalam hal yang negatif seperti seks bebas, narkotika, dan hal negatif lainnya. Aden R (2010: 13 & 38) mengatakan bahwa: remaja, seiring dengan perkembangannya mulai bereksplorasi dengan diri, nilai-nilai identitas peran dan perilakunya. Remaja mempunyai karakteristik tersendiri terkait pubertas dan seksualitas. Beberapa penelitian terkait dengan kehidupan remaja Indonesia pada pada umumnya menyimpulkan nilai-nilai hidup remaja sedang dalam proses perubahan, yaitu adanya kecenderungan untuk bertoleransi terhadap gaya hidup seksual prnikah (Suryoputro dkk dalam Tukiran, 2010: 244). Sehingga kesehatan reproduksi sangat penting untuk diketahui serta harus mendapatkan perhatian dan masukan yang dapat membangun perkembangan jiwanya.
Kesehatan reproduksi, pendidikan, serta kolaborasi gender merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam mencapai segala bentuk indikator keberhasilan pada masing-masing bidang. Berangkat dari definisi sehat dari World Health Organization yang mengatakan bahwa sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, sehingga kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan yang berhubungan dengan reproduksi baik itu fungsi maupun prosesnya.
Reproduksi memiliki dua aspek yaitu seks dan seksualitas. Seks dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda. Seks adalah sebuah konsep tentang pembedaan jenis kelamin manusia berdasarkan faktor-faktor biologis, hormonal, dan patologis. Seksualitas adalah sebuah proses sosial budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Saat ini, kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat krusial dengan adanya beberapa goals yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dalam program global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Di Indonesia sendiri, sebagai bangsa multi budaya dengan prinsip moralitas dan agama yang tetap dipertahankan dalam kehidupan bermasyarakat, turut andil dalam mengatasi permasalahan-permasalahan terkait kesehatan reproduksi remaja dengan berlomba merealisasikan program kerjanya. Faktanya, ketika berbicara terkait kesehatan reproduksi kepada masyarakat masih sangat tabuh dan bahkan dianggap sebagai hal yang menjijikkan untuk dipelajari. Hal ini berpengaruh terhadap pola perkembangan remaja, khususnya dalam kesehatan reproduksi remaja (KRR).
Permasalahan KRR di Indonesia mengalami perubahan akibat pengaruh perkembangan dunia barat atau westernization. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2012 menunjukkan bahwa satu persen remaja perempuan dan delapan persen remaja laki-laki melakukan hubungan seksual di luar nikah. Sementara itu, 2,5 juta aborsi terjadi setiap tahunnya dengan proporsi 21,2 persen dilakukan oleh remaja. Menurut United Nations Development Economic an Social Affairs tahun 2010, Indonesia termasuk negara ke-37 dengan persentase pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pernikahan usia muda berisiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan reproduksi.
Kehamilan remaja sangat berdampak negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, juga dapat berdampak sosial dan ekonomi. Kehamilan pada usia remaja antara lain berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), pendarahan persalinan, yang dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi. Persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 mendapatkan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan usia 20-39 tahun. Risiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, seperti tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, pemahaman terkait kesehatan reproduksi yang minim dan dianggap tabuh, pola hidup yang kurang sehat serta pengaruh media massa sehingga membuat mudahnya mengakses informasi dari luar tanpa adanya penyaringan informasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat diperlukan kesadaran dan strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang sesuai dengan kebutuhan remaja dan perkembangan lingkungan sosial, budaya, dan agama setempat. Program KRR di Indonesia diaplikasikan dalam bentuk Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) oleh Kemenkes dan Pusat Informasi Komunikasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN). Kedua program tersebut dicanangkan masing-masing pada tahun 2007 dan 2009 sebagai upaya untuk menyediakan pendidikan KRR untuk mewujudkan generasi yang sehat dan produktif dengan berbagai strategi dan metode pendidikan kesehatan.
Menurut Azwar (2005) bahwa faktor pendidikan juga ikut memengaruhi pembentukan sikap seseorang. Peningkatan pengetahuan setelah kegiatan penyuluhan yang merupakan bagian dari PKPR sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo 2007, bahwa pengetahuan seseorang salah satunya dipengaruhi oleh informasi yang tersedia baik dari pendidikan formal maupun non-formal (Notoatmodjo, 2007). Kegiatan PKPR berupa penyuluhan dan pembinaan kader sendiri merupakan salah satu kegiatan dalam pemberian informasi dan pendidikan kesehatan bagi remaja yang membutuhkan serta bermanfaat menambah wawasan tentang kesehatan remaja.
Salah satu karakteristik PKPR adalah adanya partisipasi atau keterlibatan remaja. Remaja perlu dilibatkan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pelayanan. Ide dan tindak nyata mereka akan lebih mengena dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan karena mereka mengerti kebutuhan mereka sendiri, mengerti “bahasa” mereka, serta mengerti bagaimana memotivasi sebaya mereka.Namun pelaksanaan atau implementasi PKPR belum memenuhi kriteria pelayanan remaja seperti yang ditetapkan karena belum cukupnya dukungan dana, sarana prasarana, tenaga serta belum maksimalnya sosialisasi PKPR kepada remaja (Kenti et al, 2013) Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan hanya 25,1 persen remaja Indonesia yang mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi dengan komposisi 32,2 persen di wilayah urban dan 7,3 persen remaja di wilayah rural. Di lain pihak, diskusi tentang KRR sangat terbatas, terutama dalam syariah Islam sebagai agama yang mayoritas dianut di Indonesia.
Maka dari itu selain mendukung secara penuh program pelayanan yang telah disediakan oleh pihak pemerintah, juga perlu adanya kesadaran masing-masing individu di dalam melakukan upaya preventif terhadap masalah kesehatan reproduksi. Sebagai kaum intelektual khususnya kohati, pemikiran wanita dibutuhkan untuk memperkaya sudut padang dalam sains, mendorong inovasi untuk mengatasi masalah perempuan, serta mencegah munculnya pandangan sains yang bias gender (Utomo, 2016). Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam meminimalisir masalah-masalah kesehatan reproduksi:
a. Menanamkan budaya Detect, Reject, Report
Kesadaran dalam diri sendiri harus segera dibentuk sebagai sikap insecure terhadap diri kita sendiri. Sejak dini, kita harus bisa mendeteksi hal-hal apa saja yang berpotensi atau gejala yang menimbulkan masalah-masalah kesehatan reproduksi, sehingga kita bisa mengambil sikap untuk menolak secara tanggap, dan berani mengambil sikap untuk melapor ke orang yang lebih tua untuk diberikan saran dan tindak lanjut.
b. Senantiasa menjauhi perbuatan atau hal-hal yang bisa menimbulkan zina
Dalam Al Quran memang tidak dikatakan secara langsung untuk tidak melakukan hubungan pacaran, tetapi dalam QS. Al Isra’ ayat 32 dengan tegas melarang untuk medekati zina karena zina merupakan suatu jalan yang buruk. Namun untuk menjauhi zina dengan nikah usia muda merupakan bukan solutif karena banyaknya dampak yang akan ditimbulkan. Alangkah lebih baiknya, usia muda diisi dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan produktif seperti dengan aktif dalam kegiatan kampus, UKM, dan mengukir prestasi sebanyak mungkin.
c. Mengenal jauh lebih dalam tentang Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR)
Hak Kesehatan Seksual Reproduksi merupakan hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Dengan memahami apa saja yang menjadi hak kesehatan dan hak reproduksi kita, kita bisa dengan tegas mengambil sikap terhadap apa yang kita miliki dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
d. Sering melakukan sharing
Berbagi cerita ke orang lain melakukan hal yang harus dilakukan ketika menghadapi sebuah masalah untuk mengurangi tekanan mental yang dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan lainnnya. Selain itu dengan melakukan banyak sharing, kita bisa berbagi pengetahuan dengan orang lain terkait masalah kesehatan reproduksi. Dengan harapan orang tersebut juga menyebarkan pengetahuan tersebut dengan orang lain.
Oleh karena itu, pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu memandang seksualitas secara komprehensif, yaitu mengakui berbagai dimensi mengenai seksualitas yang dihadapi remaja yang dapat mempengaruhi keputusan remaja menjalani seks beresiko atau tidak. Adanya dorongan seksual, kenikmatan seksual, relasi gender, ajaran agama dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, dan resiko sosial perlu didiskusikan pada remajaberdasarkan pengalaman yang dijalani mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Aden R. 2006. Ketika Remaja dan Pebertas Tiba. Yogyakarta : Hanggar Kreato
Azwar, Saefuddin, 2005. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DK. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan; 2013.
Depkes, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Pedoman Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Puskesmas. Jakarta. Depkes RI. 2005
Diarsvitri W, Utomo ID, Neeman T, Oktavian A. Beyond sexual desire and curiosity: sexuality among senior high school students in Papua and West Papua Provinces (Indonesia) and implications for HIV prevention. Cult Health Sex. 2011;13(9):1047–60.
Henderson, Christine. (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC
Hurlock, E. 2007. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kiswati K. Evaluasi Pelaksanaan Manajemen Program (PIK-KRR) PusatInformasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Penyuluh Keluarga Berencana di Kabupaten Jember Tahun 2011. KISMA. 2012;8(1).
Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta.
Rohmayanti et al., 2015. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja Menurut Perspektif Remaja di Kota Magelang. Jurnal Kesehatan Reproduksi. 2015;2(1):12-20
Susanto T. Pengaruh terapi keperawatan keluarga terhadap tingkat kemadirian keluarga dengan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja di Kelurahan Ratujaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. J Keperawatan. 2010;1(2):190–8.
Tukiran dkk. 2010. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
Utomo I, McDonald P. Adolescent reproductive health in Indonesia: contested values and policy inaction. Stud Fam Plann. 2009;40(2):133–46.
World Health Organization. Making Health Services Adolescent Friendly. Developing National Quality Standards For Adolescent Friendly Health Services. Switzerland. Department of Maternal, Newborn, Child and Adolescent Health. Available from: http:/ /who.int/childadolescent-health. 2012.
Komentar
Posting Komentar