Langsung ke konten utama

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen. Bill of Rights, konsumerisme, bermacam-macam, teks,  layanan png | PNGWing 

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Oleh : Muh. Iqran Al Muktadir

    Pembangunan perekonomian dan perkembangan dalam perekonomian dibidang perindustrian dan juga perdagangan di Indonesia telah menciptakan berbagai varian barang dan/atau jasa yang bisa dikonsumsi oleh setiap orang. Kemajuan teknologi menimbulkan perubahan yang cukup cepat dan sangat signifikan pada makanan, industri farmasi, komestika, alat kesehatan dan obat asli Indonesia.

    Pada dasarnya manusia hidup membutuhkan pangan, sandang, dan juga papan. Ketiga unsur ini merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Pasal 1 angka 1 di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pangan merupakan segala sesuatu yang umumnya berasal dari suatu sumber hayati baik dari produk dalam pertanian, dalam perkebunan, dalam kehutanan, dalam perikanan, dalam peternakan, dalam perairan, dan di dalam air, baik segala pangan yang dapat diolah maupun pangan yang tidak dapat diolah yang dapat diperuntukkan dan ditujukan sebagai makanan atau minuman yang dapat dikonsumsi manusia, termasuk juga bahan-bahan yang dapat dijadikan tambahan pangan, bahan-bahan yang dapat dijadikan bahan-bahan baku pangan, dan bahan- bahan lainnya yang nantinya dapat digunakan dalam suatu proses untuk penyiapan, pengolahan, dan/atau juga pembuatan terhadap, makanan dan minuman.

    Pangan termasuk kedalam kebutuhan yang sangat dasar dan yang penting serta yang sangat menjadi kebutuhan esensial didalam suatu kehidupan setiap manusia disamping akan dua kebutuhan dasar lainnya yaitu sandang dan papan. Pangan dapat dikatakan sebagai salah satu dari kebutuhan primer yang menjadi hal yang sangat penting untuk dikonsumsi oleh setiap orang setiap hari untuk melangsungkan kehidupannya.

    Peredaran pangan harus selalu sesuai dengan segala standar keamanan dan mutu pangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban pelaku usaha yang harus memproduksi produk pangannya telah memenuhi standar. Namun, karena beberapa faktor, salah satunya yakni  persaingan usaha yang ketat banyak pelaku usaha yang dalam memproduksi pangannya tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan dan tidak memperdulikan keselamatan dari konsumen. Salah satu contohnya masih ditemukan pangan yang mengandung bakteri e-coli dan koliform.

    Keamanan pangan adalah sesuatu yang penting untuk menjadi perhatian dan syarat mutlak harus dipenuhi oleh produsen makanan agar produk yang akan diedarkan aman untuk dikonsumsi masyarakat. Definisi Perlindungan konsumen itu sendiri telah diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 UUPK yang menyatakan bahwa perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

    Setiap orang baik pada suatu waktu dan dalam posisi tunggal/sendiri ataupun berkelompok dan bersama-sama dengan orang lain serta dalam keadaan apapun itu pasti akan menjadi Konsumen Untuk mengkonsumsi suatu produk barang atau jasa tertentu. 

    Perlindungan konsumen yang dijamin oleh UUPK adalah suatu kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan yang didapatkan oleh konsumen, yang dapat bermula dari segumpal benih hidup dalam sebuah rahim sampai dengan tempat konsumen itu meninggal yaitu pemakaman dan segala kebutuhan yang terjadi diantara keduanya.

    Kepastian hukum itu umumnya meliputi segala daya dan upaya manusia berdasarkan kepada hukum untuk selalu memberdayakan konsumen untuk memperoleh atau menentukan pilihannya dalam kepastian atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan dan juga untuk membela hak-haknya apabila konsumen tersebut dirugikan oleh perilaku pelaku usaha yang merupakan penyedia  kebutuhan konsumen tersebut.

    Peredaran makanan yang terdapat di Indonesia menjadi salah satu aspek yang penting yang harus selalu di perhatikan oleh pemerintah Indonesia. Mengingat makanan atau pangan yang dikosumsi merupakan kebutuhan yang sangat dasar bagi manusia dan menjadi yang paling utama.

    Pemenuhan terhadap pangan merupakan bagian yang melekat bagi manusia yaitu dari hak asasi yang dimiliki oleh setiap masyarakat yang ada di Indonesia. Pangan yang ada harus senantiasa selalu tersedia secara cukup, aman dan baik, bermutu, memiliki gizi, dan juga beragam dengan harga yang dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta diharapkan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Pangan yang beredar di masyarakat harus memenuhi standar kemanan dan mutu pangan. Akan tetapi saat ini keamanan pangan yang terdapat di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya peristiwa keracunan makanan yang terjadi saat ini.

    Selain berkewajiban memenuhi standar keamanan dan mutu pangan, pelaku usaha wajib memiliki izin edar sebelum menyebarkan produk pangannya kepada masyarakat. Namun, karena beberapa faktor dimana salah satunya adalah persaingan usaha yang ketat antara pelaku usaha yang membuat pelaku usaha beriktikad tidak baik dalam memproduksi pangan. Banyak di temukan kasus diman pelaku usaha memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan yang tidak memiliki izin edar sehingga membahayakan keselamatan konsumen.

    Pelaku usaha dalam memproduksi pangan yang tidak memenuhi dan memiliki syarat keamanan keamanan dan mutu pangan tersebut tentu akan menimbulkan kerugian kepada konsumen yang mengkonsumsinya. Konsumen yang mengkonsumsi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan biasanya mengalami kerugian berupa permasalahan kesehatan setelah mengkonsumsi pangan tersebut. Karena pangan yang dikonsumsi tidak dapat dipungkiri dapat mengandung zat yang membahayakan kesehatan konsumen.

    Suatu perkembangan baru yang terdapat dalam masyarakat diseluruh dunia dewasa ini, khususnya di beberapa negara-negara maju, yaitu kini pemerintah makin meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang dialami oleh konsumen yaitu perlindungan konsumen.

    Apabila di masa-masa yang telah berlalu pihak produsen atau industriawan yang dipandang telah  sangat berjasa bagi kehidupan dan perkembangan perekonomian negara mendapat perhatian yang cukup lebih besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen telah lebih mendapat perhatian dari pemerintah sesuai dengan meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang telah melekat sejak masih di dalam kandungan.

    Pihak konsumen yang selalu dipandang sebagai pihak yang lebih lemah sangat membutuhkan dan perlu mendapatkan perlindungan hukum yang jauh lebih besar dibandingkan masa-masa yang lampau. Dalam mengatasi dan mengantisipasi produk-produk barang atau jasa yang dapat merugikan ataupun juga mencelakakan setiap konsumen yang mengkonsumsinya.

    Indonesia sebagai suatu negara yang merupakan peserta dalam perdagangan bebas telah mengintroduksi mengenai doktrin product liability dalam tata hukumnya seperti Jepang, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, dan Masyarakat Ekonomi Eropa serta negara-negara lain yang sudah lebih dahulu terbiasa menjadikan hukum sebagai alat rekayasa social untuk mencapai suatu kepastian hukum yang dipastikan berkeadilan sosial.

    Realitas dalam penegakan hukum telah menujukkan bahwa secara sadar atau tidak disadari bahwa nantinya hukum yang ada melegitimasi terhadap ketidakadilan sosial ekonomi,  misalnya struktur hukum yang ada sangat memungkinkan bagi pengusaha/produsen menindas konsumen sebagai salah satu pelaku ekonomi.

    Izin edar juga memiliki peranan penting dalam peredaran pangan di masyarakat. Fungsi dari NIE ini adalah sebagai tanda bahwa produk makanan tambahan untuk anak bayi tersebut telah melewati berbagai mekanisme persyaratan yang berlaku dan sebagai penanda bahwa produk tersebut telah aman dan layak untuk dikonsumsi dan boleh di sebarkan kepada masyarakat.

    Pada hakikatnya pelaku usaha sebelum menyebarkan produknya terlebih dahulu wajib mendaftarkan produknya kepada BPOM untuk kemudian diuji laboratorium dan uji mekanisme lainnya hingga mendapatkan NIE yang menandakan bahwa produk tersebut aman untuk diedarkan. Peredaran pangan yang tidak memenuhi dan memiliki standar keamanan dan mutu pangan yang tidak memiliki izin edar tentu memiliki dampak yang merugikan kepada konsumen yang mengkonsumsinya.

    Dampak kerugian yakni berupa aspek kesehatan yang ditanggung oleh konsumen tersebut. KUH- Perdata telah mengatur mengenai ganti kerugian. Bedasarkan Pasal 1365 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perbuatan yang dilakukan dan yang melanggar suatu hukum dan akan membawa serta menyebabkan kerugian kepada setiap orang lain maka mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti semua kerugian tersebut. Maka, pelaku usaha yang dalam memproduksi pangan yang tidak sesuai dengan standar mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan harus bertanggung jawab atas segala perbutannya. Konsumen dapat meminta suatu ganti kerugian atas penderitaan yang dideritanya karena pelaku usaha telah melanggar ketentuan yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan. Pertanggung jawaban pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan juga telah diatur didalam UUPK dan UUP.

    Produk yang ada secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu barang yang secara nyata dapat dilihat oleh seseorang dan dapat dipegang (tangible goods) oleh seseorang, baik untuk barang yang bergerak maupun barang-barang yang tidak bergerak. Akan tetapi dalam kaitan dengan masalah-masalah yang dialami dalam product liability dimana produk bukan hanya dapat berupa tangible goods akan tapi juga termasuk untuk semua produk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (misal: makanan binatang piaran dengan jenis binatang lain), tulisan (misal: peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan yang menjadi perlengkapan tetap pada rumah real estate (misal rumah).

    Produk yang ada tersebut tidak hanya semata-mata hanya suatu produk yang saat ini sudah jadi secara keseluruhan, akan tetapi juga termasuk kedalam komponen dan suku cadang dari suatu benda. Bersangkutan denˇgan masalah cacat/rusak (defect) suatu barang yang ada dalam pengertian produk yang cacat/rusak (defective product) yang menyebabkan pelaku usaha harus selalu dapat mempunyai suatu tanggung jawab, dikenal dengan tiga macam produk-produk yang caˇcat yaitu : kesalahan dari produk, kesalahan dari produk ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pertama adalah kesalahan yang selalu meliputi dari kegagalan setiap proses ketika melakukan produksi, ketika pemasangan suatu produk, dan ketika kegagalan pada suatu sarana inspeksi, apakah hal ini terjadi karena kelalaian manusia atau terjadi karena ketidakberesan pada mesin yang membuat dan yang serupa dengan itu. Sedangkan kesalahan yang kedua dari kesjadian ini adalah produk-produk yang saat ini telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang saat ini dimaksud oleh pembuat, namun terbukti bahwa barang tersebut ternyata dirassa tidak aman dalam pemakaiannya.
    Product liability ini oleh beberapa banyak ahli telah dimasukan dalam suatu sistematika yang umumnya berbeda. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa suatu product libility merupakan sebagai bagian dari suatu hukum perikatan, suatu hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum, suatu hukum terhadap kecelakaan, dan ada juga yang menyebutkannya menjadi suatu hal yang sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum konsumen. Terdapat pandangan yang lebih maju yang menyatakan bahwa product liability ini merupakan suatu hal yang sebagai bagian hukum sendiri.
    Perlindungan konsumen yang diselengˇgarakan oleh pelaku usaha untuk konsumen sebagai usaha bersama berdasarkan dari 5 (lima) asas relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan agar setiap konsumen untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan suatu manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan setiap konsumen dan setiap pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar terjadi parisipasi yang dilakukan oleh seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksiˇmal dan memberikan kesempatan kepada setiap konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan diharapkan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan suatu keseimbangananˇtara kepentingan konsumen, kepentingan pelaku usaha dan juga kepentingan pemerintah dalam arti mateiil ataupun dalam arti spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konˇsumen dimaksudkan untuk memberikan suatu jaminan atas keamanan dan kesˇelamatan kepada setiap konsumen dalam menggunakan, memakai dan memanˇfaatakan suatu barang dan/atau jasa tertentu yang dikonsumsi atau digunakan oleh setiap konsumen.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik dari segi pelaku usaha maupun dari segi konsumen dapat mentaati hukum dan memperoleh suatu keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum bagi setiap pihak. Salah satu penyebab sering dirugikannya konsumen adalah kurangnya pengetahuan konsumnen akan haknya yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen yang ada di suatu daerah itu sempurna maka harus memenuhi tiga syarat yang ada, yakni hak itu dibutuhkan bagi setiap konsumen untuk perkembangan manusia, hak setiap konsumen itu untuk diakui oleh masyarakat, dan hak itu dinyatakan demikian, dan karena itu diharapkan dapat dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.
    Salah satu penyebab dan faktor yang dapat menegakkan suatu hak-hak konsumen itu sendiri adalah upaya untuk selalu menumbuhkan suatu sikap dan perilaku setiap konsumen itu sendiri, sehingga ketika menjadi konsumen maka konsumen tersebut harus bertanggung jawab, yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknya sebagai konsumen. 11 Sehingga apabila pelaku usaha menimbulkan kerugian kepada konsumen yang memakai produknya, maka pelaku usaha diwajibkan untuk selalu bertanggung jawab atas perbuatnnya itu.
    UUPK telah mengatur mengenai beberapa tanggung jawab yang tertuang dalam Bab IV UUPK tentang tanggung jawab pelaku usaha yang pada intinya adalah pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi kepada konsumen atas produk yang telah dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian atas keruˇsakan barang, kecacatan barang, penjelasan, ketidaknyamanan, dan penderitaan yang dialami konsumen karena mengkonsumsi produk tersebut.
    Bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh setiap pelaku usaha sebagai bentuk konsekuensi dari perbuatannya yang melawan hukum yakni memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan sehingga menimbulkan kerugian berupa masalah kesehatan kepada konsumen yang mengkonsumsinya, adalah pelaku usaha bertanggung jawab mengganti kerugian setara dengan kerugian yang dialami sebagaimana yang telah diatur didalam Pasal 19 UUPK.
    Pasal 19 Ayat (1) dan(2) UUPK telah menyebutkan bahwa Pelaku usaha memiliki rasa untuk selalu bertanggung jawab dengan memˇberikan suatu ganti rugi atas kerusakan barang, pencemaran barang, dan atau kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengˇkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha.
    Ganti rugi yang dapat diterima oleh konsumen dari pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian terhadap uang yang diberikan atau dapat berupa penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya dari barang yang dibeli oleh konsumen, atau perawatan terhadap kesehatan dan/atau pemberian suatu santunan yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19 Ayat (3) UUPK mengatakan Pemberian terhadap ganti rugi dilaksanakan setidaknya dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen.
    Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha ketika memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan termasuk kedalam perbuatan melawan hukum. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUHˇPerdata, suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat dikatakan melawan hukum apabila mengandung unsur–unsur yakni (1) Perbuatan tersebut terindikasi melawan huˇkum, (2) Adanya kesalahan yang dilakukan dari pihak pelaku, (3) Adanya suatu kerugian yang dialami oleh korban dan (4) Adanya suatu hubungan kausal yang terjadi antara perbuatan – perbuatan dengan kerugian.
    Terkait dengan kasus pelaku usaha yang mengkonsumsi pangan yang tidak sesuai dengan standar keamanan dan mutu pangan, maka perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum.
Pelaku usaha telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan memproduksi pangan yang tidak sesuai dengan standar kemanan dan mutu pangan sesuai sesuai dengan peraturan yang mengatur. Sehingga pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya untuk menjamin hak kemanan konsumen yang mengkonsumsi produknya.
    Unsur selanjutnya adalah adanya kerugian. Kerugian yang dapat ditemukan dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak sesuai dengan standar kemanan dan mutu pangan dapat berbentuk permasalahan kesehatan, yang bebentuk diare, mual-mual, muntahˇmuntah, dll dari konsumen yang mengkonsumsinya. Karena tidak dapat dipungkiri dalam produk pangan tersebut dapat menˇgandung zat-zat yang membahayakan kesˇehatan konsumen.
    Salah satu unsur yang terkandung dalam perbuatan melawan hukum adalah adanya kesalahan. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, unsur-unsur kesalahan antara lain (1) adanya suatu unsur kesengajaan yang dilakukan oleh seseorang, (2) adanya suatu unsur kelalaian yang dilakukan oleh seseorang (negligence, culpa), dan (3) Tidak ada alasan terhadap pembenaran atau alasan pemaaf (rechtvaarˇdigingsgrond), seperti suatu keadaan overˇmacht, membela diri, tidak waras, dan lain– lain.
Perbuatan pelaku usaha mengandung unsur kesalahan karena pelaku usaha dengan sengaja memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan kemudian menyebarkan produknya kepada masyarakat.
    Unsur terakhir suatu perbuatan hukum adalah adanya hubungan kausal antara perˇbuatan–perbuatan dengan kerugian. Karena kesengajaan pelaku usaha dalam memˇproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan menyebabkan permasalahan kesehatan kepada konsumen yang mengkonsumsinya sehingga kosumen menderita kerugian akibat adanya perbuatan tersebut.
Bedasarkan pemaparan tersebut maka dapat di simpulkan perbuatan pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kamanan dan mutu pangan digolongkan kedalam perbuatan melawan hukum karena telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat diˇdalam Pasal 1365 KUH Perdata.
    Maka, atas perbuatannya pelaku usaha harus mengganti rugi atas konsekuensi dari pebuatannya dan dapat dijatuhkan kepadanya. Dan konsumen dapat menuntut ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya kepada pelaku usaha.
    Besarnya ganti rugi yang harus dibayar pada dasarnya sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian. 12 UUPK telah mengatur mengenai beberapa sanksi yang akan diberikan kepada pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar keamanan dan mutu pangan, yakni berupa sanksi administrafif dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang dapat dijatuhˇkan kepada setiap pelaku usaha yang memˇproduksi pangan yang tidak memenuhi stanˇdar kemanan dan mutu pangan seuai dengaan Pasal 60 UUPK, yang menyatakan Badan penyelesaian sengketa konsumen memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap setiap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Maka Sanksi administratif tersebut dapat berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Sanksi administratif ini dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya tersebut. BPSK merupakan lembaga yang berwenang dalam menjatuhkan sanksi administratif tersebut.

    Selain sanksi administratif, UUPK juga mengatur mengenai penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak sesuai memenuhi syarat keamanan dan mutu pangan.

    Bedasarkan Pasal 60 UUPK, pelaku usaha yang telah menimbulkan kerugian bagi konsumen akan dberikan sanksi adminstratif, akan tetapi tidak mengˇhilangkan sanksi pidana yang didasarkan pada ketentuan pasal 62 Ayat (1) yang menyatakan Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, akan dikenakan pidana dengan pidana penjara paling lama selama 5 (lima) tahun atau akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Maka, pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak sesuai dengan standar keˇmanan dan mutu pangan juga dapat dijatuhˇkan sanksi pidana. Karena pelaku usaha yang telah menimbulkan kerugian bagi konsumen akan dikenakan sanksi administratif, namun tidak menghilangkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan didalam UUPK.

    Konsumen dalam menuntut hak atas kerugian dapat menˇgajukan laporan dan gugatan kepada pihak berwajib agar dapat diproses secarahukum. Untuk kemudian pelaku usaha akan di proses secara hukum sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Namun, pada praktiknya masih banyak ditemukan konsumen tidak melaporkan atau mengajukan laporan atas kerugian dari kesalahan pelaku usaha kepada pihak berwajib.

    Faktor yang mendasari adalah pada keˇnyataanya masih kurangnya kesadaran maˇsyarakat mengenai hak-hak mereka. Konˇsumen memiliki hak untuk mengajukan gugatan atau laporan kepada pihak berwenang atas dasar kerugian yang mereka derita karena kesalahan pelaku usaha.

    Namun, masih sedikit konsumen yang terinformasi akan perlindungan terhadap hak-haknya. Apalagi untuk kalangan menengah kebawah yang cenderung termasuk kedalam golongan tidak terinfomasi yang lebih memilih untuk menyelesaikan masalah mereka langsung kepada pelaku usaha sehingga tidak mendapat tindakan atau sanksi karena tidak adanya laporan atau gugatan.

    Dengan tidak adanya laporan/ gugatan tersebut kemudian tidak akan menimbulkan efek jera kepada pelaku usaha, sehingga pelaku usaha cenderung untuk tetap melakukan perbuatan tercelanya tersebut. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi keselamatan warga negaranya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya baik konsumen terinformasi dan konsumen yang tidak terinformasi.

    Lemahnya sistem pengawasan sehingga membuat pelaku usaha dapat dengan mudah melanggar ketetuan peraturan sehingga me nimbulkan kerugian kepada konsumen yakni memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan.

    Dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen, seharusnya pemerintah perlu mengadakan sistem pembinaan yakni penyuluhan-penyuluhan ke setiap pelosok agar masyakakat lebih terinformasi sehingga mengetahui mengenai hak–hak konsumen mereka dan upaya apa saja yang dapat mereka ajukan kepada pihak berwenang untuk menuntut hak mereka dan agar pelaku usaha tersebut dapat di proses secara hukum sehingga memberikan efek jera kepada pelaku usaha tersebut. Serta lebih meningkatkan sistem pengawasan agar tidak lagi ditemukan kasus pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

    Tidak hanya UUPK saja yang mengatur mengenai ganti kerugian yang harus dilakuˇkan oleh pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak sesuai dengan standar keˇmanan dan mutu pangan. Namun, UU Pangan juga mengenai ketentuan ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha yakni berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Pasal 86 Ayat (2) UU Pangan mengatur bahwa pelaku usaha wajib memproduksi pangan yang memenuhi standar kemanan dan mutu pangan.
    Maka pelaku usaha yang tidak melanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 94 Ayat (1) UU Pangan yang berlaku di Indonesia menyebutkan bahwa Setiap Orang yang telah melanggar ketentuanˇketentuan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) mengenai pemenuhan stanˇdar Mutu Pangan akan dikenakan sanksi administratif.
    Sanksi administratif yang berlaku sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa pemberian denda terhadap orang yang melanggar, penghentian sementara dari setiap kegiatan yang dilakukan, produksi dan/atau peredaran, penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen, serta dapat berupa ganti rugi dan/atau pencabutan izin. Sanksi administratif dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha sebagai bentuk pertanggung jawaban atas perbuatannya yang meimbulkan kerugian bagi konsumen.
    Selanjutnya UU Pangan tidak hanya menggatur mengenai sanksi administratif namun juga ada sanksi pidana. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan menurut Pasal 140 UU Pangan yang menyebutkan Setiap Orang yang melakukan kegiatan memproduksi dan memperdagangkan suatu Pangan baik yang dengan secara sengaja untuk tidak memenuhi standar Keamanan Pangan yang telah ditetapˇkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) maka akan mendapatkan sanksi yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, walaupun pelaku usaha telah dijatuhi sanksi asministratif, namun tidak menghapus sanksi pidananya.
Pertanggung jawaban pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar keamanan dan mutu pangan masingˇmasing telah diatur didalam UUPK dan UU Pangan dan masing-masing dapat dikenakan kepada pelaku usaha. Namun, UUPK bersiˇfat general mengenai pertanggung jawaban pelaku usaha secara umum.
    UUPK mengatur tidak hanya mengenai pertanggung jawaban pelaku usaha didalam bidang pangan namun juga didalam bidang jasa, periklanan, dll. Sedangkan UU Pangan menspesifikan menˇgenai pertanggung jawaban pelaku usaha diˇbidang pangan. Maka, bentuk pertanggungjawaban yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar keamanan dan mutu pangan mengacu pada sanksi yang diatur di dalam UU Pangan.
    Bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan yang dapat dikenakan sesuai UU Pangan adalah sanksi secara administratif yakni dapat berupa denda uang, penghentian sementara dari kegiatan yang dilakukan oleh orang, produksi dan/atau peredaran, penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen, ganti rugi dan/atau pencabutan izin. Sedangkan sanksi pidana yang dapat dikenakan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliyar rupiah). Pelaku usaha harus mengganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan sebagai konsekuensi atas perbuatannya.
    Besarnya ganti rugi yang harus dibayar pada dasarnya sedapat mungkin harus membuat pihak yang merasa rugi dikembalikan pada kedudukan seperti semula seandainya tidak terjadi kerugian. Terkait dengan peredaran pangan yang tidak memenuhi standar kemanan dan mutu pangan yang tidak memiliki izin edar, terdapat kasus dimana konsumen yang mengalami mual-mual, demam serta gangguan pencernaan setelah mengkonsumsi makanan yang ia konsumsi.
    Setelah diteliti ternyata makanan tersebut tersebut mengandung bakteri yang diambang batas, yakni E-Coli dan Koliform yang tentu saja berbahaya mengingat daya tahan tubuh seseorang bebeda-beda. Selain mengandung bakteri yang diamˇbang batas produk tersebut juga tidak memiliki izin edar.
    Melihat masih banyak ditemukan kasus dimana pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiaban sebagaimana mestinya yang telah merugikan kosnumen maka pelaku usaha wajib untuk bertanggung jawab atas konsekuensi dari perbuatannya tersebut.
    Pertanggung jawaban atas perbuatannya tersebut dapar berbentuk sanksi administratif dan sanksi pidana yang telah diatur didalam UU Pangan. Terdapatnya bentuk tanggung jawab yang berupa sanksi yang harus diterima oleh pelaku usaha berupa sanksi administratif dan sanksi pidana tersebut, merupakan bentuk dari pertanggungjawaban publik.
16
    Terdapatnya sanksi ini sangatlah penting untuk mewujudkan perilaku tertentu dengan memberikan tindakan paksa yang diorganisir secara sosial kepada perilaku yang menyimpang dan untuk mendukung dipatuhinya peraturan mengenai standar keamanan barang dan/atau jasa agar pelaku usaha tidak semena-mena dalam memproduksi barangnya dan untuk melindungi kepentingan konsumen apabila terjadi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen serta sebagai upaya dalam memberikan efek jera kepada pelaku usaha yang tidak baik.
    Dari uraian diatas maka dapat dilihat bahwa Tanggung jawab pelaku usaha atas produksi pangan yang tidak memenuhi syarat keamanan dan mutupangan yang tidak memiliki izin edar di karawang yaitu pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk menggati keruˇgian kepada konsumen yang dirugikan atas perbuatan pelaku usaha yang memproduksi pangan, didasarkan pada Pasal 19 UUPK dan Pasal 94 Ayat (1) UU Pangan. Pertanggung jawaban pelaku usaha dalam UUPK bersifat umum, sehigga pertanggung jawaban pelaku usaha secara khusus di dasarkan pada UU Pangan.
    Bentuk pertanggung jawaban yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang memproduksi pangan yang tidak memenuhi standar keamanan dan mutu pangan mengacu pada sanksi yang diatur di dalam UU Pangan.


REFERENCE

Apriani, Rani. 2019. “Perlindungan KonˇSumen Terhadap Informasi Komposisi Kandungan Yang Tercantum Pada Kemasan Pangan Di Karawang”. Jurnal De Jure, 11(1): 41 

Atsar, Abdul. Dan Apriani, Rani. 2019. Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta
Celina Tri. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.

Citra Adhitya Bakti. Saefullah, E. 2000. Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era PerdaˇGangan Bebas. (Hukum Perlindungan Konsumen) 

Hartono, Sunarjati. 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV. Tahun XXIII,Nomor 10. Shofi, Yusuf. 2000. Perlindungan Konsemen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. 

Miftah Imaniar Putri 2021 “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pdam Delta Tirta Di Kabupaten Sidoarjo Terhadap Perolehan Air Yang Tidak Layak Pakai” 

Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip-Prinsip PerlindˇUngan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada 

Nurhayati, Irna. 2009. “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan MakanˇAn Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan
17

Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”. Jurnal Mimbar Hukum, 21(2): 203.

Prayuti, Yuyut. 2011. Penerapan Doktrin Product Liability Sebagai Asas Pertanggung Jawaban Produsen Dalam Perlindungan Konsumen, Tridharma.

Rajahukhuk, Erman. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen.

Sidarta. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta

Sutedi, Adrian. 2009. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia. 

Sukma, Liya. 2016. “Pertanggung Jawaban Produk (Product Liability) Sebagai Salah Satu Alternatif Perlindungan Kon Sumen”, Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Investasi, 7(2): 37.


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetbook);
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepe...

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, ...

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman...