Langsung ke konten utama

Perlindungan Dari Kekerasan Seksual Berbasis Gender Terhadap Hak Kesehatan Reproduksi

Kekerasan Seksual Ontario Pelecehan Seksual Serangan seksual, Gaussian  Minimum Shift Keying, teks, lain-lain, logo png | PNGWing 

Perlindungan Dari Kekerasan Seksual Berbasis Gender Terhadap Hak Kesehatan Reproduksi

Oleh : Nichlasul Dienullah

    Dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menyerang, menghina, atau perbuatan lainnya yang berkaitan dengan tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau organ reproduksi, secara bertentangan, dipaksa, dan tidak sesuai dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, seksual, psikis, kerugian secara ekonomi, budaya, sosial, dan politik.

    Kekerasan seksual berbeda dengan pelecehan seksual. Menurut rancangan Undang-Undang tentang penghapusan kekerasan seksual, pelecehan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan baik dalam bentuk tindakan fisik maupun non-fisik kepada individu lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan berkaitan dengan hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terhina, terintimidasi, dipermalukan, atau direndahkan, sehingga pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.

    Menurut Komnas Perempuan, ada 15 bentuk kekerasan seksual, diantaranya, 1) perkosaan; 2) intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; 3) pelecehan seksual; 4) eksploitasi seksual; 5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; 6) prostitusi paksa; 7) perbudakan seksual; 8) pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung; 9) pemaksaan kehamilan; 10) pemaksaan aborsi; 11) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) penyiksaan seksual; 13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; 15) kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

    Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena pelaku telah membatasi korban untuk menikmati kebebasan. Belum lagi, perempuan yang menjadi korban dari kekerasan seksual akan mengalami berbagai dampak negatif dalam diri korban itu sendiri seperti, luka fisik yang mengarah pada gangguan sistem reproduksi, depresi seumur hidup yang berkaitan dengan kesehatan mental sehingga korban akan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar. Bahkan pada beberapa kasus, korban kekerasan seksual akan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya.

    Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2020 terdapat 299.911 jumlah perempuan korban kekerasan. Walaupun angka ini sudah menunjukkan penurunan dari tahun 2019 yaitu 431.471 dan sudah menurun sekitar 31,5%, yang penting untuk diketahui adalah penurunan kasus bukan berarti jumlah kasus menurun. Hal ini sesuai dengan hasil survei dinamika kekerasan terhadap perempuan di masa pandemik terjadi penurunan kasus dikarenakan 1) korban dekat dengan pelaku selama masa pandemik; 2) korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam; 3) persoalan literasi teknologi; 4) model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi yang belum beradaptasi melakukan perubahan menjadi online. Dengan demikian jika hal seperti ini sudah bisa teratasi maka akan ada peningkatan sebanyak 10% atau 1.700 kasus selama tahun 2020.

    Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2020, jenis kekerasan yang paling menonjol adalah di KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal sebanyak 6.480 kasus atau 79% kasus. Diantaranya terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) yang menempati urutan pertama, kemudian kekerasan dalam pacaran untuk posisi kedua dan posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan serta sisanya merupakan kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Sedangkan bentuk kekerasan yang tertinggi di Ranah Publik adalah kekerasan seksual sebanyak 962 kasus atau 55% yang terdiri dari kekerasan seksual, diikuti oleh perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, persetubuhan dan percobaan perkosaan.

    Menurut data dari laporan studi kuantitatif barometer kesetaraan gender (2020) oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), jumlah kasus kekerasan seksual khususnya bentuk pelecehan seksual, terdapat 66% yang berjenis kelamin perempuan merupakan korban dan 33% adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Pelecehan seksual yang dimaksud disini seperti godaan, siulan, pesan atau komentar, tatapan, sentuhan fisik, foto atau video porno yang tidak diinginkan.

    Dari data yang telah dipaparkan diatas, dapat diketahui bahwasanya jumlah kasus kekerasan seksual lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual juga merupakan kekerasan yang berbasis gender, karena seringnya korban kekerasan seksual yang menyasar pada manusia karena jenis kelaminnya merupakan perempuan atau mengalami diskriminasi karena relasi kuasa yang timpang. Kekerasan ini sangat sering terjadi di dalam masyarakat yang sampai saat ini mempunyai struktur sosial dan budaya yang merendahkan dan menomorduakan perempuan, mengabaikan anak dan tidak mengakui adanya kondisi-kondisi khusus di dalam masyarakat. Kekerasan ini terjadi di dalam relasi yang sangat personal, di dalam lingkup keluarga atau rumah tangga, dan di wilayah publik , sedangkan menurut Ramadhan, dkk (2020), kekerasan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem yang terkait dengan budaya dan tata nilai yang memposisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi marginalisasi dan subordinasi yang harus dapat dieksploitasi, dikuasai dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.

    Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban dari kekerasan seksual karena adanya anggapan bahwa perempuan memiliki derajat lebih rendah dan lebih lemah daripada laki-laki sehingga keberadaan perempuan dikelompokkan kedalam second class citizens atau warga dengan kelas kedua setelah laki-laki, dan hal ini sangat berkaitan dengan budaya patriarki yang telah mengakar kuat di masyarakat Indonesia bahkan dunia yang menguatkan derajat laki-laki yang pada akhirnya membuat perempuan menjadi terpinggirkan. Belum lagi perempuan yang tidak dianggap sebagai manusia yang utuh dan sering dijadikan objek sensualitas, sehingga hal inilah yang menjadikan perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual.

    Kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapa pun. Bahkan orang yang dianggap dekat dan yang seharusnya melindungi korban dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan dengan data dari laporan studi kuantitatif barometer kesetaraan gender tahun 2020 bahwa sebanyak 99,8% pelaku kekerasan seksual berdasarkan pengalaman kekerasan seksual adalah orang terdekat yang dikenal korban, seperti teman, pacar, anggota keluarga, atasan dan guru/dosen dengan persentase tertinggi adalah teman (40,6%), kemudian disusul pacar (27,2%) dan anggota keluarga (17,9%). Hal ini terjadi karena adanya relasi kuasa yang seringkali dimanfaatkan oleh pelaku. Contohnya pelaku kekerasan seksual adalah ayah dan korbannya adalah anak, atasan dan bawahan dalam dunia kerja, dosen dengan mahasiswa, artis dengan fans. Bahkan menurut Marlia (2007), semakin dekat hubungan antara korban dan pelaku, maka akan semakin berat pula kekerasan yang dilakukannya. Menurut laporan studi kuantitatif barometer kesetaraan gender (2020) oleh International NGO Forum on Indonesian Development, kasus-kasus yang seperti ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Seringkali korban dianggap sebagai orang yang tidak berdaya dan lemah, kemudian dipaksa menuruti perintah dan tindakan biadab dari pelaku.

    Contoh kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah orang terdekat korban adalah kasus pelecehan seksual yang korbannya adalah 3 anak dan pelaku merupakan ayah kandung korban sendiri di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang terjadi pada Oktober 2019. Kasus ini juga sempat viral di sosial media, karena kasus tersebut telah lama terjadi tapi baru diusut pada bulan Oktober 2020 karena tidak adanya bukti kekerasan fisik di tubuh korban. Hal ini juga yang menjadi salah satu hambatan dalam mengusut kasus kekerasan seksual, karena pada beberapa kasus kekerasan seksual jarang meninggalkan bukti yang solid. Berbeda dengan kasus lain seperti pencurian yang buktinya dapat dicari dengan jelas. Selain itu, adanya kasus salah satu mahasiswi Universitas Riau yang menjadi korban dari kekerasan seksual oleh dosen pada saat melakukan bimbingan skripsi yang terjadi pada tanggal 27 Oktober 2021.

    Pelecehan seksual sendiri merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak kesehatan reproduksi. Karena dalam kasus pelecehan seksual terdapat unsur paksaan dan diskriminasi terhadap pelaku kepada korbannya yang berkaitan dengan sistem reproduksi. Sehingga pelecehan seksual sangat erat kaitannya dengan hak kesehatan reproduksi.

    Menurut World Health Organization, kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera baik itu secara fisik, mental dan sosial yang dan tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan dalam berbagai hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses reproduksi (WHO). Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa kesehatan reproduksi mencakup 3 aspek yaitu sehat secara fisik, mental dan sosial yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksinya. Maka dalam hal ini perempuan memiliki hak untuk mendapatkan kesehatan baik itu secara fisik, mental dan sosial, bukan hanya bebas dari rasa sakit secara fisik, tetapi juga harus terbebas dari berbagai tekanan, paksaan dan diskriminasi. Selain itu, dalam menjalankan haknya, tidak ada paksaan dari pihak lain, karena seseorang dapat dengan bebas menggunakan kewenangannya, dan hal ini diatur dalam UU RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bab II pasal 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”

    Hak-hak reproduksi merupakan salah satu hak asasi manusia yang menjadi bentuk perlindungan bagi setiap individu, serta prakondisi untuk memperoleh hak-hak lainnya dengan tidak boleh adanya paksaan maupun diskriminasi bagi setiap orang baik perempuan maupun laki-laki tanpa memandang perbedaan kelas sosial, umur, suku, agama, dan lain-lain . Dari definisi ini dapat dilihat bahwa antara laki-laki dan perempuan itu memiliki kesamaan hak dalam kesehatan reproduksi, tetapi seringkali yang menjadi pembahasan lebih berfokus pada perempuan, hal ini terjadi karena lebih banyak kasus pelanggaran hak terhadap kesehatan reproduksi terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

    Hak-hak reproduksi mengacu pada hak-hak asasi manusia seperti tercantum pada hukum-hukum internasional dan nasional serta dokumen-dokumen hak asasi manusia yang mencakup:

1. Hak dasar individu dan padangan untuk menetukan dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak kelahiran anak, mendapatkan informasi serta cara-cara untuk melaksanakan hal tersebut.

2. Hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi.

3. Hak untuk membuat keputusan yang terbatas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan.

    Sedangkan menurut International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1996 ada 12 hak reproduksi, yaitu: 1) Hak untuk hidup dimana setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan; 2) hak atas kemerdekaan dan keamanan dimana setiap individu berhak untuk menikmati dan mengatur kehidupan seksual dan reproduksinya dan tidak boleh ada seorang pun dapat dipaksa untuk hamil, menjalani aborsi dan sterilisasi; 3) hak atas persamaan gender dan bebas dari segala bentuk diskriminasi yang mana setiap manusia memiliki hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk reproduksi dan kehidupan seksualnya; 4) hak atas kerahasiaan pribadi dimana setiap individu memilki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, baik itu kesehatan seksual maupun kesehatan reproduksi dengan menghormati hak privasi; 5) hak atas kebebasan berpikir yang mana setiap warga negara bebas dari penafsiran ajaran agama yang sempit, kepercayaan, filosofi dan tradisi yang membatasi kemerdekaan berpikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual; 6) hak mendapatkan informasi dan pendidikan dimana setiap individu mempunyai hak atas informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi termasuk jaminan kesejahteraan dan kesehatan perorangan maupun keluarga; 7) hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga; 8) hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak 9) hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan dimana setiap individu mempunyai hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, kepercayaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan; 10) hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dimana setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi dengan teknologi mutakhir yang aman dan dapat diterima; 11) hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik dimana setiap individu mempunyai hak untuk mendesak pemerintah agar memprioritaskan kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi; 12) hak untuk bebas dari segala bentuk aniaya dan perlakuan buruk termasuk kekerasan, perkosaan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.

    Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwasanya hak kesehatan reproduksi merupakan kewenangan dan kebebasan yang harus dilindungi oleh negara yang berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut tubuhnya, misalnya pilihan untuk hamil, sterilisasi dan aborsi yang tidak boleh terdapat unsur paksaan hingga hak untuk bebas dari perilaku diskriminasi yang berbasis gender dalam kekerasan seksual.

Di Indonesia sendiri belum ada regulasi yang mengatur hak kesehatan reproduksi secara lebih detail, namun telah terdapat beberapa regulasi yang mengatur tentang hak kesehatan reproduksi secara umum, yaitu: ,

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 49 ayat (2) dan (3) yang berbunyi:

“ (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.”

“ (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin, dan dilindungi oleh hukum.”

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PDKRT) pasal 5 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a). kekerasan fisik; b). kekerasan psikis; c). kekerasan seksual; atau d). penelantaran rumah tangga.”

    Maraknya kasus yang melanggar hak kesehatan reproduksi menjadi bukti nyata jika hak kesehatan reproduksi masih belum diimplementasikan dengan baik atau keterjaminannya masih diragukan. Hal ini bisa saja disebabkan oleh faktor pengetahuan yang rendah terkait kesehatan dan berakibat ketidaktahuan dan ketidaksadaran korban terkait dengan kesehatan reproduksi. Sehingga tak jarang korban yang tidak mengerti bentuk-bentuk pelanggaran hak kesehatan reproduksi. Belum lagi realitas yang terjadi di dalam masyarakat jika masalah yang berkaitan dengan reproduksi masih dianggap sebagai sebuah hal yang tabu di masyarakat. Sehingga perempuan masih merasa sungkan untuk membicarakannya. Padahal pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sangat penting utamanya untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan seksual.

    Maka dari itu, diperlukan kesadaran untuk mengetahui pentingnya dan memahami tentang hak kesehatan reproduksi sehingga dapat melindungi diri dari perbuatan yang menjurus pada kekerasan seksual. Selain itu, hal-hal yang sebaiknya dapat dilakukan adalah:

1. Melakukan advokasi kepada pemerintah untuk menerapkan kurikulum yang membahas tentang hak kesehatan reproduksi sebagai langkah awal untuk mencegah kekerasan seksual sedini mungkin.

2. Memberikan edukasi kepada masyarakat luas tentang perlindungan hak kesehatan reproduksi yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan media sosial.

3. Lebih memperkenalkan kepada masyarakat luas terkait lembaga yang bertugas untuk menerima laporan terkait kekerasan seksual. Seperti komnas HAM, komnas perempuan dan kantor polisi.

4. Selalu mawas diri di setiap kondisi dan lingkungan sekitar.

5. Mendesak pemerintah untuk menjamin dan melindungi hak-hak kesehatan reproduksi masyarakat dengan membuat regulasi terkait hak kesehatan reproduksi sehingga negara dapat menjamin dan melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan seksual.

6. Selalu mengawasi jalannya implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebidayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi untuk mendukung penghapusan kekerasan seksual yang terjadi di dunia perguruan tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Febriyani, Medhyna Vedija, Novi Wulan Sari, Vitria Komala Sari Widya Nengsih, Visti Delvina, Sari Ida Miharti, and others, Kesehatan Reproduksi Wanita, ed. by Ronal Watrianthos (Yayasan Kita Menulis, 2020) <https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=MAQPEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR15&dq=kesehatan+reproduksi+wanita&ots=wvpkV9_b73&sig=xfOlzF0QYOVA6GqL4vlOf_pqBZs&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false.>

INFID, Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender, Infid, 2020 <https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Laporan-Studi-Kuantitatif-INFID-IJRS.pdf>

Komnas Perempuan, ‘15 Bentuk Kekerasan Seksual’, Komnas Perempuan, 2020, pp. 1–16 <www.komnasperempuan.or.id>

———, ‘CATATAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN 2020’, Komnas Perempuan (Jakarta, 2021), 1–128 <https://doi.org/10.1128/AAC.03728-14>

———, ‘Lembar Fakta Dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 Perempuan’ (Jakarta, 2021), pp. 1–5 <https://emea.mitsubishielectric.com/ar/products-solutions/factory-automation/index.html>

Marlia, Milda, Marital Rape: Kekerasan Seksual Terhadap Istri, ed. by Abdillah Halim (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007) <https://books.google.co.id/books?id=oxSVDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q=dampak&f=false>

Marlina, Hastuti, and Elmia Kursani, ‘Kesehatan Reproduksi Pada Komunitas Anak Punk (Public United Not Kingdom) Kota Pekanbaru’, 2018

Naimah, Naimah, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Dari Kekerasan Berbasis Gender’, Egalita, 10.1 (2015), 1–10 <https://doi.org/10.18860/egalita.v10i1.4538>

Ramadhan, Kevin Xavier, and Diena Yudiarti , Asep Sufyan Muhakik, ‘PERANCANGAN ELECTRIC BRASS KNUCKLE PADA TAS WANITA’, 7.2 (2020), 4959–81

Republik Indonesia, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL, pp. 1–64 <https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media.neliti.com/media/publications/9138-ID-perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id>

———, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang : Hak Asasi Manusia, 1999

———, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Aquaculture, 2007, CCLXXI, 100–111 <https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjWxrKeif7eAhVYfysKHcHWAOwQFjAAegQICRAC&url=https%3A%2F%2Fwww.ojk.go.id%2Fid%2Fkanal%2Fpasar-modal%2Fregulasi%2Fundang-undang%2FDocuments%2FPages%2Fundang-undang-nomo>


Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan