Langsung ke konten utama

Menertawakan WTO: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Melalui Gerakan Kontinuitas Berbasis Cone of Experience Method


Menertawakan WTO: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Melalui Gerakan Kontinuitas Berbasis Cone of Experience Method

Oleh : Muhammad Resky Maulana

    Berhadapan dengan berbagai macam modernitas dan akses pendidikan global, khususnya pendidikan tinggi diwajibkan untuk mengembangkan diri. Berangkat daripada itu berbagai macam metode kebijakan pendidikan yang lebih diperkuat salah satunya yaitu menjadikan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum untuk mengelolah otonomi kampus yang lebih jelas dan arah pendidikan yang terkesan lebih teratur. Hal ini sudah terjelaskan pada historisnya yang mengungkapkan bahwa sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia sejak dahulu menjadi negara yang masih berorientasi kepada negara-negara lain dalam pengambilan kebijakan. Dibuktikan pada saat Indonesia pada akhirnya masuk dalam keikutsertaannya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1950 yang berdampak pada liberalisasi 12 sektor jasa termasuk pendidikan sebagai sektor tersier dan juga menetapkan 4 kebijakan yang berpotensi dalam mempromosikan liberalisasi pendidikan seperti penerapan kuliah melalui internet dan online degree program, dosen atau pengajar asing yang mengajar pada lembaga pendidikan tinggi lokal, dan penyediaan jasa pendidikan tinggi di perguruan tinggi luar negeri.
    Menilik bagaimana kebijakan dari WTO dalam hal penyediaan jasa pendidikan lahirlah sebuah program-program dari kebijakan Perguruan Tinggi yang kemudian diperkuat melalui beberapa kebijakan yang berlaku hingga saat ini. Selain itu, PP No.61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum menjadi regulasi yang memperjelas adanya otonomi kampus khususnya dalam hal keuangan, yang kemudian membentuk kebijakan lainnya, seperti UUD No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan PP No.4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta Permenristekdikti No.39 tahun 2017 tentang UKT & BKT. Sampai dari sinilah, kebijakan kebijakan tersebut menjadi pelindung atau payung dimana bisajadi adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan.
    Munculnya berbagai anomali yang menggambarkan kondisi Unhas itu sendiri dalam keterlibatannya di kampus yang ber “lable” Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) dalam aspek status dan kebijakannya. Menilik dari historisnya, Universitas Hasanuddin terhitung pada 1 januari 2017 sudah menjalankan secara utuh statusnya sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) walaupun sebelum daripada itu, sejak tahun 2016 Unhas telah melakukan sistem uji coba model PTNBH bersama 11 perguruan tinggi lainnya yang ada di Indonesia sesuai dengan yang diamanhkan oleh pemerintah. Telah berstatus penuh sebagai “PTN BH” banyak konsekuensi Unhas yang akan dilalui yaitu dapat mengelola penyelenggaraan lembaga termasuk anggaran keuangan yang lebih otonomi dan kebijakan untuk mengelola aset secara mandiri.
    Memiliki korelasi dimana Unhas yang memiliki status PTN BH, diharapkan mampu mewujudkan cita-cita Indonesia dalam hal pendidikan. Sebagaimana disebutkan dalam cita-cita ideal pendidikan Indonesia pada pembukaan UUD 1945 yaitu "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa", yang kemudian diatur dalam UU Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Sebagai model konsep konstitusi, negara harus berusaha untuk menjamin konstitusinya dan memberdayakan warganya untuk mendidik.
    Tetapi, dalam hal ini jika kita menilik kembali realita yang ada itu sangat berbanding terbalik dengan ekspektasi yang diinginkan. Pasalnya, jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan yaitu hanya sekitar 30,85% di tahun 2020. Sedangkan pada provinsi Bangka Belitung memiliki jenjang terendah dengan persentase 14,73%. Menurut data yang disajikan memeprlihatkan bahwa masih sangat tingginya keterjangkauan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, proses pembuatan penetapan biaya uang pangkal yang kini hadir dianggap tidak memiliki payung hukum aturan yang jelas membuat semakin tingginya faktor keterjangkauan pendidikan tinggi semakin tinggi
Menelisik kebijakan otonomi yang dimiliki Unhas sekarang sebenarnya lebih menggambarkan bahwa semakin jelasnya praktik liberalisme dan komersialisasi pendidikan. Menurut informasi yang di dapatkan, Unhas telah menetapkan uang pangkal yang sama sekali bertentangan dengan aksesibilitas pendidikan. Pasalnya, dalam hal penetapan UKT ini tidak melihat sebagaimana keadaan ekonomi dan finansial mahasiswa dalam kasus ini yaitu mahasiswa langsung ditetapkan pada golongan UKT tertinggi. Hal ini juga dirasakan kepada jalur mandiri pada kelas Internasional khususnya di Fakultas Kesehatan Masyarakat yang sampai saat ini dilema akan UKT yang begitu tinggi ditengah pandemi yang proses pembelajarannya dilakukan secara online tanpa merasakan fasilitas kampus yang diberikan tidak sepadan dengan UKT yang mereka bayar dan keberangkatannya keluar negeri ditunda sampai saat ini. Hal ini menggambarkan bahwa akses pendidikan hanya dijadikan sebuah tagline dalam visi misi pendidikan kampus.
    Hadirnya Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) menjadi pembentukan gerakan-gerakan dalam mengawal isu pendidikan saat ini sangat diniscayakan sebagai penyampaian kritik dan isu terkait permasalahan pendidikan. Akan tetapi, gerakan-gerakan yang dilakukan ini biasanya sifatnya momentum. Apalagi ditambah dengan berbagai macam masalah basis gerak yang tercederai seperti banyaknya disorientasi arah gerak, pendikotomian lembaga, fragmentasi gerakan dan sampai kepada paradigma yang berlawanan berdasarkan pergerakan yang dibentuk diperburuk dengan adanya Pndemi yang tidak kunjung usai memperparah kebebasan ruang arah gerak mahasiswa hari ini. Maka dari itu kita harusnya tidak lagi mengawal isu diluar dari hari besar itu, dengan kata lain seharusnya kita membuat bentuk follow up isu diluar dan didalam hari besar itu dalam mengawal isu pendidikan. Diluar daripada itu, juga diperlukan paradigma berlembaga yang diawali dalam sebuah pengaderan sebagai bentuk pengajaran dan kesadaran berpikir mahasiswa dalam hal ini untuk memperbaiki paradigma arah gerak yang dibangun berdasarkan basis gerakan ideal.
    Menurut teori social movement menyebutkan bahwa karakteristik gerakan sosial, yang dikemukakan McAdam dan Snow (2013). Pertama, berbentuk aksi – aksi kolektif dan bersama ; kedua, memiliki tujuan yang berotentasi perubahan ; ketiga, memiliki karakter sebagai organisasi ; keempat, memiliki aspek kontinuitas, meski kadang temporal ; kelima, aksi kolektif adalah aksi di luar kerangka kelembagaan atau gabungan aksi protes jalanan dan advokasi.
    Dilihat dari teori diatas juga digunakan dalam gerakan paling bersejarah Indonesia yaitu Gerakan 212 yang dipandang sebagai organisasi gerakan sosial yang memberlakukan aksi yang bersifat kontinuitas (secara keberlanjutan). Ditinjau dari teori diatas bisa digunakan sebagai referensi dalam mengambil sebuah solusi pengawalan isu yang dilakukan hanya secara momentum. Pada poin keempat menyebutkan bahwa perlu adanya gerakan yang kontinuitas atau keberlanjutan yang artinya untuk proses pengawalan isu dibutuhkan gerakan-gerakan yang tidak hanya mengawal di dalam situasi kondisi pada saat itu saja (momentum), namun diluar daripada itu dibutuhkan gerakan kontinuitas dalam follow up segala bentuk kritik dan aksi secara keberlanjutan.
    Selain itu, dalam membuat gerakan basis yang kontinu dalam hal ini dalam pandangan keilmuan Kesehatan Masyarakat salah satunya terdapat bidang Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang seringkali menggunakan Metode Cone of Experience oleh Edgar Dale pada proses advokasi gerakan yang mengatakan bahwa dalam membuat sebuah gerakan diperlukan paradigma yang ideal sejak dari awal sampai kepada proyeksi dimana awal dari semuanya adalah media (membentuk paradigma) dalam sebuah gerakan itu. Dengan mengkolaborasikan gerakan Kontinuitas dengan teori Cone of Experience ini dapat memperbaiki masalah disorientasi arah gerak dan mencegah terjadinya pendikotomian gerakan khususnya pada situasi lembaga dan basis gerakan yang ada sekarang.
    Gerakan kontinuitas berbasis pendekatan Cone Of Experience ini juga digunakan untuk menggugah awareness (kesadaran) atau asal-usul paradigma masyarakat terhadap suatu inovasi,. Pada umumnya bentuk pendekatan (metode) ini tidak langsung. Biasanya dengan menggunakan atau melalui media massa. Beberapa contoh metode pendidikan, antara lain: a. Ceramah umum (public speaking). b. Dinamika diskusi atau dialektika pidato melalui beberapa media platform contoh sosial media, TV, maupun radio. c. Simulasi Aksi atau gerakan. d. Media secara lisan pada majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya jawab. e. Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster, dan sebagainya. Dengan cara pendekatan ini sampailah kepada kesimpulan bahwa solusi dalam memperbaiki perspektif basis gerak mahasiswa sampai saat ini yaitu pengaderan dalam membentuk paradigma dan proyeksi, basis gerakan secara kontinyu dalam hal ini follow up keberlanjutan dari sebuah gerakan, dan teori Cone Of Experience dalam salah satu Keilmuan Kesehatan Masyarakat sebagai pandangan dalam membuat gerakan melalui media sebagai pembentuk paradigma gerakan sejak awal. Hal ini dilakukan karena diniscayakan bisa membentuk paradigma mahasiswa terhadap suatu idealisme ideal, mencegah adanya disorientasi arah gerak, dan mencegah pendikotomian lembaga yang dalam hal ini mampu membuat fragmentasi basis gerakan.


Referensi :
https://bemfkmunhas.codeta.id/2021/04/17/menuju-pendidikan-tinggi-gratis/
 
https://unhas.ac.id/article/title/2017-unhas-mulai-ptnbh-menyeluruh 
 
Sumardi. 2018. 212 dari Perspektif Gerakan Sosial. Bijak Bermedia. Hati Bahagia.
 
https://www.tarbawia.net/2018/12/212-dari-perspektif-gerakan-sosial.html. Diakses pada 28 April 2021.
 
Susilowati, Dwi. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan dan Promosi Kesehatan. Pusdik SDM Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Selatan. Hal. 74-80. 
 
Utama, Widya, K. 2017. OTONOMI PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA PTN-BH. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Kota Semarang. P-ISSN: 2086-2695. E-ISSN: 2527-4716. Jilid 46 (1). Pp 92-99.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan