Langsung ke konten utama

Kecantikan Bukan Sepeda Motor, Tidak Perlu Pakai Standar!


Kecantikan Bukan Sepeda Motor, Tidak Perlu Pakai Standar!

Oleh : Annisaa Hanifah Aulyansyah

Kata perempuan kerap dikaitkan dengan kata 'cantik'. Menjadi cantik merupakan hal yang diidamkan banyak perempuan. Outputnya ialah menjamurnya berbagai produk yang menjanjikan kecantikan secara bertahap, dan bahkan secara instan. Hal ini tidak terlepas dari adanya stereotip tentang standar kecantikan yang sudah ada bahkan sejak dulu, yang dikenal dengan standar kecantikan tradisional. Misalnya saja kecantikan perempuan yang dinilai dari daun telinga yang panjang di suku Dayak, telinga perempuan diberi semacam anting yang berat sejak kecil, anting dengan berat kuningan tersebut diaplikasikan untuk memanjangkan lobus/cuping, hal ini tentu menyakitkan, akan tetapi demi memenuhi standar kecantikan yang ada, tidak sedikit wanita terdahulu yang melakukannya

Kemudian, pada era modern, standar kecantikan seperti kulit putih, hidung bangir, tubuh langsing, dan lain sebagainya menjadikan beberapa perempuan yang kemudian tidak memenuhi standar tersebut berusaha untuk mengubah diri, tidak sedikit yang berusaha sampai mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, misalnya penggunaan krim pemutih instan yang mengandung merkuri yang memiliki dampak jangka panjang. Selain itu, ada pula diet ketat tidak sehat dilakukan sebagian besar kaum hawa agar memiliki proporsi tubuh ideal, bahkan tidak sedikit yang sampai mengidap anorexia dan BDD (Body Dysmorphic Disorder).

Eksistensi dari standar kecantikan ini tidak terlepas dari adanya sosial media, berbagai filter dari Instagram misalnya, hadirnya berbagai filter tersebut seolah mendukung gagasan syarat tertentu agar perempuan terlihat cantik, akibatnya banyak perempuan yang kemudian tidak percaya diri dengan penampilannya, hal tersebut kemudian dikenal dengan insecurity. Ketidaksesuaian antara penampilan yang mereka miliki dan standar kecantikan yang ada membuat mereka merasa insecure. Padahal, cantik itu tidak objektif, pun subjektif. Cantik itu ketika kita mampu menerima diri kita dan mampu memahami kelebihan dan kekurangan kita, tanpa harus merasa kecil atas kekurangan yang dimiliki.

Secara tidak langsung adanya standar kecantikan merupakan bentuk diskriminasi. Tak jarang kita mendengar soal beauty privilege, mereka yang cantik seolah punya hak istimewa tersendiri. Kata orang-orang, dengan menjadi cantik, masalah hidup yang dihadapi akan berkurang. Berbagai kalimat seperti ‘…untung kamu cantik’, ‘tidak apa-apa, soalnya kamu cantik’ seolah menjadi bentuk pembelaan untuk mereka yang cantik saat berbuat kesalahan, ucapan-ucapan tersebut seolah menormalisasi kesalahan asalkan si pembuat kesalahan memiliki rupa yang cantik. Ada pula kalimatseperti ‘ih kulitmu gelap betul, belum mandi ya?’, ‘ih kamu gendut banget, kalo kurusan dikit pasti cantik’, ucapan-ucapan seperti itu mungkin sederhana bagi beberapa orang, tetapi dampaknya pada objek kalimat tersebut bisa sangat mengganggu dan menyakiti mereka. Sungguh miris sebenarnya, bentuk diskriminasi ini acap kali dijumpai bahkan di tempat-tempat yang diharapkan bersifat mendidik dan membawa hal positif.

Pengehegemonian terhadap standar kecantikan yang diciptakan membuat adanya definisi perempuan jelek. Padahal sebenarnya, setiap perempuan memiliki unsur dan standar kecantikan yang merupakan otoritas dari masing-masing individu tanpa harus mengacu pada standar kecantikan yang telah mendarah daging dalam citra cantik perempuan. Dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk menetapkan standar bagi perempuan untuk bisa disebut cantik.

Dewasa ini, memang standar kecantikan yang tidak realistis itu masih banyak, hanya saja tidak sedikit yang kemudian mampu mengentas mindset 'cantik itu harus ini atau harus itu'. Masifnya campaign di sosial media tentang pentingnya peniadaan standar kecantikan turut berkontribusi atas hal tersebut. Semoga saja kedepannya semakin banyak yang menyadari bahwa kecantikan bukan sepeda motor yang harus pakai standar. Para perempuan harus menyadari betapa mereka telah tercipta pada bentuk yang sebaik-baiknya. Jangan sampai ada perempuan yang kemudian terpuruk dan terdistorsi perkembangannya oleh standa rkecantikan yang tidak realistis. Embrace yourself, stay happy and healthy!

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan