Langsung ke konten utama

4.0; Sebuah Dunia Dalam Topeng

4.0; Sebuah Dunia Dalam Topeng

Oleh : Fadil Nurmansyah

Indonesia adalah Negara yang paling banyak penduduknya ke empat di dunia, setalah Cina, India dan Amerika Serikat dengan total populasi ± 260 juta penduduk dan komposisi etnis masyarakat Indonesia amatlah beragam dengan ratusan ragam suku dan budaya. Sehingga salah satu alasan Bhineka Tunggal Ika menjadi motto Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah diharapkan dapat mencerminkan keanekaan etnis, budaya dan bahasa dapat menjadi satu kesatuan dalam NKRI, dimana keanekaragaman tersebut dapat ditemukan dalam batas-batas Negara yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia ini.

Dengan banyaknya jumlah populasi penduduk di Indonesia, menurut Nur Falikhah dalam jurnalnya yang berjudul bonus demografi peluang dan tantangan bagi Indonesia mengatakan bahwa pada tahun 2030 nanti Indonesia di prediksi akan mendapat bonus demografi. Secara penataan, bonus demografi dapat diartikan sebagai keadaan jumlah usia yang produktif lebih banyak dari jumlah usia non produktif, sehingga dengan bonus demografi tersebut jika secara kualitas, sumber daya manusia meningkat akan dapat mampu meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan mampu meningkatkan kesejahteraanya sendiri dan mampu bersaing dengan Negara maju lainnya.

Bonus demografi bukanlah suatu takdir, setidaknya tidak untuk keseluruhannya. Berabad-abad, implementasi kebijakan public mampu mempengaruhi fertilitas penduduk disuatu negara, dan migrasi dapat mentransformasi eksistensi dan kemajuan kinerja suatu negara. Sebagaimana pengalaman oleh Jepang, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jepang per pekerja 2% jauh lebih tinggi da Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Peran yang kita tanggung saat ini yaitu sebagai mahasiswa, Mahasiswa adalah seseorang yang memiliki potensial dalam memahami perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan, lingkungan masyarakat dan peranan penting dalam menghadapi bonus demografi yang akan datang. Yang berpotensi memiliki posisi dan peran sebagai agent of change, social controller, dan the future leader. Mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi perubahan keumatan kearah keberadaban.

Mahasiswa sebagai agent of change sesuai dengan artinya agen perubahan, berperan sebagai agen perubahan untuk masyarakat, sebab mahasiswa sebagai langkah terakhir kita untuk para pelajar untuk penempuh pendidikan yang lebih tinggi, dari yang dulu kita berstatus siswa sekarang sudah mengemban status mahasiswa. Dengan gelar para mahasiswa sebagai agen perubahan dapat mengaplikasikan gelar yang telah diberikan atau dipercaya oleh masyarakat sebagai agen perubahan bangsa yang lebih maju. Mahasiswa sebagai social control, sebagai mahasiswa harus berperan sebagai pengontrol kehidupan sosial. Dalam hal ini mengontrol kehidupan sosial, dalam hal ini bisa mengontrol kehidupan masyarakat dengan cara menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah. Menyampaikan aspirasi yang telah dikeluarkan oleh masyarakat kepada pemerintah.

 Mahasiswa akan berperan penting dalam menghadapi bonus demografi yang akan datang, sudah sangat jelas harus mempersiapkan diri sejak menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Hal ini sangat berpengaruh kepada arah gerak Negara tercinta kita ini. Dewasa ini banyak sekali pergeseran makna yang terjadi di kebanyakan mahasiswa, dimana saat ini kebanyakan mahasiwa terjebak dalam hal-hal yang bersifat sangat semu. Mahasiswa kini mulai kehilangan arah gerak mereka sebagai orang-orang yang akan menjadi penerus cita-cita bangsa ini.

Banyak faktor yang menjadi perubahan gerak mahasiswa saat ini, mulai dari hilangnya budaya yang identik dengan mahasiswa yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi kini berubah menjadi belanja, nongkrong , dan santai-santai. Hal ini sangat disayangkan ketika mahasiwa yang telah diemban dan diberikan kepercayaan dari masyarakat sebagai agent of change dan the future leader kini telah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan mahasiswa saat ini. Mahasiswa saat ini mulai kehilangan jati diri mereka, mulai melupakan nilai-nilai yang harus dipertahankan, hal ini disebabkan oleh pengaruh perkembangan zaman, dimana arus perkembangan teknologi industri di era 4.0 saat ini sangat pesat dan sangat sulit untuk dibendung.

Di era yang serba instan saat ini, tidak bisa dinaifkan bahwa penggunaan gawai adalah hal yang sangat mendasar. Gawai saat ini memiliki peranan penting di kehidupan sehari-hari yang tak bisa dilepaskan. Menurut pengamat konsumen dan pakar marketing, Yuswohady, ada dua kata kunci yang menurutnya mewakili perilaku dari generasi saat ini ini, yaitu present atau kini dan experience atau sekarang. Perubahan belakang kini dalam mediaescape di Indonesia tidak terpisah dari apa yang sedang terjadi di seluruh dunia saat ini.

Pada dekade kedua abad ini, menjadi amat jelas bagaimana media telah campur tangan dalam membentuk ulang kehidupan sosial diseluruh dunia, dalam berbagai kadar. Hal itu bisa berarti sepele seseorang memajang fotonya di sosial media baik di laman Instagram, dan Facebook ketika bertemu seorang kawan lama disebuah warung kopi, dan membuat foto itu langsung bisa dilihat seluruh orang. Gambaran itu secara khusus amat tepat bagi kaum muda, di mana “ruang ngobrol online dan komunikasi virtual yang mereka tempati menjadi relevan dalam menentukan siapa mereka sebagai pribadi, ketimbang berinterakasi secara langsung” (Rayner 2006:346).

Ditengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini, realitas telah hilang dan kebenaran seringkali menguap. Realitas tidak hanya diceritakan, diapresentasikan, dan disebar luaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan dicitrakan. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya episode baru dinamika manusia topeng.

Saat ini banyak mahasiswa yang sebagai kaum muda kini terjebak dalam sebuah realita yang palsu, dimana mereka sangat sulit untuk membedakan mana sebuah realita yang nyata dan mana sebuah realita yang semu, hal ini disebabkan oleh manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata diluar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Kebudayaan menyamarkan fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment. Dewasa ini mahasiswa terjebak dalam sebuah topeng yang dinamakan “simulacra” telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.

Hal inilah yang membuat mahasiswa saat ini kurang progresif, karena mereka terlalu sibuk dengan sebuah dunia imajinernya yang berada dalam sebuah gawai yang mereka miliki. hal inilah yang menjadikan mahasiswa lupa dengan sekitarnya dan mulai kehilangan nilai-nilainya. Jika ini terus terjadi sangatlah berbahaya dimasa yang akan datang, dimana mahasiswa adalah pemuda-pemuda yang kelak akan menghadapi bonus demografi yang berdampak pada gerak Negara Tercinta kita.

Seharusnya mahasiswa tidak terlena dan hanyut masuk kedalam derasnya arus media saat ini. Dengan derasnya arus media saat ini, mahasiwa semestinya tertantang untuk bisa membuat berbagai macam inovasi-inovasi yang dapat membuat Indonesia lebih maju kedepannya, sehingga peranan yang melekat pada mahasiswa sebagai the future leader dapat terimplementasikan kelak di era bonus demografi.

Komentar

Paling Banyak Dikunjungi

Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan

  Merefleksikan Makna Keadilan dalam Perjuangan Lembaga Kemahasiswaan Oleh Ardyansyah Saputra Basri Selama beberapa tahun belakangan, saya terlibat aktif di organisasi atau lembaga kemahasiswaan fakultas tempat saya mengenyam studi ilmu kesehatan masyarakat. Ada pahaman yang berkembang di kalangan anggotanya, yakni perihal keadilan. Keadilan diartikan sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan kadar dan porsinya. Tapi apakah makna keadilan secara luas dapat diartikan seperti itu? jika ditelusuri, ternyata pahaman itu hadir dari hasil dialektika pada proses perubahan konstitusi. Kalau di Yunani Kuno, proses dialektika atau diskusi filosofis itu dilakukan di lyceum, di perkuliahan saya mendapatinya di mubes lembaga kemahasiswaan. Pada dasarnya berlembaga adalah aktivitas berpikir, kita berfilsafat di dalamnya, sejauh yang saya dapatkan. Proses dialektika atau diskusi filosofis ini sebenarnya merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan. Pada setiap transisi periode kepengur

Merawat Telinga Kita

  Merawat Telinga Kita Oleh : Sabri Waktu kita terbatas, anggapan itu menjadi alasan manusia bertindak selalu ingin jauh   lebih cepat bahkan melupakan setiap proses yang dilalui dan orang-orang di sekitarnya. Melihat waktu sebagai sesuatu yang terbatas atau tanpa batas ditentukan oleh diri kita masing-masing. Kita memahami bahwa hidup kita berada di masa kini akan tetapi tidak menutup kemungkinan kita dihantui oleh masa lalu dan masa depan. Mendengarkan sesungguhnya merupakan salah satu cara kita menghargai waktu dengan orang-orang di sekitar kita, karena kehadiran seseorang dapat terasa tak ada jika apa yang ingin disampaikan tak didengarkan dengan baik. Maka kemampuan kita untuk mengabaikan sesam a akan terlatih. Apalagi berbagai kebiasaan yang ada saat ini mengajak kita untuk lupa akan pentingnya menciptakan sebuah kehadiran sejati dengan saling mendengarkan. Di antara kita, angkatan, komisaria

Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis

  Falsafah Puasa; Pertanyaan dari Sisi Epistemologis Oleh: Ardyansyah Saputra Basri Tanggal 1 Ramadhan 1443 H atau 3 April 2022 M, tepat pada jam 01.21 WITA suara ketukan palu sebanyak tiga kali berbunyi. Menandakan berakhirnya sidang penetapan program kerja pengurus HmI komisariat kesmas unhas cabang maktim periode 1443-1444 H/ 2022-2023 M. Ucapan syukur hamdalah menghiasi forum rapat kerja yang dilaksanakan secara daring via google meeting, yang berarti bahwa hal yang direncanakan kepengurusan telah dimulai selama kurang lebih satu tahun ke depan. Pada saat yang sama, notifikasi chat grup ramai silih berganti dari pengurus yang baru saja melaksanakan rapat kerja. Pertanyaan mengenai kapan rapat kerja selesai pun beralih menjadi penantian terhadap sahur yang nanti bagusnya makan apa, dengan siapa, dan jam berapa. Sahur pertama ini memang selalu menjadi persoalan, setidaknya dari yang apa saya amati di kultur Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak jarang, beberapa teman yan