Rekonsiliasi Menjawab Krisis Demokrasi
Oleh : Muhammad Kyrgizt Al-Muqhni
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, karena setiap aturan yang dibuat niscaya berlandaskan pada hukum, dan sumber hukum yang paling tertinggi di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar sehingga terbentuklah konstitusi Indonesia yang biasa kita kenal dengan sebutan UUD 1945. Indonesia dapat disebut sebagai negara demokrasi. Karena sistem pemerintahan di Indonesia berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK), Nallom Kurniawan menyatakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Yang mana demokrasi mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, persamaan hak diantara warga negara, kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan pada warga negara dan pemilihan yang dihormati dalam prinsip ketentuan mayoritas. Artinya rakyat dengan serta merta mempunyai kebebasan untuk melakukan semua aktivitas kehidupan termasuk aktivitas politik tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun, karena pada hakikatnya yang berkuasa adalah rakyat untuk kepentingan bersama.
Menurut Abdul Muhaimin Iskandar, seorang politisi dan aktivis bidang demokrasi bahwa demokratisasi di Indonesia berawal dari tumbangnya rezim otoriterian di bawah pimpinan Presiden kdu RI yaitu Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun. Namun ironisnya proses demokratisasi yang baru berjalan menghasilkan kematangan sekaligus kebebasan yang kebablsan. Dalam praktiknya, demokrasi tidak berjalan semulus dan sebagus teorinya. Kebobrokan sistem tersebut menyebabkan kekacauan hampir di setiap lini kehidupan.
Peran antagonis dalam demokrasi dimainkan para elit negeri ini, yang semestinya kita harapkan mereka berbuat dan berjuang demi kepentingan kaum proletariat. Justru sebaliknya, mereka hanya mengejar kekuasaan, kepentingan sesaat dan membela perjuangan partai masing-masing. Maka yang terjadi hukum begitu mudahnya diperjualbelikan, keadilan menjadi barang langka, perampokan uang negara secara sistematis yang berkedok banggar. Seperti yang dikatakan Soekarno semasa hidupnya bahwa perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah tapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.
Menurut Direktur Eksekutif LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) 2019 Fajar Nursahid, mengatakan bahwa Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran, yang membuat kita masih jauh dari harapan demokrasi terkonsolidasi. Krisis demokrasi sedang melanda negeri saat ini, dapat dilihat dari berbagai kejadian-kejadian dimana sistem demokrasi terasa mulai menghilang.
Publik merasa kesal dengan DPR dan pemerintah yang tak sanggup mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tertunda sejak dinyatakan sebagai RUU inisiatif DPR tahun 2016 kemarin. Sebaliknya, mereka malah mengebut pembahasan berbagai peraturan kontroversial seperti RUU Pemasyarakatan, RKUHP, meski akhirnya dilanjutkan ke periode selanjutnya. Kemudian juga merampungkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (KPK) yang bagi banyak orang berarti melemahkan KPK.
RUU PKS lahir akibat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian hari kian meningkat. Gagasan ini juga datang karena banyaknya pengaduan kekerasan seksual yang tidak tertangani dengan baik dikarenakan tidak adanya payung hukum yang dapat memahami dan memiliki substansi yang tepat terkait kekerasan seksual.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 10 tahun (2001 - 2011) sedikitnya terdapat 35 perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang, mengatakan setidaknya ada tiga hal yang selama ini menjadi perdebatan panitia kerja (panja) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan membuatnya tertunda. Pertama, perdebatan mengenai judul. Kedua, adalah perdebatan soal definisi, yang menurutnya masih mengganjal karena bermakna ganda. Perdebatan ketiga terkait pidana dan pemidanaan.
Kemudian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI menilai ada banyak pasal yang bermasalah dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang kemarin pengesahan dan pembahasannya ditunda oleh perintah Presiden Jokowi. Penundaan itu dapat terjadi karena banyaknya aspirasi atau masukan yang berkembang di masyarakat. Ketua YLBHI, Asfinawati menyebut bahwa adanya gejala hukum dalam RUU KUHP tersebut. Salah satunya membungkam kebebasan sipil dalam mengkritik pemerintah.
Selanjutnya muncul kasus mengenai adanya revisi UU KPK dan menyebabkan munculnya kecaman dari berbagai pihak karena dinilai melemahkan peran KPK. Yang mana salah satunya DPR dan Pemerintah sudah menyepakati secara garis besar salah satu pasal dalam draf revisi UU KPK “UU No. 30 Tahun 2002” yaitu tentang pembentukan dewan pengawas. Menurut Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera Bivitri Susanti menyebutkan jika ada argumen yang disampaikan oleh pemerintah maupun tokoh elit politik bahwa revisi UU KPK tidak melemahkan maka hal itu menyesatkan masyrakat.
Melihat kenyataan sekarang, apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa ? Kita sadar mahasiswa tidak bisa mengambil kebijakan untuk merubah keterpurukan ini. Mahasiswa sebagaimana kata Soe Ho Gie mahasiswa wajib memberikan kontribusi terhadap negara ini, atau paling hanya sekedar tahu keadaan negara sekarang. Untuk merealisasikan peran itu kita kembali pada peran mahasiswa selama ini yang disematkan oleh masyarakat agent of change, agent of control, iron stock, moral force dan guardian of value.
Mahasiswa yang katanya memiliki peranan sebagai agen perubahan dan pengendali kehidupan sosial ternyata tidak mengaktualisasikan perannya tersebut. Jika mahasiswa seringkali ditempatkan sebagai basis gerakan intelektual menuju masa depan perubahan yang cerah dan menjanjikan. Terbukti dalam rekam jejak juang mahasiswa pada Tahun 1966 di mana mereka mampu menggulingkan Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno, yang disebabkan isu pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup atau kita sering menyebutnya “otoritarianisme”. Pada tahun 1998 dengan pergerakan yang begitu sistematis dan teroganisir mahasiswa bersama tokoh-tokoh masyarakat mampu menggulingkan rezim Soeharto yang mampu berkuasa selama 32 Tahun akhirnya mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.
Saat ini, kita benar-benar dibuat sulit dalam mendambakan mahasiswa bermental kritis transformatif terutama dalam membaca situasi, karena telah terjerat lilitan pengaruh zaman era post modernisme, sehingga mereka bermental hedonis dan apatis. Ketika telah datang masalah secara bertubi-tubi menghampiri negeri ini, solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut yaitu mahasiswa harus menjadi garda terdepan ketika terjadi masalah dengan cara mahasiswa harus senantiasa mempertahankan apa yang telah yang dilakukan seperti melakukan konsolidasi-konsolidasi gerakan serta mengaktualisasikan apa yang telah dimusyawarahkan secara bersama-sama dan mempererat ikatan emosional antar mahasiswa satu dengan yang lainnya. Ketika solusi-solusi yang penulis tawarkan dilaksanakan tentu saja krisis demokrasi akan teratasi sedikit demi sedikit karena mahasiswa yang layaknya akan menjadi generasi penerus dapat bertanggungjawab atas keberlangsungan kehidupan berdemokrasi bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gubarsi, Sri dkk. Pelaksanaan Nilai Demokrasi Di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Pendidikan, Tahun 2014.
Mugasejati, Nanang Panuji dan Armawi, Armaidy. Memahami Potensi Krisi Demokrasi. Jurnal Ketahanan Nasional, VIII (2), Agustus Tahun 2003.
Nugroho, Heru. Demokrasi dan Demokratisasi : Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik Di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 1(1), Tahun 2012.
Purnaweni, Hartuti. Demokrasi Indonesia : Dari Masa Ke Masa. Jurnal Administrasi Publik, Vol.3, No.2, Tahun 2004.
Usman, Sunyoto. Arah Gerakan Mahasiswa. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, 3(2), November Tahun 1999.
Komentar
Posting Komentar