LIBERTÉ, ÉGALITÉ, FRATERNITÉ: KONTEKSTUALISASI SEMBOYAN REVOLUSI PRANCIS PADA PEMIMPIN MASA KINI
Oleh : Abdul Hadi Al Muttaqin
1. Pendahuluan
Seiring perkembangan zaman dan modernisasi yang terjadi, pola interaksi antar manusia juga ikut berkembang. Piramida sosial yangada menempatkan pemimpin di puncak piramida, sedangkan rakyatpada tingkatan. Sistem tuan dan bawahan yang telah lama menyemai menjadi saksi bisu atas perjalanan historiografi yang telah dialami oleh manusia. Modernisasi yang terjadi berimplikasi pada terjadinya dinamisasi diseluruh aspek kehidupan, tanpa terkecuali pada aspek sosio-politik. Dinamisasi tersebut menyebabkan disentegrasi pada pola interaksi konvensional antar kelas yang dulunya terjadi pada komunal masyarakat.
Umumnya, masyarakat akan mendambakan seorang pemimpin yang progresif dalam mengantarkan rakyatnya ke arah yang lebih baik. Namun, kenyataan yang kita lihat saat ini masih sangat jauh dari pemimpin utopis yang kita harapkan. Pemimpin masa kini cenderung disandarkan pada makna berkonotasi negatif. Rakyat kelas bawah secara impulsif menganggap hadirnya seorang pemimpin bukan lagi perwujudan dari cita-cita demoraksi yang ada.Wijaya (2016) memandang bahwa hal ini bermuara pada satu permasalahan dalam demokrasi yang masih berproses yakni ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan perpolitikan. Feodalisme, aristokrasi, neo-liberalisme, monarki mutlak, dan segala bentuk gaya kepemimpinan yang dapat menyengsarakan rakyat. Anomali tersebut menjadi konsensus dari lahirnya ideologi-ideologi baru yang secara radikal menginginkan terjadinya sebuah transformasi struktural pada sistem yang ada.
Revolusi Prancis yang terjadi pada tahun 1789-1799 M silam memberikan kita sebuah perspektif historis bahwa kepemimpinan yang bersifat absolutisme sangat dibenci oleh rakyat. Perjuangan rakyat Prancis dalam menjatuhkan sistem monarki absolut merupakan gambaran nyata bahwa manusia menginginkan sosok pemimpin yang humanis dan demokratis. Semboyan yang hadir berupa “Liberté, Égalité, Fraternité” merupakannilai dasar yang dipegang teguh oleh rakyat Prancis dalam melakukan revolusi pada saat itu.
Menilik hal tersebut, penulis tertarik dalam membahas lebih jauh semboyan
“Liberté, Égalité, Fraternité” jika
dikontekstualisasikan dengan kondisi pemimpin masa kini. Semboyan yang dulunya
menjadi kredo dan pegangan rakyat Prancis dinilai representatifdemokrasi
deliberatif yang didambakan oleh rakyat.
. 2. Pembahasan
2.1 Konvergensi Tesis
Diskursus terkait Revolusi Prancis mengantarkan kita pada satu realitas bahwa pengkajian sebuah sejarah dapat ditinjau dari berbagai perspektif dan sudut pandang yang berbeda. Sejarawan menggambarkan Revolusi Prancis berdasarkan pandangan serta ideologi yang mereka yakini masing-masing. Guizot sebagai politikus yang mengambil peranan aktif dalam pemerintahan pasca-revolusi menonjolkan peranan kaum borjuis sebagai pendobrak dominasi raja serta aristokrasi, Michelet selaku pengkaji akademis pertama tentang revolusi menganggap bahwa rakyat Prancis sebagai nation adalah pelaku utamanya, Aulard lebih menonjolkan ide-ide republik, sedangkan Jaurès mulai mengungkapkan peran sans-culottes dalam gerakan rakyat kebanyakan (Kartodirdjo, 1999). Aneka ragam tinjauan tersebut memperluas dan memperdalam pandangan kita terhadap Revolusi Prancis.
Revolusi Prancis menggambarkan bahwa manusia secara habitus menginginkan sebuah kebebasan, keadilan, persaudaraan, serta segala bentuk tindakan humanis lainnya. Penyerbuan atas Penjara Bastille yang dilakukan oleh kaum Revolusioner Prancis menjadi simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan yang dilakukan Raja Prancis. Mereka menuntut adanya pembatasan kekuasaan oleh para kaum bangsawan yang dianggap menyengsarakan rakyat. Raja, bangsawan, dan para rohaniawan menyetujui tuntutan atas pembatasan kekuasaan, namun tak berselang lama, Raja melakukan kekerasan kepada rakyat yang berimplikasi pada kemarahan rakyat (Wijaya, 2017).
Sejarah Revolusi Prancis, hingga saat ini masih menjadi pedagogi bagi beberapa negara yang sedang melakukan national-building. Diseminasi nilai yang terkandung dalam sejarah Revolusi Prancis bukan hanya berfokus pada perjuangan rakyat Prancis dalam meruntuhkan pemimpin feodal. Namun, semboyan yang menjadi penggerak Revolusi Prancis juga merupakan suksesi atas runtuhnya monarki absolut pada masa itu. Upaya internalisasi nilai-nilai yang terkandung pada semboyan “Liberté, Égalité, Fraternité” harus dilakukan demi menghindari lahirnya distopia pemimpin masa kini.
2.2 Analisis dan Sintesis
Pemimpin jika didefinisikan akan menghasilkan sebuah teorema yaitu seseorang yang ditunjuk untuk mewakili sekelompok individu dalam mengemban tugas serta tanggung jawab untuk memimpin dan mempengaruhi yang dipimpinnya. Pemimpin lahir atas dasar keinginan kelompok individu atas keteraturan hidup melalui kebijakan ataupun hukum yang tercipta. Hukum adalah ekspresi dari kehendak umum dan ada untuk menjamin kepentingan umum (Wijaya, 2016). Oleh karena itu, produksi hukum yang ada harus dapat mencakup seluruh komponen aspirasi rakyat.
Pemimpin masa kini telah dibahas diawal telah mengalami degradasi dalam pemaknaannya. Transformasi struktural hingga revolusi sosial memainkan peranan pada terbentuknya dogmatisasi negatif pada komunal masyarakat. Sehingga menyebabkan lahirnya kerangka berpikir baru yang mempengaruhi perspektif umum terkait seorang pemimpin. Moralitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin haruslah mencerminkan dirinya dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Elaborasi dari ketiga nilai yang terkandung dalam semboyan Revolusi Prancis dapat melahirkan pemimpin yang bersikap demokratis.
2.2.1 Liberté
Kata Liberté memiliki arti kebebasan. Menurut Rousseau (1964), kebebasan adalah suatu keadaan tidak terdapatnya keinginan manusia untuk menaklukan sesamanya. Pada masa Revolusi Prancis, terjadi pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat kelas pekerja khususnya petani. Meskipun wajah Revolusi Prancis diawali oleh gerakan yang dilakukan oleh para kaum borjuis, namun gerakan yang dilakukan oleh kaum petani menentukan seberapa jauh Revolusi Prancis dapat terjadi (Moore, 1967). Gerakan kolektif tersebut terjadi atas dasar ketidakpuasan yang dirasakan para petani sebagai akibat dari eksploitasi dan marjinalisasi politik yang mereka dapatkan.
Integrasi nilai kebebasan pada seorang pemimpin menjadi salah satu tonggak utama dalam penyetaraan atas moralitas rakyat dan pemimpin. Pada dasarnya, manusia secara substantif memiliki hak atas kemerdekaan. Seorang pemimpin yang sadar tentang nilai dasar yang dimiliki seorang manusia akan senantiasa menjunjung tinggi nilai tersebut. Sikap yang merepresentasikan kredo atas kebebasan akan menganggap bahwa penindasan merupakan sebuah marjinalisasi nilai normatifmanusia.
Preservasi atas nilai kebebasan secara afiksasi akan melahirkan perspekif baru terhadap sebuah kondisi. Pemimpin yang memegang teguh nilai kebebasan akan menyadari betapa pentingnya kontribusi masyarakat berupa penilaian akan suatu hal. Jika masyarakat diberi kebebasan atas menilai suatu, maka hasil dari penilaian tersebut akan lebih memungkinkan untuk menjadi sebuah kebenaran. Hal tersebut didukung oleh teori juri yang dikemukakan oleh Marquis de Condorcet. Simpson (2006), memaparkan tentang teori juri tersebut sebagai berikut:
“Groups make better decisions than individuals and large groups make better decisions than small ones. To put it a little more technically, the theorem shows that if voters are deciding an issue with one right and one wrong answer, and if the average probability that each voter will choose the right answer is above, then the probability that a majority will choose the right answer increases toward 1 as the number of voters increases. It may take the reader a moment to grasp the point; but as soon as one does, many striking things can be seen to follow. The most important consequence of the theorem is that the procedure of majority-rule can produce decisions that are better than the average competence of the voters involved; in fact, it can even yield decisions that are better than those of the most competent voter taken by herself. This means that, within the limiting conditions of the theorem, the majority judgment of a middling group is more likely to be correct than the judgment of the wisest individual”
Teori itu menyatakan bahwa penilaian yang dihasilkan oleh golongan majoritarian akan memiliki probabilitas kebenaran lebih tinggi dibandingkan oleh penilaian oleh seorang individu yang bijaksana sekalipun. Teori ini juga secara implisit menjelaskan pentingnya demokrasi yang berasal dari deliberasi pemikiran dari banyak pihak.
2.2.2 Égalité
Kata Égalité memiliki arti keadilan. Keadilan merupakan sebuah tindakan yang dimana tidak menunjukkan keberpihakan atas sesuatu serta memberikan sesuatu sesuai porsi dan kebutuhannya masing-masing. Masa Revolusi Prancis dapat dikatakan sebagai sebuah masa dimana ketidakadilan hanyalah sebuah utopia belaka. Pada masa itu, tatanan sosial di Prancis terbagi atas tiga, yaitu kelas pertama berupa bangsawan yang meliputi kerabat kerajaan dan pemilik tanah, kelas kedua berupa gereja yang meliputi para rohaniawan, dan kelas ketiga berupa rakyat umum yang meliputi kaum borjuis, pengrajin, dan petani. Pada masa itu, kelas ketiga dipandang rendah serta tidak memiliki hak untuk memegang suatu jabatan (Welianto, 2020).
Keadilan akan selalu diiringi oleh ketidakadilan. Eksistensi dari ketidakadilan yang terjadi di masa Revolusi Prancis menunjukkan bahwa tirani kekuasaan yang dipraktikkan oleh seorang pemimpin akan melahirkan agitasi. Sebab, pada hakikatnya manusia akan senantiasa mendambakan yang namanya kesetaraan, baik itu dari segi ekonomi, politik, interaksi sosial, dan lain sebagainya. Prinsip kesetaraan dan keadilan merupakan modal-modal sosial yang eksistensinya hampir tidak membutuhkan persetujuan. Prinsip-prinsip tersebut tergolong sebagai pandangan hidup yang tertanam dalam basis normatif sebuah masyarakat kendati tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari individu-individu (Madung, 2014).
Entitas dari seorang pemimpin akan selalu dinilai dari seberapa adil ia dalam memperlakukan rakyatnya. Jika seorang pemimpin dinilai tidak adil, maka seseorang akan mengalami perasaan terabaikan serta perasaan diperlakukan tidak layak dibandingkan harapan awal mereka. Hal tersebut memicu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami seseorang. Perasaan kesenjangan tersebut dijelaskan oleh sebuah teori yang dinamakan teori deprivasi relatif. Menurut Merton dan Kitt (1950), deprivasi adalah perasaan yang timbul karena adanya pengalaman timpang (inequality) dalam diri individu sebagai akibat adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan apa yang diperoleh.Simptom dari deprivasi relatif berkaitan dengan rasa ketidakadilan (Faturochman, 1998). Segregasi individu pada tingkatan-tingkatan tertentu akan memicu lahirnya agitasi pada sistem yang sedang berlaku. Hal tersebut hanyalah sebuah langkah konservatif-reaksioner yang dilakukan oleh otak manusia dalam merespon pemenuhan akan kebutuhan nilai normatifnya.
3.2.3 Fraternité
Kata Fraternité memiliki arti persaudaraan. Persaudaraan yang dimaksud di sini bukanlah hubungan darah melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang dialami melalui pengalaman-pengalaman hidup bersama. Rakyat Prancis dalam menjatuhkan sistem monarki absolut didasarkan atas perasaan serta penderitaan yang sama. Salah satu cara untuk menumbuhkan rasa persatuan dan persaudaraan yang kuat yaitu dengan memiliki musuh yang sama. Melalui hal tersebut, sekelompok individu akan dengan mudah membentuk konstelasi emosional atau yang biasa kita katakan sebagai ikatan batin.
Pemimpin yang dikagumi adalah pemimpin yang memiliki hubungan batin yang dekat dengan orang yang dipimpinnya. Bagi sebagian orang, persaudaraan bagaikan opium yang sangat mempengaruhi tindakannya. Sinergitas antara pemimpin dan yang dipimpin melahirkan perasaan kolegialitas yang secara kohesif akan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat. Melalui perasaan persaudaraan, seorang pemimpin dapat menekan sisi negatif dari pluralistik suatu komunal masyarakat melalui pendekatan-pendekatan yang bersifat humanis.
3. Kesimpulan
Revolusi Prancis yang terjadi pada tahun 1789-1799 M memiliki pengaruh besar terhadap perspektif dunia dalam melihat sebuah tatanan pemerintahan. Rakyat sebagai objek pada sistem tersebut akan selalu mendambakan hadirnya sosok pemimpin yang dapat menjadi panutan. Pemimpin tersebut dapat dinilai dari segi moralitas dan kecakapannya dalam menuntun orang yang dipimpinnya kearah yang lebih baik. Semboyan “Liberté, Égalité, Fraternité” memiliki makna yang sangat radikal yaitu kebebasan, keadilan, dan persaudaraan. Implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Revolusi Prancis kepada seorang pemimpin akan mengantarkan kita pada kondisi utopis dimana lahirnya tatanan sistem yang bersifat demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Faturochman. (1998). Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi. 2,pp 1-15.
Kartodirdjo, S. (1999). Beberapa Perspektif dalam Studi Revolusi Prancis dan Revolusi Indonesia. Archipel. 57(2),pp 3-14.
Madung, O. G. (2014). Paradigma Holisme Hegelian dan Kritik Atas Liberalisme. Jurnal Ilmiah Peuradeun. 2(2),pp 45-60.
Merton, R.K. & Kitt, A.S. (1950). Contributions to The Theory of Reference Group Behavior. Dalam R. K. Merton dan P. F. Lazarsfeld (ed), Continuities in Social Research. Glencoe, IL: Free Press.
Moore, B. (1967). Social Origins of Dictatorship and Democracy. London.
Rousseau, J. J. (1964). Discourse on the Origin and Foundations of Inequality Among Man. J.-J. Rousseau, The First and Second Discourses. RD Masters, ed. New York: St. Martins Press.
Santhoso, F. H., & Hakim, M. A. (2012). Deprivasi Relatif dan Prasangka Antar Kelompok. Jurnal Psikologi. 39(1),pp 121-128.
Simpson, M. (2006). Rousseau's theory of freedom. A&C Black.
Wattimena, R.A.A. (2012). Menjadi Pemimpin Sejati. Jakarta: PT Evolitera.
Welianto, A. (2020). Penyebab Terjadinya Revolusi Prancis. https://www.kompas.com/skola/read/2020/05/27/160000869/penyebab-terjadinya-revolusi-perancis?page=all Diakses tanggal 25 Juni 2020.
Wijaya, D. N. (2016). Jean-Jaques Rousseau Dalam Demokrasi. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review. 1(1),pp 14-29.
Wijaya, D. N. (2017). Montesquieu dan Makna Sebuah Keadilan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan. 1(2),pp 79-84.
Komentar
Posting Komentar